<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Friday, March 31, 2006

Menatap Blair di Tanah Air


Jarum jam sudah berlalu beberapa menit dari angka 11. Tapi di layar masih tersiar pertandingan sepakbola. Padahal aku sudah menunda jam berenang, hanya untuk melihat Haji Awan, live dari istana. Lalu, wajah itu muncul. Ia mengabarkan kedatangan PM Inggris, Tony Blair ke Indonesia. Mulai dari pertemuan empat mata dengan Presiden, bertemu tokoh Islam, dan rencana ke pesantren Darunnajah, di Ulujami sana.

Hingga ia masuk ke bagian “menarik” ini: “Saudara, hal yang menarik adalah, Tony Blair berjalan kaki dari istana ke kantor Presiden”. Aku langsung berpandangan dengan Ari. Sebagai orang Inggris sepuhan atawa palsu, tentu saja kami tak heran dengan acara jalan kaki itu. Ternyata koran pun mengangkat bagian ini, menjadi hal menarik dari kunjungan Blair, selain pakaian casual yang ia kenakan.

Aku membayangkan, jika pihak media Downing Street mengumpulkan semua pemberitaan tentang bossnya. Pastilah bagian jalan kaki dan pakaian casual ini menjadi perbincangan hangat. MI-5 dipanggil.

Wednesday, March 29, 2006

Menyambut Raksasa

Ada yang menarik pada sebuah toko dekat rumah kami di Norwich, Inggris. Toko Burrel and Son, yang berdagang alat rumah tangga macam ember, sapu, dan paku genap berusia seabad. Selain memasang spanduk besar tanda syukur, hari itu radio BBC Norwich pun siaran langsung dari toko yang terletak di jalan Unthank Road tersebut. Kepada warga yang melintas, sekelompok orang membagikan selebaran. Selebaran yang sama ditempel di kaca toko-toko seputaran Burrel and Son. Isinya: mengajak warga menolak pendirian supermarket Tesco. Karena berada di jalan Unthank, maka toko baru itu disebut Unthank Tesco. Agaknya, para aktivis yang menolak Tesco, memanfaatkan ulang tahun seabad Burrel&Sons sebagai momentum perlawanan.

Aku teringat kisah yang terjadi beberapa bulan lalu itu, saat membaca berita supermarket GIANT di Margo City menyebabkan kemacetan. Margo City, pertokoan besar tentu tak sebanding dengan Unthank Tesco, yang menilik luas tanahnya hanya akan sebesar gerai Indomaret yang kini tersebar di banyak komunitas warga. Lewat sebuah proses panjang dan demokratis, akhirnya Unthank Tesco gagal berdiri. Sedangkan Giant, meskipun sempat diancam tidak diresmikan walikota, karena belum memenuhi berbagai persyaratan, seperti pembangunan jalur lambat dan gorong-gorong pembuangan air, tetap beroperasi. Sebuah perbedaan mencolok akan kita lihat nanti. Kembali ke Norwich...

Wednesday, March 22, 2006

Seribu Air Seribu Masalah

Kokok ayam menyeru-nyeru membawaku bangkit dari peraduan. Diluar, pagi masih kelam. Semakin paripurna untuk melanjut tidur, karena hujan titik merintik. Tapi gegas aku berdiri. Ada sesuatu dari perut yang paling dalam, yang meronta ingin melesak. Sesaat, aku sudah berada dalam permenungan. Menikmati salah satu karunia dengan penuh ikhlas. Selesai, kubasuh tangan dengan sabun cair antiseptik. Di pagi yang masih buta ini, peracunan air dan bumi telah kumulai.


Beberapa jenak, aku mulai mandi. Diawali menggunakan shampo, lalu sabun. Selesai, aku mengoleskan deodoran ke bawah ketiak, memakai tonik untuk rambut yang mulai masuk musim autumn, menumpahkan body splash, dan menyemprotkan parfum. Di kamar mandi, Ari mulai byur..byur. Pastilah ia menggunakan bahan kimia yang lebih banyak. Pun nanti, dalam hal mengolesi badan serta rambut.


Disaat kami berkemas, mbak Siti sang bedinda, sudah datang dan memulai aktivitas yang tak kalah seru. Merendam cucian dengan deterjen, mencuci piring, mengepel lantai dengan cairan pewangi, menggosok lantai kamar mandi, mengusir lalat dan nyamuk dengan semprotan, mengkilatkan kaca, memoles meja, dan nanti menyetrika pakai cairan pewangi.


Nah, di pagi hari saja, 3 orang warga bumi sudah menggunakan air berliter-liter dan 25 (7 + 10 + 8) bahan kimia yang meracuni air dan udara. Dulu di sewaktu di Arab, pihak hotel memamasang pesan di dekat gantungan handuk. Bunyinya kira-kira begini: “Ada jutaan handuk yang dicuci setiap hari. Itu membutuhkan ribuan liter detergen dan ribuan galon air. Sayangilah bumi dan anak cucu. Jika anda berkenan, jangan buru-buru mengganti handuk”. Sebagai sebuah pesan, tentulah ia mendapat berbagai tanggapan. Ada yang bilang, ini akal-akalan pihak hotel, agar mereka tak mengganti handuk setiap hari.




Pinggir sungai Norwich dan York, UK


Pagi ini di radio, aku mendengar : Ada 100 juta rakyat Indonesia yang tidak mempunyai akses kepada air bersih. Padahal, setelah udara, air adalah kebutuhan dasar kedua yang paling dibutuhkan manusia. Akibatnya banyak warga yang tinggal di bantaran kali, mengotori kali yang sudah kotor menjadi semakin kotor


Padahal setting kota-kota lama, selalu berpusat di dekat air, sang sumber kehidupan. Sayang, kota-kota macam itu, tersisa di negara maju sana. Disana, sungai adalah sumber kehidupan, keindahan, dan kenyaman. Sementara kita. Jawablah!

Tuesday, March 14, 2006

Republik (kereta api) Indonesia



Sia-sia aku bergegas memburu kereta. Kereta sudah di peron saat aku tiba di depan loket stasiun UI. Ada beberapa orang yang sedang antri. Tergoda untuk berbuat “curang”, dengan membayar di atas. Tapi akhirnya aku putuskan membeli tiket, meski harus telat. Penjaga loket menukas yakin: “15 menit lagi”, ketika kutanya jadwal berikutnya.

Aku lalu larut dalam kepikukan stasiun, yang tak beda dengan pasar. Ada wartel, rental komputer, game stasion, hingga warung seafood. Dulu, 9 tahun lalu saat aku berkantor di Wisma Kosgoro, dan pemegang tiket bulanan, suasana stasiun masih resik. Sejauh mata memandang, hijau, “hijau”, dan rindang. Pertumbuhan ekonomi begitu pesat rupanya, sehingga setiap jengkal tanah harus bertunas uang.

15 menit janji berlalu, kereta tak juga nongol. Setengah jam. Lalu, menit ke 40 kereta pun datang. Penjaga mengumumkan, kereta ini penuh, tidak usah memaksakan naik. Kereta berikutnya akan datang 10 menit. Kereta memang sudah bak bersayap, saking banyaknya yang bergelantung. Janji 10 menit lagi, tapi tidak, aku tak mau tertipu. Tadi katanya 15 menit, nyatanya 40 menit. ...bergelantungan....

Monday, March 06, 2006

Bertunang Kunang-kunang

A Postcard from Pasarrebo III

Malam turun sempurna menyudahi senja. Tapi Pasarrebo tetap saja riuh. Aku memasuki prapatan “legendaris” ini, dari sudut yang lain. Terkadang begitu. Terutama malam Rabu dan malam Sabtu. Bukan soal kekeramatan malam, tapi karena malam itu aku main bulutangkis, di kawasan yang angkotnya melewati Kampung Rambutan.

Aku pun terjerembab di tengah kemacetan. Untung duduk di depan, hingga serasa disetiri sopir pribadi. Nikmat betul, tak harus berkonstrasi menekan pedal gas dan kopling, dan mengawasi kenderaan kiri-kanan-muka-belakang yang siap menyodok dan tersodok.

Mataku berhenti di atas jembatan layang yang melintang gagah. Di atas sana, ada deretan motor terparkir. Mungkin ada 30-an. Sopir yang menangkap keherananku menukas, “Biasa bang, rekreasi murah”. Nun di atas, di sadel motor mereka sedang menikmati malam. Ada yang berduaan, pacaran. Berpelukan erat seolah pemilik dunia. Ada juga yang datang sak brayat, sekeluarga. Bersama memandangi lampu-lampu di kejauhan. Membayangkan berada di Hotaru na Sato (ya, Titin san). Mungkin mengubur kerinduan masa kecil di desa, menatap kerlip kunang-kunang. Libur kecil kaum kusam, kata Iwan Fals.

Beberapa waktu lalu, di dekat rumah kami di gang Kober, perhelatan sepak bola remaja, setiap petang dihadiri ratusan orang. Padahal lapangannya hanya beberapa meter, adanya di cerukan pembuangan sampah pula. Warga ramai-ramai menguruknya, meretakan, memasangi gawang, dan terciptalah futsal ala kampung. Kalau paginya hujan, alamat pertandingan petang juga ditiadakan. Karena lapangannya belok, becek. Sewaktu Billy, anaknya engkong haji yang jadi panitia mengajukan “proposal”, aku bertanya, apakah bakal ada peserta. Ternyata ada 14 tim, rela membayar uang pendaftaran 100 ribu, untuk hadiah yang hanya 500 ribu juara pertama. Tak heran, UI di hari minggu, bak pasar dipenuhi orang bermain.


Kaya papa emang butuh liburan. Bedanya ada yang ke kebun engkong, ada yang ke Hong Kong, ada yang ke (plaza) Senayan, ada pula yang ke Ragunan. Lalu dari mana para binatang ekonomi itu tau, semua warga butuh mall, sehingga mereka tega menjadikan semua tanah menjadi mall. Seolah mall bisa menyediakan segala, mulai makanan, pakaian, hingga kesenangan. Lihatlah Detos (Depok Town Square), meski menyandang nama gagah, tak lebih hanya metamorfosa Depok Mal yang sudah ada lebih dulu. Hanya ada super market “hypermart”, yang tak lain milik “Matahari” yang ada di Depok Mall. Selebihnya pedagang kaki lima yang diusung masuk ruang ber-AC. Pun ITC Depok. Jualannya cuma Carrefour. Kalau cuma super market, kenapa bukan pasar Depok Lama saja yang dibenahi.


Tapi itung2an warga jelata macam saya, tentu berbeda dengan pemodal itu. Mereka pintar mencipta citra. Membuat orang merasa berbeda jika ngupi di Starbuck. Membuat orang merasa lebih cantik kalau nyalon di Tony and Guy. Tak peduli, salon itu hanya terjepit di deretan toko berjalan sempit di Norwich sana, bersisian dengan salon tanpa merk yang memberi harga diskon buat mahasiswa. Membuat orang merasa jadi bangsawan Inggris, jika cami’annya biskuit bermerk Mark and Spencer. Padahal disana, penganan ini hanya sekelas kue mari Roma disini.

Siapa peduli itu semua. Tak hirau, gara-gara mal dan godaan di dalamnya, tengah bulan mata sudah kunang-kunang pusing membagi uang belanja. Ah, tentu saja kunang-kunang ya ini, bukan kembang malam pengelana gulita, yang merindu kasih menanti jawab itu. Merindu tanah leluhur yang damai.

Kunang-kunang
Kelana di rimba malam...
(by: Ismail Marzuki)

Sunday, March 05, 2006

Pilkada, eh Pil KB

A Postcard from Pasarrebo II

Malam menjelang, pengingat pulang. Aku bergegas menyetop angkot, yang melaju sebat mengejar asa. Sejauh mata memandang, deretan mobil warna merah mengisi jalanan di depan asrama haji. Terbersit pikir, wajar mereka menyetir kesetanan, kalo gak bagaimana dia dapat uang ditengah belantara ketakteraturan ini.

Perlahan tapi pasti, angkot akhirnya memasuki kawasan Pasarrebo. Dari kejauhan, jembatan layan yang kosong sudah tampak. Tapi aku naik angkot, dan harus berbelok ke kanan, arah Tanjungbarat. Angkot mulai tertahan, bersamaan dengan terlihatnya kerlip lampu pengatur di prapatan Pasarrebo. Gara-gara jalan layang, jalur di bawah tinggal 3 jalur. Masing-masing untuk berbelok ke Rambutan, lurus ke Cijantung, dan belok kanan ke Tanjungbarat. Ini menunjukkan pembangunan tak pernah berpihak pada wong cilik pengguna angkutan umum. Gimana mau koar-koar mengurangi penggunaan mobil pribadi, kalau jelas-jelas naik mobil itu lebih nikmat.

Tapi sesuai namanya, Pasar Rebo, tentu tak lengkap jika tak ada perniagaan. Maka trotoar pun diokupasi pedagang buah. Belakangan diramaikan PKL lain. Tak ayal, pejalan kaki harus turun ke jalan yang semestinya buat kendaraan. Ini belum seberapa. Yang bikin parah, satu jalur dipakai buat ngetem. Terjadilah bottleneck, ketakseimbangan kapasitas masuk dan kapasitas keluar. Maka untuk melampaui 100-an meter prapatan ini, dibutuhkan waktu 20 menit. Bukan cuma waktu, jalur ini membutuhkan ketabahan dan kesabaran. Silap-silap moncong angkot bersirobok, karena semua memburu celah kosong sekecil apapun.

Wuih.., akhirnya tiba di deretan terdepan. Lampu masih merah. Lho, ada pos polisi tho disini. Lantas kemana polisinya ditengah suara klakson bertalu ini. Aku melongok dari kejauhan. Didalam ada polisi sedang memandang sesuatu dengan tersenyum. Ah, pastilah ia sedang menonton TV. Mungkin Bajaj Bajuri, sinetron kesukaan yang tak prnah lagi kutonton gara-gara kemacetan durjana ini. (Tak mungkin ia tertawa menonton berita, sebab isi berita semuanya memilukan khan).

Begitu lampu hijau, jangan berkhayal perjalanan sudah mulus. Ada puluhan penyeberang yang tak hirau dengan keselamatan, eh lampu pengatur. Sungguh ketidak-teraturan yang sempurna. Mestinya jarak TMII-Margonda, kurang lebih 20 kilometer, bila dipacu dengan kecepatan sedang 60 km/jam bisa ditempuh 20 menit. Tapi ini, butuh 1 jam, gara-gara.... (banyaklah!). Seorang teman pernah bilang, jika keberhasilan 100 hari walikota Jakarta Timur dilihat dari Pasarrebo, keberhasilan walikota Jakarta Selatan dilihat dari penataan Pasarminggu, alamat kita bakal ngadain Pilkada tiap 3 bulan. Sungguh biaya yang tidak kecil. Sehingga harus dihindari, sebab daripada mendanai Pilkada mending duitnya beli pil KB. Atau bikin acara semacam Pildacil, agar semakin banyak orang yang mengajak menjauhi pil koplo. Tiiinnn...tin....tin....

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini