<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Saturday, October 29, 2005

Tape Perekam Rindu

Sudah dua hari ini, Mpok Nung tidak berjualan. Padahal usaha pecel lele dan nasi goreng, menjadi tumpuan hidup tetangga kami itu. Tak ada yang membantu, katanya saat kutanya. Selama ini suami istri itu dibantu oleh saudara sekampung suaminya. Tapi sejak tiga hari lalu, sang asisten ngotot pulang kampung. Mudik. Iming-iming tambahan gaji tak membuatnya bergeming. Ia sudah tidak konsentrasi bekerja. Daripada celaka, ketumpahan minyak penggoreng lele misalnya, lebih baik diikhlaskan saja.

Ya, mudik. Ritual melelahkan fisik dan menguras kantong selalu berulang setiap tahun. Dilakoni dengan rasa keriaan mendalam. Tak peduli kemacetan durjana yang melelahkan raga. Tak hirau pelayanan angkutan publik yang aca kadut. Kata cerdik cendekia, mudik adalah oase. Ini adalah ziarah jiwa yang lelah oleh kejamnya dunia, dan pulang kepada ketenangan yang muncul saat berkumpul dengan sanak saudara dan handai taulan. Dan kerinduan yang membuhul, terkadang hanya karena makanan kecil masakan emak. Masakan emak membangkit ingatan bawah sadar, dan banyak hal jasmaniah masa lalu.

Pun aku. Lebaran di rumah emak, berarti segantang tape pulut (orang jakarte bilang ketan) yang manisnya bukan kepalang. Berkali kucoba tape pikulan berbungkus daun pisang, juga dalam kemasan higienis ala supermarket. Jangankan sebanding, dekat-dekat saja tidak. Tape itu mampu membuat kami ingin segera pulang, meninggalkan anjangsana ke tetangga. Ah, itu khan dipengaruhi kelaziman masa kanak-kanak dan rasa uber alles anak terhadap karya ibunya belaka.

Tape buatan emak, memang fenomenal dan dibumbui ritual diluar akal. Setelah ketan dikukus dan didinginkan, emak akan bertitah supaya yang tidak siap jiwa raga meninggalkan dapur sebelum ia mulai melamurkan ragi. Yang hatinya tidak gembira, sedang (maaf) datang bulan harap menyingkir. Aku termasuk korban ekstradisi, di persona non grata. Karena suatu kali ketika muda, saat ragi mulai digelontor, aku membuang gas beracun. Kontan tape asam.

Setelah besar, aku berani mendebat pendapat ini. Aku bilang ini adalah proses biologi bin kimiawi hasil fermentasi belaka. Mungkin kualitas ragi tidak sebagus sebelumnya. Tidak ada relasi dengan suasana hati dan gas beracun tadi. Sia-sia aku mengajak emak menghitung jumlah berhasil dan gagal, lalu mendedahnya dengan hitung-hitungan probabilitas dan statistika. Sudahlah, sebagai orang tua, ia memiliki wilayah pengetahuan yang tak dapat dipenuhi oleh studi literatur.

Ritus belum usai. Ketan berlumur ragi itu pun ditutup dengan daun keladi. Harus daun keladi, bukan daun lain. Lalu sejumlah cabe merah diletakkan di atas daun, dan dibalut berhelai-helai kain butut. Dandang yang sudah dibalut tadi diletakkan di atas lemari. Harus disana, karena bila dilangkahi, alamat tape asamlah yang akan diperoleh. Tape untuk lebaran ini, dibuat tiga hari sebelumnya. Selalu begitu. Supaya pas lebaran, puncak manisnya tercapai. Maka tidak boleh diendus, apalagi diintip. Pokoknya sehabis salat id, ziarah ke makam ayah, tape manis luar biasa itu sudah tersaji.

Begitulah. Emak mengajarkan makna generik sebuah kesederhanaan pikir, bahwa dalam kehidupan ada hal-hal yang tak dapat dirumuskan, di-matematika-kan, atau ditata lewat aturan simbolik. Sebagai keluarga petani, ia lekatkan lewat tauladan pola pikir "tak ada mengetam, tanpa menanam", atau "mau berada harus berusaha".

Demikian pula hubungan kita sesama manusia. Tak ada rumusan salah benar yang abadi dan universal. Bisa jadi kita sering berada dalam getaran gelombang yang berbeda. Aku pikir itu suka, ternyata buat kalian duka. Aku rasa itu gurau, kalian baca itu galau. Aku maksud keramahan, kalian tangkap sebagai kemarahan. Banyak lagi. Lebaran pun segera tiba. Maafkan lahir bathin. Semoga kesalahan-kesalahan yang kita buat selama ini, menjadikan kita banyak belajar, untuk kemajuan pemikiran dan perasaan yang lebih baik. Tabeek...!!!

Tuesday, October 25, 2005

Meretas Faqir Lewat Karitas

Bau kamper menyergap, segera setelah pintu lemari terkuak. Sebelum meninggalkannya setahun lalu, kami memang sengaja menebar kapur barus beraroma wangi sengak itu. Tak cuma bau kamper, uap debu pun menyebar begitu pakaian ditebah. Pembersihan dilakukan, demi menyambut barang-barang yang dikirim lewat kapal laut tiba. Memang, buku dan sejumlah pakaian kami shipping, untuk menyiasati harga jika dibawa lewat pesawat.


Karena kapasitas lemari tak bertambah, tak ayal penyortiran pun dilakukan. Ada yang bermigrasi ke tukang loak. Ada yang turun pangkat dari layak pakai karena masih bisa ditambal, menjadi gombal. Ada pula yang di grey area, masih layak pakai, tapi mau disimpan dimana. Ia tergerus oleh hukum first in first out.

Ketika mau memilah mana yang dibawa pulang mana yang tinggal, kami tak sebingung ini. Sejumlah toko charity bertebaran di seluruh Norwich. Bisa dengan mengantar ke pintu toko, atau meninggalkannya di pagar rumah dan menelpon lembaga yang dimau. Beres.

Lha disini. Padahal dibanding Inggris, aku yakin lebih banyak kaum dhuafa disini. Terpikir untuk memberi tetangga, yang secara kasat mata hidupnya dibawah kami. Kok ya nggak enak. Sungkan. Alternatif lain, meletakkannya dipagar dan menempeli tulisan: “Silakan ambil”, juga tak enak sama tetangga yang kesannya membagi barang buangan.

Beruntung ada kegiatan macam aksi di Rumah Cahaya. Terlintas pikiran, kenapa sistem toko derma (charity shop) itu tidak dilembagakan saja. Ada banyak lembaga yang bisa mengambil peranan disini. Dompet dhuafa, dan Badan Amil Zakat misalnya. Jangan-jangan banyak orang yang ingin berbagi tapi tak tau jalannya.

Seorang teman berkisah, ketika tsunami terjadi dulu ia tiba-tiba melihat rasa kebersamaan dan rasa berbagi yang begitu meraksasa. Metro TV misalnya, sampai harus mengumumkan telah menutup dompet peduli, karena sudah kebingungan menempatkan sumbangan yang terus mengalir. Jalanan menuju Kedoya, tempat televisi itu bermarkas setiap hari macet total karena banyaknya orang datang menghantar sumbangan.

Tanpa disadari, setiap orang dari kita juga menjadi penderma di jalan raya. Sumbangan untuk Pak Ogah, pengamen, atau kotak amal, meski ada unsur “takut” tetaplah harus dilihat sebagai derma.

Acara-acara reality show di televisi, menunjukkan bahwa rasa iba dan emosi setia kawan itu masih tebal. Meski terdetak juga nun di lubuk hati ini mengekploitasi kemiskinan demi rating dan iklan. Lupakan perasaan samping itu. Yang jelas acara itu menggugah dan menggerakkan. Kecuali haru dan empati, niscayalah ini membangkitkan wacana bagaimana mempraktekkan agar nyata dan berkesinambungan.

Di Inggris toko karitas ini menjual berbagai macam. Mulai dari pakaian, buku, kaset, furnitur, hingga alat elektronik. Mereka bisa beruntung besar, meski menjual dengan harga murah, karena barang datang secara gratis. Sebagian penjaganya juga gratis, karena mereka relawan. Yakni kakek nenek yang mengisi waktu senja. Semua bisa menyumbang macam-macam. Mumpung dalam semangat Ramadhan, mari bersama kita derma!

Sunday, October 23, 2005

Aku Tuan Kau Hamba

L

eganya masuk ke ruangan itu. Terpaan hawa sejuk yang dipuntal kipas angin, mampu menghela panas akibat berjalan tadi. Aku menyodorkan KTP, lazimnya bila berinternet di kampus Psikologi UI. Penjaganya, seorang lelaki menghambat tanganku yang menyodor dengan sepatah kata: “tutup”. Hanya itu. Aku masih berusaha ramah.
“Biasanya akhir pekan buka sampai sore, Mas”
“Pelatihan”. Masih pendek dan ketus.
Kupaksakan senyum. “Sampai jam berapa, Mas”
“Sore”. Getas dan tanpa ekspresi.

Aku mematung di depan loket. Tak percaya ini terjadi di negeri bertajuk ramah tamah. Agaknya ia merasa aku tak mengerti. Lalu,....
“We close (tanpa are), Is it clear?”

Hening sejenak. Aku terbahak seperti bos mafia di film India. Sungguh diluar kesadaran dan kehendakku, tapi nada ketawaku sarkastik. Aku berharap ia mendongak sehingga kami bermuka-muka. Tapi ia menunduk, seraya aku melempar beberapa larik kalimat, yang pastilah dipenuhi nuansa satiris. Arghh...

Untung aku tidak bersengaja hanya mau main internet jauh-jauh jalan ke kampus. Urusan utamaku adalah ke ATM, sepelemparan batu dari warnet tadi. Sehingga kesalku tidak berkepanjangan. Pikiranku menerawang jauh, ke sebuah negeri yang tak menolak disebut beragama sepakbola, tapi perbincangannya dipenuhi tata krama. Kata “tolong”, “thanks”, dan “please” begitu banyak menghias bibir. Belum lagi “sweetheart” dan “darling” yang lebih mengesankan penghormatan ketimbang godaan.

Untuk membuang kesal, aku amini ajakan Ari belanja ke Carrefour di ITC Depok. Dasar mantan cleaner. Aku begitu iritating melihat tumpahan cairan di lantai. Mbak penjaja berkaus dengan tulisan “Kami Siap Membantu” tak melakukan apa-apa. Padahal pengunjung sangat ramai. Kemungkinan orang terpeleset sangat besar.

Aku melintas di depannya, sambil memberi tahu ada tumpahan. Diluar dugaan ia menjawab sebat: “Udah tauk, bentar lagi juga dibersihkan”. Terkesiap, aku introspeksi. Apakah nadaku memerintah? Memarahi? Menggurui? Atau ia merasa aku mencampuri profesionalitasnya? Argghhh....Dua kali dalam sehari ini aku harus mengucap kata bernada keluh itu.

Kudorong troli menjauh sambil tetap bertanya apa yang salah. Sewaktu aku menjadi cleaner dulu, aku akan sangat berterimakasih bila ada yang memberitahu ada bagian kotor di area kerjaku. Pertama karena itu menolongku dari cercaan menejer (yang juga takut dicerca supervisornya). Kedua, itu menyelamatkanku dari gugatan jika ada yang terpeleset akibat ada tumpahan di lantai yang menjadi tanggungjawabku. Rasa tanggungjawab inilah yang membuatku tidak merasa diperintah, digurui oleh orang yang memberitahu.

Sudahlah. Mungkin si Mas dan si Mbak tadi hanya menyontek kehidupan di sekelilingnya. Bahwa berkedudukan, atau berseragam adalah posisi di atas yang dibutuhkan. Bukankah kita terbiasa mengalami, mereka yang berkedudukan dan berseragam itu alfa telah dibayar untuk melayani, berubah menjadi orang yang harus dilayani.

Si Mas dan si Mbak itu, bisa jadi adalah pribadi yang lelah dijajah. Maka meski dalam ruang kecil mereka bermetamorfosa menjadi penguasa. Aku butuh layanan internet, ia penguasa yang berwenang memutus apakah aku layak memperoleh atau tidak. Aku butuh kenyamanan dalam berbelanja, si Mbak itu penguasa yang berhak memvonis apakah aku layak mendapatkan atau tidak. Sopir bis, yang notabene kelangsungan hidupnya tergantung kepada bayaran ongkos penumpang, masih saja berani menurunkan penumpang ditengah perjalanan. Omong kosong dengan pelayanan. Ini relasi siapa menguasai siapa. Siapa tuan siapa hamba.

Maka tak usah heran, semboyan “Kami Siap Melayani”, “Setia Melayani Anda”, tinggal jargon belaka. Karena siapa memberi dan siapa menerima, menentukan di starata mana anda berada. Sebagai tuan atau sebagai hamba.®

Monday, October 17, 2005

Seragam Jelang Shiyam

Talu tambur semakin menjauh. Berganti dengan suara televisi. Biasanya Ari bangun lebih dulu menyiapkan penganan, baru aku menyusul. Ritual sahur pun berlangsung berteman acara televisi. Lihat stasiun anu, pencet lagi, stasiun berikutnya sukar untuk membedakan acaranya. Bertemu kisah serupa: lawakan.

Kalau tak salah, tema lawakan kala sahur ini dirintis Eko dan Ulfa 6 tahun silam. Mungkin karena rating, maka semua stasiun pun menggunakannya sebagai jualan. Maka bulan Ramadhan pun menjadi semarak lengkap dengan wajah jelita artis sebagai gincu pemanis. Artis yang mungkin sadar dipasang sebagai pemanis, seolah tak mau kalah berusaha tampak lucu juga. Tak jarang sukses, meski lebih sering terkesan menyalahi takdir.

Sungguh sayang, lawakan yang muncul tak berkembang. Trend yang banyak diusung Warkop, slapstick bin sarkastik tetap ramai. Pelecehan "wanita", eksploitasi kekurangan, kasar (memukul, menendang, menjorok). Heran, apa orang ini nggak dibekali philosophy of humor, tulisan kecil yang aku baca hari pertama bergabung dengan Loedroek ITB dulu.

Suatu kali, seorang pesohor bilang: "Eh ada babi ngepet". Seruan itu untuk menyambut kehadiran lawan mainnya. Lalu perbincangan pun bertema babi. Lupakah mereka, bagi sebagian orang, utamanya anak-anak, televisi adalah "guru". Maka kata babi yang melesat dari mulut pesohor itu, kelak akan diucapkan dengan mantap seolah itu adalah hal lucu.

Keseragaman lain adalah bagi-bagi rezeki lewat kuis. Pasword pun dibuat selucu mungkin. Aha, dengan pertanyaan yang sangat super sederhana, macam nama lapangan tempat berkumpul di akhirat kelak, dengan pilihan jawaban: Padang Panjang, Padang Mahsyar, dan Padang Sidempuan. Begitu mudah. Ironis, disaat jutaan orang berdesakan mendapat kompensasi BBM 100 ribu/bulan.

Memang ada stasiun yang tetap menampilkan unsur dakwah, meskipun dengan porsi sangat sedikit. Saat begini, Metro TV dengan Tafsir Al-Misbah nya, dan Lativi dengan Grebeg Sahur (mengunjungi keluarga miskin yang tak mau kalah dengan kemiskinannya, tetap menyekolahkan anak) menjadi alternatif.

Apapunlah, televisi yang berlomba menyajikan keramaian, cukup menolong dalam melawan kantuk. Apalagi bila membanding dengan setahun silam sahur di Norwich. Sahur dipelukan udara dingin, tanpa azan, tanpa acara TV, tanpa tetangga yang bangun di jam yang sama, sungguh kesepian yang mencekam.

Wednesday, October 12, 2005

Alam Takambang Jadi Guru

Perempuan itu sungguh tabah. Berulangkali penumpang yang mau turun dan naik, tersendat oleh lututnya. Namun ia bergeming, tak mau bergeser tetap duduk di dekat pintu. Teriakan sopir agar mengisi bagian dalam dulu, diacuhkannya. Memang, meski mendung menggayut, udara terasa pengap. Agaknya hujan akan segera turun. Duduk di dekat pintu diterpa semilir angin adalah pilihan tepat.


Suasana Jakarta jika diterpa hujan

Namun malang tak dapat ditolah, untung tak dapat diraih. Lepas perapatan Pasar Rebo, rintik mulai menitik. Perlahan tapi pasti tempias mulai masuk menggantikan semilir angin. Si mbak itu mulai gelisah. Berulang ia memandang ke arah dalam, mencari tempat kosong untuk pindah. Apa lacur, angkot sudah penuh. Sesekali ia melap wajahnya yang terbasuh air hujan. Tak cuma kebagian tempias, sesekali jika angkot melewati jalanan yang sudah memayau, ia kebagian cipratan. Kenikmatan dan sengsara begitu cepat bersilih.

Begitu ada yang turun, si mbak langsung ngeloyor masuk. Meninggalkan kursi yang disenanginya sedari tadi. Alam menegornya, membuat ketabahannya, kerelaannya disenggol orang demi kenyamanan pribadi, rontok. Alam telah menjadi guru yang baik. Ya, alam pun bicara. Kupandangi jalanan yang sudah mirip sungai, paya-paya kecil. Air hujan tak tau lagi kemana hendak pergi, selain memenuhi jalanan. Rawa-rawa sudah berubah menjadi gedung tinggi. Sungai sudah menjadi tempat sampah raksasa. Selokan sudah tertutup entah oleh sampah atau sengaja ditutup. Seperti selokan di jalan Kober menuju rumahku. Ditutup oleh sekelompok pengojek, demi sebuah pangkalan yang nyaman.

Maka hujan sebentar saja, Jakarta tak lagi metropolis. Jauh dari kemewahan. Teringat aku Amsterdam, kota yang berada dibawah permukaan laut, tapi tak tergenang meski hujan lebat. Ah, tak elok membanding sesuatu yang tak sebanding. Tapi elok merenungkan nasehat Cornelis Chastelein, seorang Belanda, tuan tanah eks pegawai (pejabat) VOC yang pada era 1700-an diberi wewenang menangani tanah luas yang kini menjadi Depok. Chastelein berwasiat:

"... MAKA hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe... dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,..."

Sedikit banyak kasoekaran yang disebut toewan Cornelis Chastelein mulai muncul di depan mata.

Tuesday, October 11, 2005

Data Yang Tertata

Gelas sudah tiga kali berganti isi. Coke dingin, berganti ke teh manis panas pakai susu, dan kembali lagi minuman ber-es, es teh manis. Tapi perbincangan kami tak kunjung usai. Tanpa jeda. Mulai dari soal besar, seperti peternakan gajah, hingga hal-hal ringan macam kulakan kerupuk. Entah sudah bahasan keberapa, kami tiba pada soal penyalah gunaan pasword telepon. "Si anu kaget, biaya telponnya bengkak, padahal dia termasuk jarang pakai telpon".

Aku tersentak. Jangan-jangan password telpon dan pasword masuk jaringan komputer Advance News Network (ANN) milikku masih aktif. Olala... setelah kutinggal setahun, dengan status mengundurkan diri, ternyata pasword itu masih aktif. Coba kalau ada tangan jahil, menggunakan pasword itu mengobrak-abrik bahan siap tayang, bisa berabe.

Aku ingat beberapa hari sebelum pensiun dari jabatan cleaner dulu, aku masih disurati soal suntik hepatitis tahap kedua. Hanya seminggu setelah mengundurkan diri, aku konfirmasi tanggal penyuntikan. ENtah kenapa, prosesmya lebih lama dibanding penyuntikan pertama sebulan sebelumnya. Rupanya, dataku sebagai pekerja yang berhak mendapat layanan itu sudah di-delete. Secepat itu. Rumah sakit, sebagai institusi yang memperkerjakan aku, sudah berkordinasi dengan health center, lembaga yang melayani fasilitas kesehatan pekerja. Sungguh penataan data yang bagus.

Hari-hari ini, kepada kita tersaji contoh penataan data yang aca kadut. Penyaluran subsidi langsung tunai, sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, kacau dimana-mana. Ada yang miskin beneran tidak dapat. Tapi yang mengaku-aku justru kebagian. Harga minyak di pengecer mengangkasa tak tentu arah, hanya karean Harga Eceran Tertinggi (HET) belum diputus. Kebajikan Gubernur soal tarif baru angkutan mubazir tak dipatuhi. Mungkin karena terburu-buru setelah didera demo, sehingga kebijakan itu tak berbuah kebajikan bagi sebagian orang.

Padahal sumber utama kekisruhan itu, yakni kenaikan harga BBM, sudah digadang-gandang jauh hari. Koq bisa, penentuan HET lelet, pembagian tak karuan, dan penentuan tarif tak arif.

Lalu, suara tok..tok..tok membuyarkan perbincangan kami. Di langkan tegak pria berseragam biru dan perempuan berbaju putih. Ia mengenalkan diri sebagai petugas pengecekan tabung gas, dari perusahaan kongsi kerja Gas Negara. Lhadalah, sejak tiba tengah September lalu, mereka ini orang ke-empat yang datang mengecek gas. Gimana sih penataan data mereka ini, kok bisa-bisanya empat kali datang dalam rentang tiga pekan. Mau marah tak tega. Gimana berharap perusahaan ini memiliki database yang bagus, kalau negara saja tidak memilikinya. Apatah lagi ini puasa, mengendalikan amarah itu penting. Ya gak..

Thursday, October 06, 2005

Setan Budak Pedagang

Sopir itu melambatkan laju. Tetapi belum sempurna berhenti, ia menancap gas kembali. "Ada setan", teriaknya. Lalu, seratus meter kemuka, ditepikannya mikrolet itu, sambil menunggu perempuan yang tadi melambai. "Kok gak berhenti sih Bang", sergah si perempuan muda.
"Ada setan, gawatlah. Bisa kena go cap", jawabnya santai. Setan yang dimaksudnya, adalah polisi yang mengatur arus di seputaran Bank BCA, dekat Gramedia Depok.

Mendengar logat utaranya, aku nimbrung.
"Kenapa rupanya Lae, kok gak boleh pinggir disitu?"
"Ya gak bolehlah. Itu khan pertigaan. Dekat putaran pula"
"Bisa makin macet ya"
Dia tak menjawab, hanya mengangguk sambil memencet klakson berulang, seolah dengan begitu ia mendapat kelancaran jalan.

Aku senyum. Bersyukur ia mengerti. Memang di area yang dijaga polisi itu, adalah pertigaan Margonda dan jalan Karet. Lalu, ada putaran untuk berbalik arah (U turn). Tapi kenapa tetap melanggar? Mungkin inilah buah paradigma keliru "Jalan raya adalah sarana ekonomi". Bukan sekedar sarana transportasi. Begitu banyak warga --sopir, pengojeg, PKL, pak Ogah-- (juga aparat) yang menggantungkan hidup di jalan raya. Tak ayal, kepatuhan itu pun menjadi sesuatu yang sukar.

Kata abi Quraish Shihab, kepatuhan itu ada tiga tingkatan:
patuh budak: patuh karena takut kepada pengawas, atasan, polisi, tramtib
patuh pedagang: kepatuhan yang mendatangkan keuntungan. Sesaat, semu, dan pura2.
patuh cinta: kepatuhan yang didasarkan kepada kecintaan kepada ketertiban, taat asas.

Mau pilih jadi setan, budak, pedagang, atau pecinta, silakan. Yang penting mari sama2, wujudkan Keep Depok Safety.

image dari sini

Monday, October 03, 2005

Menjelang Sepenggal Jeda

Ada penggal waktu untuk jeda
seperti pohon yang meranggas di musim gugur
saat dedaunan jatuh
pulang ke akar
menjadi pupuk kehidupan

Yudi Latief, Kompas 3 Oktober 2005

Pagi datang berteman kokok ayam, dan sahutan azan. Terkadang aku masih didera kaget, kenapa terang telah tiba di hari sepagi ini. Subuhan, ngopi, sambil melahap koran. Tiada berita yang menyenangkan. Ada berita bom Bali yang semakin lengkap, dengan sapuan analisa Daeng Sul. Bom Bali juga diwarnai perdebatan tentang CCTV dan Badan Anti Teror. Tertarik dengan dua berita ini, karena ini adalah jalan mengurangi aksi kejahatan teror berikutnya. Sayang, makna tulisan itu hanya berputar pada undang-undang dan aturan. Adakalanya, aturan itu memudahkan. Namun sering pula, aturan menjadi perintang. Demi sebuah syahwat.


Salah satunya syahwat perut. Beruntung aku menemukan tulisan Yudi Latief. Sehingga aku bisa mahfum, kenapa benteng hukum, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung memilih jalan ketamakan. Ketua MA diduga meminta uang suap milyaran dari pengusaha. Kejaksaan Agung menghentikan proses hukum Direktur BNI yang diduga korupsi. Wahai, ketamakan, engkau telah ada dimana-mana.

Besok, puasa datang kembali. Ia tiba ditengah jeritan kepedihan yang telah berganti menjadi lolong. Hidup yang penuh kenisah kesah. Sesekali kita perlu meranggas, membiarkan egosentrisme terbakar, tersungkur sujud, menginsafi kefanaan dan menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain. Semoga Ramadhan ini penuh manfaat. Selamat berpuasa.

Sunday, October 02, 2005

Senja di Margonda

gambar dari members.virtualtourist.comKakek itu berdiri tak gagah. Mengenakan kaus cap angsa warna putih, ikat pinggang besar berwarna hijau, dan celana komprang khas jagoan betawi, ia sepantasnya disapa engkong. Sedari tadi ia menatap arus lalulintas di jalan Margonda yang tak kunjung sepi. Ia ingin menyeberang, tapi beberapa kali tertunda. Terkadang ia sudah masuk selangkah dua, tapi motor yang tak kenal ampun melintas sebat persis di sebelah rusuknya. Ia tentu iri dengan mahasiswa yang nekat menyebrang disela laju kenderaan, hanya dengan melambaikan tangan. Tapi si engkong tentu tak sanggup mengikutinya, karena langkahnya tak lagi gesit dan tindakannya tak tangkas.

Aha, seorang polisi yang dari tadi mengatur lalulintas diseberang, berlari ke arah engkong. Mendekat, bapak polisi tak berlari ke arah si engkong. Rupanya ia memburu pengendara motor yang pemboncengnya tak memakai helm. Dapat, polisi itu kembali menyeberang ke tempat semula. Si engkong, sama dengan aku, yang tak sadar hak, membiarkan polisi berlalu.

Hak menyeberang dengan aman dan nyaman, memang tak pernah terpikirkan. Pun aku. Sebelum pergi ke tanah Blair, aku tak sadar bahwa menyeberang, trotoar itu adalah sesuatu yang harus diperoleh pejalan kaki. Maka, menyeberang pun menjadi ritual yang penuh perjuangan dan penuh kewaspadaan, plus mengadu takdir. Aku pandangi mahasiswa/i itu menyeberang dengan melambai, meliuk, memperlambat, mempercepat, menghindar diantara arus kenderaan yang tak sedikit jua melambatkan laju.


Ini Norwich, bukan Depok

Ingat aku, grandpa dan grandma di Norwich yang menyeberang tanpa kerut dan takut. Berjalan lambat layaknya sepuh, membawa tas beroda tanpa pendamping, mereka menyeberang dengan santai. Bergabung bersama ibu muda yang mendorong kereta bayi. Tak perlu gesit, tak perlu muda untuk menyeberang.

Andai para mahasiswa itu menyisakan sedikit suara, spanduk, dan cat sisa unjuk rasa anti BBM, untuk berdemo menuntut penyeberangan yang layak. Bukankah keamanan dan kenyamanan menyeberang itu, juga hak. Meskipun barangkali, demo ini tak sehebat dan seheboh demo anti BBM yang heroik itu.

Andai pula, para pengembang yang menjadikan sepanjang Margonda sebagai pusat kota yang panjang, mau menyisakan rezeki membangun penyeberangan yang layak. Selain sebagai fasilitas, mempermudah calon pembeli masuk toko mereka, sebutlah ini sebagai bagian dari community development, membagi kebajikan bagi warga sekitar, yang pastilah ada bagian hidupnya yang terampas akibat pembangunan itu.

Senja semakin turun. Aku tinggalkan jalan Margonda yang semakin ramai oleh pedagang yang bersiap mendirikan tenda. Di atas trotoar tentu saja.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini