<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Monday, October 16, 2006

Syukur di Hari Fitri

Dedaunan masih berselimut embun, ketika aku melangkah menuju sungai. Obor di tangan ayah, cukup terang untuk menghindari tersandung akar pepohonan. Gemeretak gigi beradu dengan kecipak air dan serangga hutan. Bagi ayah, yang terbiasa mandi sebelum subuh, air tentu sudah tak dingin. Tapi bagi aku, wuihhh....

Ketika pagi terang tanah, aku sudah duduk di atas sadel honda (baca=motor). Memeluk erat ayah(*), melawan dingin. Semua demi melihat kota, membeli baju lebaran. Jarak antara kampungku dengan kota, sebetulnya tak jauh. Hanya 30 kilometer. Tapi jalan berpasir, berkubang lumpur memaksa kami berangkat dini agar bisa pulang petang.

Padahal tak banyak yang dibeli. Paling 2 stel, yang panjang dan pendek. Tapi senangnya bukan main. Aku juga membeli rokok, dari merk yang tak masuk ke kampung. Entah kenapa, saat lebaran, anak-anak kecil boleh merokok. Padahal diluar itu, sampai SMA pun, kalau aku menyentuhnya, aku bakal kena gebuk.


Kelak setelah jalanan diaspal, dan aku bisa naik motor, kok ya pergi ke kota itu biasa saja. Begitu pula, saat sekarang aku bergaji sedikit di atas UMR (Allahumma Inni Nas-aluka Barokatan Fir Rizki), membeli baju itu terasa biasa. Tak aneh, sepekan sebelum lebaran, aku belum membeli apa-apa.


Aku berpikir, adakah rasio antara kebutuhan dengan ketersediaan? Ketika sesuatu mudah tersedia, maka tingkat kepuasan memperolehnya menjadi nihil. Ketika kuliah dulu dengan uang saku pas-pasan, mencari makan begitu mudah. Karena pilihannya sempit, warung padang atau warung sunda. Kini, terkadang lapar semakin panjang hanya karena bingung mau makan yang mana.

Begitulah, sepekan lagi lebaran, hari nan fitri akan tiba. Suasana lebaran di kampung itu menyeruak. Sayang, aku tak mudik. Selamat Hari Raya Idul Fitri, Maaf Lahir dan Bathin, selamat kembali ke fitrah, selamat kembali ke kampung halaman, selamat kembali ke kesederhanaan. Sesungguhnya di hidup sederhana itu, banyak terselip kebahagiaan. Semoga.

Friday, October 13, 2006

Berkah di Sisa Malam


Suara musik, berpadu dengan getaran ponsel beradu dengan meja, membuatku tergeragap. Secepat ini, sudah waktu sahur. Aku alfa, tadi alarm yang biasa aku set-up di angka 03.30, aku geser menjadi 00.30. Mundur 3 jam, karena aku pengen menyalakan mesin air. Maklum, sejak kekeringan melanda, mesih hanya berbunyi mengantar angin. Aku tunggu dibawah tower. Aliran air sporadis, mungkin tiap 2 menit baru tercampak segenggam. Ah, kekeringan yang selalu kuberitakan itu menimpaku juga akhirnya.

Pagi, dengan mata terkantuk aku periksa lagi mesin. Masih mengaung, dan tentu saja panas. Tetangga mengusulkan, "dalemin aja". Memang, lima tahun tinggal di kontrakan itu, belum pernah ada upaya pendalaman sumber air. Padahal tetangga, sudah bermain di angka 40 meter. Kami tetap 20 meter.

"Dalemin aja! Kata yang mudah. Biaya operasional tidak terlalu mahal. Lalu, tanpa proses administrasi. Betapa "enaknya" hidup di negeri liberal ini, Sobat. Bayangkan, dulu waktu di Norwich, kami meminta landlord memasang pintu di lorong samping menuju pintu belakang, lebih dari 3 bulan baru terwujud. Rupanya harus ada izin pemda, verifikasi, izin tetangga. Lalu, hanya bengkel yang ditunjuk saja yang boleh mengerjakan.

Tolong, jangan bayangkan kerumitan ini terkait dengan upaya KKN. Izin Pemda, dan izin tetangga itu untuk kemaslahatan umat. Karena lorong itu dipakai juga oleh orang lain. Sedang verifikasi, apakah pemagaran tidak mengganggu upaya penyelematan jika terjadi kebakaran. Rumit deh. Coba disini, mau bangun monggo, bahkan mendirikan bangunan di tanah bukan milik sendiri saja, sah-sah wae. Bebas.

Kebebasan yang dianalogikan Kyai Sejuta Umat, dengan tingkah seorang penumpang kapal. Sang penumpang membayar tempat di dek paling bawah. Karena malas naik turun ke kamar mandi di bagian atas, ia lobangi saja dinding kapal. Ketika ditegor penumpang lain, ia marah: "Aku sudah bayar bagian ini, terserah mau aku apain". Padahal, ketika air masuk kapal, bukan si penumpang itu saja yang tenggelam, tetapi seisi kapal.

Nah, masih mau enak sendiri, dan membiarkan orang lain kekeringan?

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini