<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Saturday, May 20, 2006

Salah yang Kalah

Aku memandangi perempuan itu lekat. Ia jelita sungguhan. Tapi sungguh aku tak tertarik. Bukan karena aku sudah mengganti orientasi seksual (yukk..), tapi demi melihat lakunya. Ia naik di pojok perempatan jembatan "semanggi" UI. Padahal, di prapatan menuju jalan Akses UI ini, tanpa ada yang berhenti pun jalur ini sudah macet karena lampu merah yang tak pernah berfungsi sejak didirikan. (Eh, Pak Nur yang walikota itu tiap hari lewat sini lho).

Aku terus memandanginya dengan sedikit kekesalan. Ia terlalu cantik, modis, untuk berbuat salah itu. Angkot 112 Depok-Rambutan, terus berjalan. Di pertigaan Taman Bunga, jemari lentik si jelita mengetuk atap angkot, minta berhenti. Sekali, angkot terus melaju. Memang, saat itu lampu pengatur sedang hijau. Masya Allah, jemari lentik itu berubah menjadi tangan besi bak film cyborg. Menggedor dengan keras. Mungkin khawatir atapnya rusak, sang sopir memilih berhenti, diiringi sungut si jelita. Ya Rabb, betapa maha Adil Engkau, Kau beri dia wajah jelita, tapi pekerti tiada.

Aih, kejamnya aku menilai pekerti orang hanya dari disiplin berlalu lintas. Bisa saja, dia tidak tau bahwa yang dilakukannya salah. Bukan kesalahan yang dihalalkan demi kepuasa belaka. Di depan kampus Gunadharma, persis di bawah plang berisi Perda no. 14 tahun 2001 tentang larangan berdagang, berderet PKL yang menutup keindahan kampus. Di salah satu kios, tertempel poster "Penggusuran=Pembunuhan". Sungguh poster yang ambigu. Apakah artinya, penggusuran itu membunuh saya atau gusur aku, kau kubunuh.

gambar dari http://www.muhajirlawfirm.com/images/timbangan.gifDua pilihan makna yang sulit. Entah rasa salah sudah kalah oleh beratnya kehidupan. Atau betapa sulitnya mencari titik ekuilibrum, dalam neraca kehidupan yang semakin tak adil. Sehingga amok massa pun menjadi pilihan yang tidak lagi salah. Tapi bicara tentang neraca, berarti melibatkan dua pendulum yang harus setara di titik berat. Ada salah, ada baik. Ada upat, ada puji. Ada rahayat, ada pejabat.

Lalu, darimana mau memulai perasaan bersalah ini. Dari istana yang ternyata kebanjiran dan dimakan rayap itu. Dari Trunojoyo yang kebagian uang batil BNI. Atau dari Senayan, yang pimpinannya tetap pas pus.. merokok di ruang sidang ber-AC itu. Udah ah, dari diri sendiri saja. Karena merasa bersalah membebani inbox kalian, maka aku akhiri tulisan ini disini. Tabik.

Wednesday, May 03, 2006

Berarak Mega

Desau angin menggoyang dedaunan. Bergesekan, berderak tak ritmis. Lengkingan kera di kejauhan menambah pekat suasana hutan. Mengembalikan kenangan ke masa kecil. Saat hutan, kebun, ladang menjadi satu-satunya hiburan. Tempat bermain. Kuhirup dalam, udara bercampur bau getah karet, dan pesingnya amoniak dari pupuk urea yang tak sempurna tertanam. Sampai kapan ini semua bertahan.

Pertanyaan yang muncul demi melihat “kemajuan” kota kelahiran, Rantau Prapat. Serta orang yang berpikir “keliru” mengenai apa itu kota. Orang yang bertanya: seramai apa Inggris?. Tanya yang wajar. Sebab aku pun berpikiran serupa, ketika pesawat akan menjejak. Tak ayal, aku pun tergagu, saat perjalanan dari bandara Heathrow menuju pusat kota, masih banyak ditemukan tanah kosong yang dibiarkan meranggas. Dan lebih membisu lagi, sepanjang perjalanan tanah pertanian luas terdapat hampir sepanjang jalan London-Norwich. Antara satu kota dan lainnya, terpisah oleh hutan, ladang, dan sungai.



Sementara kotaku, sedang berbenah, atas nama pembangunan. Di Aek Tapa, suatu kawasan yang dulu menjadi pinggir kota, ditandai dengan sawah dan sungai, kini sebagian besar sudah diuruk jadi bangunan. Ruko. Sungai pun mengecil, tanah merekah. Warga kota ini secara finansial maju. Harga karet yang melambung, melampaui harga beras, membuat simbol kemakmuran tampak dimana-mana. Mobil, rumah, mal. Tapi secara sosial –tanpa mereka sadari—mereka terpinggirkan. Hanya karena semua berebut menjadi binatang ekonomi. Karena perbedaan harga tanah di kota dan pinggiran, banyak yang menjual tanah, dan membeli di pinggir kota, demi sebuah margin keuntungan.

Tak ada yg salah dengan cara ini. Ini logika ekonomi biasa. Ada pembeli yang menawar, ada penjual bersedia. Bungkus. Sayang, pemerintah yang semestinya menjadi pengatur, mana yang boleh dibangun, mana yang harus dihutankan, tak berfungsi sebagaimana mestinya. Atau mereka juga menjadi binatang ekonomi, dengan memanfaatkan kuasa untuk praktek kebatilan penyulitan izin?

Kota kami berubah total, menjadi kota –yang oleh arsitek tata kota Wayne Attoe disebut sebagai "sistemik fungsionalis"--. Kota yang terdominasi oleh hegemoni fungsi infrastruktur atau fungsi ekonomi semata, sehingga kehadiran dan wujud fisiknya jauh dari rasa keadilan dan nilai-nilai humanis.

Tak apa, nun di Jakarta sana pun demikian. Tak puas dengan metropolitan yang besar dan segala kekacauannya, mereka ingin lebih besar, dengan mengarak istilah “megapolitan”. Seolah itu adalah konsep. Padahal, berdirilah suatu masa di atas ketinggian. Lalu tatap lalu lintas dibawah sana. Semua berebutan, terkadang 3 jalur, 4 jalur. Naik turun dimana saja bisa. Adakah bedanya dengan di kampong sepi. Kotakah ini, jika menyeberang saja sulit, jika membuang sampah bebas dimana-mana.

Awan terus berarak, dan mentari mulai condong. Penderes (ada juga yang menyebut penakik) sudah pulang sedari tadi. Kupandangi getah yang menetes perlahan. Ini adalah aliran air yang menghidupi keluarga besar kami. Yang memungkinkan bisa sekolah. Malamnya, aku akan kembali ke Jakarta, tempatku menderes rezeki.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini