Sinetron Keadilan
Sejauh mana liputan langsung televisi, berpengaruh kepada rasa keadilan terdakwa elit.
Rapat redaksi SCTV berlangsung biasa. Rapat rutin harian perencanaan dan evaluasi peliputan, diramaikan dengan debat terbuka. Suasana agak menghangat, setelah Rosianna Silalahi, reporter sekaligus presenter mengajukan usulan unik dan menarik: Video conference kesaksian Habibie langsung dari Hamburg, Jerman.
Silalahi membawa usul ini ke rapat redaksi, setelah mendengar kabar dari reporter yang meliput persidangan Rahardi Ramelan, bahwa di depan sidang hakim Lalu Mariyun menawarkan kesaksian Habibie dilakukan dengan video confrence. Mariyun adalah ketua majelis hakim persidangan penyelewengan dana non budgeter bulog, dengan terdakwa mantan Kepala Bulog Rahardi Ramelan. Kesaksian Baharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia saat dana sebesar Rp 63 Milyar itu mengucur, amat diperlukan. Padahal Habibie tidak bisa datang ke Indonesia, karena menunggui istrinya, Hasri Ainun Habibie, yang sedang sakit. SCTV meyakini alasan itu benar, sebab Silalahi sudah melihatnya ke Jerman.
Hasil rapat redaksi pun dibawa ke rapat pimpinan. Sebab menyangkut kebijakan strategis dengan multi impilikasi. Rapat pimpinan dihadiri pemimpin redaksi dan kepala-kepala departemen Setelah disetujui, persiapan pun dimatangkan. Masalah pertama adalah soal teknologi. Mengangkut peralatan Satellite News Gathering ke Jerman, tentu tidak efisien.
Akhirnya, pilihan jatuh kepada Polycom, perusahaan penyedia layanan telekomunikasi Malaysia, yang memiliki fasilitas Integrated System Digital Network (ISDN) dengan menggunakan serat optik sebagai sarana pengiriman datanya. Dihitung-hitung, biaya teknologi sebesar 4690 dolar. Kira-kira setara dengan Rp. 43 juta. Pembiayaan mencakup view station di dua titik, Hamburg dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, masing-masing 530 dolar, video on demand sebesar 1485 dolar, dan sewa line 429 dollar. SCTV menggunakan dua line selama dua setengah jam. Biaya belum termasuk pengiriman Silalahi dan seorang kru yang mahir mengoperasikan kamera sekaligus paham teknologi siaran langsung ke Jerman.
Persoalan lain menghadang. Masalah legalitas video conference belum final. Jaksa dan pengacara Ramelan menolak. Para ahli hukum bersilang kata. Lewat diskusi intensif dengan Mariyun, dijamin bawa masalah hukum urusan pengadilan. SCTV hanya fasilitator proses video conference berlangsung tanpa hambatan. Karena pembiayaan dilakukan SCTV, maka persoalan durasi menjadi penting bagi SCTV. Disepakati, persidangan akan memakan waktu dua sampai dua setengah jam saja.
Tanggal 20 Juni SCTV menandatangani nota kesepakatan dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bahwa hak penyiaran eksklusif persidangan video conference kesaksian Habibie ada di tangan SCTV. Tanggal persidangan pun diputuskan tanggal 2 Juli. Upacara penandatanganan dilakukan Mariyun dan Pemimpin Redaksi SCTV, Karni Ilyas, disiarkan SCTV di program berita Liputan 6 Petang. “Kami siarkan sebagai promosi, karena terus terang kami memang bangga,” kata Iskandar Siahaan, Kepala Litbang dan Diklat Liputan 6 SCTV. Promosi juga dilakukan dengan beriklan di harian Kompas, dengan klaim sebagai persidangan video conference antar negara, pertama di dunia. Siahaan menyatakan, promosi ini tak terkait dengan iklan. Sebab SCTV berkomitmen bahwa program tidak akan dimasuki iklan, sebab acara ini merupakan unjuk tanggungjawab sosial SCTV saja.
Persidangan pun berlangsung mulus. Layaknya persidangan biasa. Ada hakim, jaksa, pengacara, dan Ramelan sebagai terdakwa. Saksinya, ya Habibie itu. Bedanya, tidak duduk di depan majelis hakim, tapi diwakili layar televisi. Di Hamburg, Habibie yang mengenakan batik berwarna gelap dan kopiah, disumpah secara Islam. Peserta persidangan dan pemirsa SCTV diseluruh Indonesia menyaksikan sumpah dan kesaksian Habibie tersebut, dari pukul 14.30 sampai pukul 17.00 WIB.
Seperti biasa, SCTV membuka jalur interaktif, lewat SMS dan email. Tanggapan mengalir deras. Sejak persidangan dibuka sampai program Liputan 6 Petang usai, lebih 2000 tanggapan masuk. Sudah barang tentu beragam, tapi mayoritas mendukung langkah SCTV. Meskipun ada yang menuduh SCTV melakukan pembentukan opini dan mencederai kehormatan terdakwa Rahardi Ramelan. “Tidak apa-apa, sebab tafsir atas isi media, seperti buku teks yang terbuka,” kata Siahaan, ketika kami bertemu di sebuah café, di lantai dasar Gedung Mitra, tempat SCTV berkantor. “Tanggapan” lain datang dari Museum Rekor Indonesia, MURI. SCTV dihadiahi piagam, karena menjadi stasiun pertama di Indonesia yang mengadakan siaran persidangan menggunakan metode video conference.
Apakah kekhawatiran dituduh membentuk opini publik itu tak terpikir oleh SCTV sebelumnya, tanya saya kepada Siahaan. Siahaan mengaku pemikiran itu selintasan ada, tapi ideologi mereka adalah berita. Sehingga kelayakan beritalah, yang menjadi motif teratas pengambilan keputusan menyiarkan video conference yang ditawarkan Mariyun secara terbuka. Kata Siahaan, bagaimanapun Habibie adalah figur terkenal, dan kasus Bulog adalah kasus yang menjadi perhatian publik.
Sehingga, SCTV pun memberikan perhatian serupa kepada kasus persidangan dengan terdakwa elit, seperti mantan Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tandjung dan persidangan Hutomo Mandala Putra Soeharto. Ketika pertama kali Tandjung disidangkan 20 Maret 2002, SCTV menyiarkan secara langsung dari ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan melengkapinya dengan dua tamu di studio. Kekhawatiran dituduh menyetir opini publik membuat SCTV selektif memilih narasumber. “Tujuan kami adalah membuat terang, bukan mengomentari saja,” jelas Siahaan.
SCTV bukan satu-satunya stasiun televisi yang meminati persidangan terdakwa elit. Stasiun TV berita Metro TV, sejak awal sidang Akbar Tandjung, belum pernah absen menyiarkan secara langsung dalam format live event, yakni liputan langsung dari ruang sidang, dan dibahas bersama narasumber di studio. Demikian pula dengan sidang Tommy, yang didakwa membunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, dan memiliki senjata api dan bahan peledak. Sejak awal persidangan tanggal 20 Maret, sampai pembacaan vonis 26 Juli 2002, Metro TV rutin menyiarkan secara langsung, dalam format live event itu. Bahkan pada saat pembacaan tuntutan dan vonis Tommy, seharian penuh isi siaran Metro TV hanya soal persidangan Tommy.
Persidangan terdakwa elit, memang menjadi komoditas pemberitaan yang menarik. Pakar hukum Hamid Awaluddin menyatakan senang sekaligus miris atas fenomena liputan langsung ini. Senang, sebab kejadian ini dapat dijadikan peringatan moral kepada pejabat, supaya jangan melakukan kesalahan kekuasaan. Jangan jadi pejabat korup. Miris, sebab liputan ini menumbuhkan stigma pada penonton yang awam hukum, bahwa orang yang duduk di bangku terdakwa, sudah pasti bersalah, presumption of guilty. Kuasa hukum Tommy Soeharto, bahkan pernah menuding pers telah melakukan trial by the press terhadap kliennya.
Frekuensi peliputan yang begitu tinggi, memang rawan terhadap trial by the press, penghakiman oleh media massa. Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja menjelaskan, trial by the press adalah membicarakan satu pihak secara bias, tidak membeberkan semua fakta, sehingga pemberitaan tidak berimbang. Akibatnya, terdakwa kehilangan hak mendapatkan peradilan yang bebas dan tak memihak (fair trial), karena media massa telah “memvonisnya” bersalah, sebelum hakim memutuskan apa-apa. Tetapi, salah bagi media, berbeda dengan salah dalam amar putusan hakim.
Penghujung bulan Juli, suasana gedung MPR DPR ramai. Banyak pekerja, menyiapkan perhelatan besar Sidang Tahunan MPR yang diadakan 1-10 Agustus. Di ruangan Ketua DPR, di lantai III Gedung Nusantara, ada kesibukan. Beberapa anggota Partai Golkar keluar masuk dari ruangannya. Tandjung akan melantik empat orang anggota DPR pergantian antar waktu. “Tidak apa-apa, saya tak terganggu. Sudah kenyataannya begitu, serahkan saja kepada aturan yang berlaku,” kata Tandjung ketika saya tanya apakah dia terganggu dengan siaran langsung televisi dari persidangan dirinya. Jawabannya datar dan tenang. Khas Tandjung. Apakah ada hak-hak pribadi yang hilang, atau malahan ingin menggunakan siaran langsung tersebut untuk menunjukkan pembelaan diri kepada masyarakat luas, kejar saya. Tandjung bergeming. “Tanpa ada televisi pun, besok saya akan menyampaikan pembelaan. Itu sudah menjadi hak saya”.
Rapat redaksi SCTV berlangsung biasa. Rapat rutin harian perencanaan dan evaluasi peliputan, diramaikan dengan debat terbuka. Suasana agak menghangat, setelah Rosianna Silalahi, reporter sekaligus presenter mengajukan usulan unik dan menarik: Video conference kesaksian Habibie langsung dari Hamburg, Jerman.
Silalahi membawa usul ini ke rapat redaksi, setelah mendengar kabar dari reporter yang meliput persidangan Rahardi Ramelan, bahwa di depan sidang hakim Lalu Mariyun menawarkan kesaksian Habibie dilakukan dengan video confrence. Mariyun adalah ketua majelis hakim persidangan penyelewengan dana non budgeter bulog, dengan terdakwa mantan Kepala Bulog Rahardi Ramelan. Kesaksian Baharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia saat dana sebesar Rp 63 Milyar itu mengucur, amat diperlukan. Padahal Habibie tidak bisa datang ke Indonesia, karena menunggui istrinya, Hasri Ainun Habibie, yang sedang sakit. SCTV meyakini alasan itu benar, sebab Silalahi sudah melihatnya ke Jerman.
Hasil rapat redaksi pun dibawa ke rapat pimpinan. Sebab menyangkut kebijakan strategis dengan multi impilikasi. Rapat pimpinan dihadiri pemimpin redaksi dan kepala-kepala departemen Setelah disetujui, persiapan pun dimatangkan. Masalah pertama adalah soal teknologi. Mengangkut peralatan Satellite News Gathering ke Jerman, tentu tidak efisien.
Akhirnya, pilihan jatuh kepada Polycom, perusahaan penyedia layanan telekomunikasi Malaysia, yang memiliki fasilitas Integrated System Digital Network (ISDN) dengan menggunakan serat optik sebagai sarana pengiriman datanya. Dihitung-hitung, biaya teknologi sebesar 4690 dolar. Kira-kira setara dengan Rp. 43 juta. Pembiayaan mencakup view station di dua titik, Hamburg dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, masing-masing 530 dolar, video on demand sebesar 1485 dolar, dan sewa line 429 dollar. SCTV menggunakan dua line selama dua setengah jam. Biaya belum termasuk pengiriman Silalahi dan seorang kru yang mahir mengoperasikan kamera sekaligus paham teknologi siaran langsung ke Jerman.
Persoalan lain menghadang. Masalah legalitas video conference belum final. Jaksa dan pengacara Ramelan menolak. Para ahli hukum bersilang kata. Lewat diskusi intensif dengan Mariyun, dijamin bawa masalah hukum urusan pengadilan. SCTV hanya fasilitator proses video conference berlangsung tanpa hambatan. Karena pembiayaan dilakukan SCTV, maka persoalan durasi menjadi penting bagi SCTV. Disepakati, persidangan akan memakan waktu dua sampai dua setengah jam saja.
Tanggal 20 Juni SCTV menandatangani nota kesepakatan dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bahwa hak penyiaran eksklusif persidangan video conference kesaksian Habibie ada di tangan SCTV. Tanggal persidangan pun diputuskan tanggal 2 Juli. Upacara penandatanganan dilakukan Mariyun dan Pemimpin Redaksi SCTV, Karni Ilyas, disiarkan SCTV di program berita Liputan 6 Petang. “Kami siarkan sebagai promosi, karena terus terang kami memang bangga,” kata Iskandar Siahaan, Kepala Litbang dan Diklat Liputan 6 SCTV. Promosi juga dilakukan dengan beriklan di harian Kompas, dengan klaim sebagai persidangan video conference antar negara, pertama di dunia. Siahaan menyatakan, promosi ini tak terkait dengan iklan. Sebab SCTV berkomitmen bahwa program tidak akan dimasuki iklan, sebab acara ini merupakan unjuk tanggungjawab sosial SCTV saja.
Persidangan pun berlangsung mulus. Layaknya persidangan biasa. Ada hakim, jaksa, pengacara, dan Ramelan sebagai terdakwa. Saksinya, ya Habibie itu. Bedanya, tidak duduk di depan majelis hakim, tapi diwakili layar televisi. Di Hamburg, Habibie yang mengenakan batik berwarna gelap dan kopiah, disumpah secara Islam. Peserta persidangan dan pemirsa SCTV diseluruh Indonesia menyaksikan sumpah dan kesaksian Habibie tersebut, dari pukul 14.30 sampai pukul 17.00 WIB.
Seperti biasa, SCTV membuka jalur interaktif, lewat SMS dan email. Tanggapan mengalir deras. Sejak persidangan dibuka sampai program Liputan 6 Petang usai, lebih 2000 tanggapan masuk. Sudah barang tentu beragam, tapi mayoritas mendukung langkah SCTV. Meskipun ada yang menuduh SCTV melakukan pembentukan opini dan mencederai kehormatan terdakwa Rahardi Ramelan. “Tidak apa-apa, sebab tafsir atas isi media, seperti buku teks yang terbuka,” kata Siahaan, ketika kami bertemu di sebuah café, di lantai dasar Gedung Mitra, tempat SCTV berkantor. “Tanggapan” lain datang dari Museum Rekor Indonesia, MURI. SCTV dihadiahi piagam, karena menjadi stasiun pertama di Indonesia yang mengadakan siaran persidangan menggunakan metode video conference.
Apakah kekhawatiran dituduh membentuk opini publik itu tak terpikir oleh SCTV sebelumnya, tanya saya kepada Siahaan. Siahaan mengaku pemikiran itu selintasan ada, tapi ideologi mereka adalah berita. Sehingga kelayakan beritalah, yang menjadi motif teratas pengambilan keputusan menyiarkan video conference yang ditawarkan Mariyun secara terbuka. Kata Siahaan, bagaimanapun Habibie adalah figur terkenal, dan kasus Bulog adalah kasus yang menjadi perhatian publik.
Sehingga, SCTV pun memberikan perhatian serupa kepada kasus persidangan dengan terdakwa elit, seperti mantan Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tandjung dan persidangan Hutomo Mandala Putra Soeharto. Ketika pertama kali Tandjung disidangkan 20 Maret 2002, SCTV menyiarkan secara langsung dari ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan melengkapinya dengan dua tamu di studio. Kekhawatiran dituduh menyetir opini publik membuat SCTV selektif memilih narasumber. “Tujuan kami adalah membuat terang, bukan mengomentari saja,” jelas Siahaan.
SCTV bukan satu-satunya stasiun televisi yang meminati persidangan terdakwa elit. Stasiun TV berita Metro TV, sejak awal sidang Akbar Tandjung, belum pernah absen menyiarkan secara langsung dalam format live event, yakni liputan langsung dari ruang sidang, dan dibahas bersama narasumber di studio. Demikian pula dengan sidang Tommy, yang didakwa membunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, dan memiliki senjata api dan bahan peledak. Sejak awal persidangan tanggal 20 Maret, sampai pembacaan vonis 26 Juli 2002, Metro TV rutin menyiarkan secara langsung, dalam format live event itu. Bahkan pada saat pembacaan tuntutan dan vonis Tommy, seharian penuh isi siaran Metro TV hanya soal persidangan Tommy.
Persidangan terdakwa elit, memang menjadi komoditas pemberitaan yang menarik. Pakar hukum Hamid Awaluddin menyatakan senang sekaligus miris atas fenomena liputan langsung ini. Senang, sebab kejadian ini dapat dijadikan peringatan moral kepada pejabat, supaya jangan melakukan kesalahan kekuasaan. Jangan jadi pejabat korup. Miris, sebab liputan ini menumbuhkan stigma pada penonton yang awam hukum, bahwa orang yang duduk di bangku terdakwa, sudah pasti bersalah, presumption of guilty. Kuasa hukum Tommy Soeharto, bahkan pernah menuding pers telah melakukan trial by the press terhadap kliennya.
Frekuensi peliputan yang begitu tinggi, memang rawan terhadap trial by the press, penghakiman oleh media massa. Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja menjelaskan, trial by the press adalah membicarakan satu pihak secara bias, tidak membeberkan semua fakta, sehingga pemberitaan tidak berimbang. Akibatnya, terdakwa kehilangan hak mendapatkan peradilan yang bebas dan tak memihak (fair trial), karena media massa telah “memvonisnya” bersalah, sebelum hakim memutuskan apa-apa. Tetapi, salah bagi media, berbeda dengan salah dalam amar putusan hakim.
Penghujung bulan Juli, suasana gedung MPR DPR ramai. Banyak pekerja, menyiapkan perhelatan besar Sidang Tahunan MPR yang diadakan 1-10 Agustus. Di ruangan Ketua DPR, di lantai III Gedung Nusantara, ada kesibukan. Beberapa anggota Partai Golkar keluar masuk dari ruangannya. Tandjung akan melantik empat orang anggota DPR pergantian antar waktu. “Tidak apa-apa, saya tak terganggu. Sudah kenyataannya begitu, serahkan saja kepada aturan yang berlaku,” kata Tandjung ketika saya tanya apakah dia terganggu dengan siaran langsung televisi dari persidangan dirinya. Jawabannya datar dan tenang. Khas Tandjung. Apakah ada hak-hak pribadi yang hilang, atau malahan ingin menggunakan siaran langsung tersebut untuk menunjukkan pembelaan diri kepada masyarakat luas, kejar saya. Tandjung bergeming. “Tanpa ada televisi pun, besok saya akan menyampaikan pembelaan. Itu sudah menjadi hak saya”.
Esok harinya, di aula kantor Badan Metereologi dan Geofisika, Kemayoran Jakarta, Tandjung menyampaikan pidato politik, dengan permintaan dibebaskan, karena tak bersalah dan tak berniat memperkaya diri. Tapi, dipersidangan yang disiarkan langsung Metro TV itu, Tandjung menuding ada pembentukan opini publik, bahwa dirinya bersalah jauh sebelum tuntutan dibacakan hakim. Siaran langsung hari itu, tak sepanjang seperti sidang sebelumnya, saat tuntutan empat tahun dibacakan hakim.
Masalah opini publik juga menjadi soal besar bagi Tommy Soeharto. Salah satu alasan Tomy mengabaikan hak banding, adalah opini publik yang memvonisnya bersalah jauh sebelum vonis dibacakan. “Pembentukan opini dilakukan secara sistematis, hingga kebencian kepada Tommy muncul, dan dia menjadi public enemy,” kata Muhammad Assegaf, salah seorang kuasa hukum Tommy, lewat telepon. Assegaf memberi contoh, sebuah majalah berita mingguan ternama, sampai empat kali menjadikan Tommy sebagai cover, tapi isinya tidak berimbang. Alasannya, pembelaan tidak terpublikasikan seimbang dengan pernyataan yang menyalahkan Tommy. Assegaf juga mencatat, headline sebuah koran sore terbitan Jakarta, sehari sebelum vonis dibacakan, yang memuat pernyataan bahwa Tommy harus dihukum berat. Sayang, Assegaf menolak menyebutkan nama medianya.
Tetapi menurut Assegaf, Tommy tak pernah menyatakan keberatan dengan pemberitaan televisi. “Cross examination yang disiarkan secara langsung Metro TV, merupakan suguhan yang sangat menarik. Menyodorkan fakta berimbang, antara tuduhan jaksa dengan pembelaan terdakwa,” sambung Assegaf. Tetapi Assegaf juga melihat, Metro TV terkadang mengundang narasumber yang sinis terhadap keluarga Cendana. Assegaf tak menganggap itu sebagai hantaman buat kliennya, sebab narasumber yang bahasannya ilmiah pun sering hadir. “Narasumber beda-beda itu kan memperkaya wacana,” kata Assegaf.
Suatu siang yang terik di bulan Juli, saya menemui Atmakusumah Astraatmadja, di kantornya yang dipenuhi kliping dan buku-buku. Astraatmadja menyampaikan kerisauannya terhadap pola peliputan di ruang sidang di Indonesia. “Sudah lama saya risau dengan keadaan ini. Ini kurang wajar, sebab ruang pengadilan mestinya agung dan khidmat” kata Astraatmadja. Dia mengacu kepada tatacara peradilan di belahan negara barat. Hal yang dirisaukan Astraatmadja adalah lalu lalangnya pekerja pers, kilatan blitz, bahkan bunyi yang muncul saat kamera dikokang untuk mengambil gambar. Dampak lainnya, adalah merugikan bagi keluarga terdakwa, dan timbulnya penafsiran macam-macam dari pemirsa buta hukum, terhadap adegan di ruang sidang. Astraatmadja mengusulkan pembatasan peliputan, dengan membuat aturan yang masuk akal. Antara lain membuat balkon khusus. “Tapi ruang sidang kita juga nggak nyaman ya,” kata Astraatmadja sambil terbahak.
Di Amerika Serikat, tak semua negara membolehkan kamera masuk ke ruang sidang. Negara Bagian Indiana, Mississipi, Missouri, dan District of Columbia (DC), melarang sama sekali kamera masuk ruang sidang. Sedangkan sebagian negara lainnya, menggunakan prasyarat dan pra-kondisi tertentu (Ted White: Broadcasting, News Writing, Reporting, and Producing, Focal Press, 1996).
Ada beragam pembatasan, seperti tergantung hakim, tergantung persetujuan seluruh elemen peserta sidang, dan tergantung jenis kasus yang disidangkan, Di negara bagian South Carolina, sidang kasus pembunuhan tak boleh diliput, sebab dikhawatirkan menimbulkan opini publik, yang mempengaruhi “juri”. Ada yang mensyaratkan, tak boleh menyorot juri. Tujuannya meminimalisir intervensi terhadap hasil yang jujur.
Menurut situs American Journalism Review, Amerika Serikat belum memiliki konsensus yang jelas dan tegas mengenai baik buruk kamera masuk ruang sidang. Meskipun, mereka yang pro selalu menggunakan argumen, bahwa “hak publik untuk tau” (public’s right to know) dijamin oleh Amandemen Pertama.
Di Amerika, persidangan terbukti menjadi siaran yang menarik. Sebuah televisi kabel, mengkhususkan diri menyiarkan acara persidangan. Namanya Courtroom Televisi Network, atau Court TV. Saluran yang mengudara Juli 1991, tiga bulan kemudian memukul rating CNN pada jam serupa di sore hari. Program yang membawanya banyak ditonton adalah persidangan seorang polisi kulit putih, Gary Spath yang menembak remaja kulit hitam. Penembakan itu memicu kerusuhan rasial di New Jersey. Disusul oleh persidangan William Kennedy Smith, jet-set dari klan Kennedy . Model siaran Court TV mirip dengan pola live event Metro TV, menyiarkan suasana ruang sidang, dan dikomentari narasumber di studio.
Pro kontra boleh tidaknya kamera masuk ruang sidang di Amerika Serikat, mengalami puncaknya pada persidangan olahragawan AS terkenal, alsiregar@yahoo.com
Masalah opini publik juga menjadi soal besar bagi Tommy Soeharto. Salah satu alasan Tomy mengabaikan hak banding, adalah opini publik yang memvonisnya bersalah jauh sebelum vonis dibacakan. “Pembentukan opini dilakukan secara sistematis, hingga kebencian kepada Tommy muncul, dan dia menjadi public enemy,” kata Muhammad Assegaf, salah seorang kuasa hukum Tommy, lewat telepon. Assegaf memberi contoh, sebuah majalah berita mingguan ternama, sampai empat kali menjadikan Tommy sebagai cover, tapi isinya tidak berimbang. Alasannya, pembelaan tidak terpublikasikan seimbang dengan pernyataan yang menyalahkan Tommy. Assegaf juga mencatat, headline sebuah koran sore terbitan Jakarta, sehari sebelum vonis dibacakan, yang memuat pernyataan bahwa Tommy harus dihukum berat. Sayang, Assegaf menolak menyebutkan nama medianya.
Tetapi menurut Assegaf, Tommy tak pernah menyatakan keberatan dengan pemberitaan televisi. “Cross examination yang disiarkan secara langsung Metro TV, merupakan suguhan yang sangat menarik. Menyodorkan fakta berimbang, antara tuduhan jaksa dengan pembelaan terdakwa,” sambung Assegaf. Tetapi Assegaf juga melihat, Metro TV terkadang mengundang narasumber yang sinis terhadap keluarga Cendana. Assegaf tak menganggap itu sebagai hantaman buat kliennya, sebab narasumber yang bahasannya ilmiah pun sering hadir. “Narasumber beda-beda itu kan memperkaya wacana,” kata Assegaf.
Suatu siang yang terik di bulan Juli, saya menemui Atmakusumah Astraatmadja, di kantornya yang dipenuhi kliping dan buku-buku. Astraatmadja menyampaikan kerisauannya terhadap pola peliputan di ruang sidang di Indonesia. “Sudah lama saya risau dengan keadaan ini. Ini kurang wajar, sebab ruang pengadilan mestinya agung dan khidmat” kata Astraatmadja. Dia mengacu kepada tatacara peradilan di belahan negara barat. Hal yang dirisaukan Astraatmadja adalah lalu lalangnya pekerja pers, kilatan blitz, bahkan bunyi yang muncul saat kamera dikokang untuk mengambil gambar. Dampak lainnya, adalah merugikan bagi keluarga terdakwa, dan timbulnya penafsiran macam-macam dari pemirsa buta hukum, terhadap adegan di ruang sidang. Astraatmadja mengusulkan pembatasan peliputan, dengan membuat aturan yang masuk akal. Antara lain membuat balkon khusus. “Tapi ruang sidang kita juga nggak nyaman ya,” kata Astraatmadja sambil terbahak.
Di Amerika Serikat, tak semua negara membolehkan kamera masuk ke ruang sidang. Negara Bagian Indiana, Mississipi, Missouri, dan District of Columbia (DC), melarang sama sekali kamera masuk ruang sidang. Sedangkan sebagian negara lainnya, menggunakan prasyarat dan pra-kondisi tertentu (Ted White: Broadcasting, News Writing, Reporting, and Producing, Focal Press, 1996).
Ada beragam pembatasan, seperti tergantung hakim, tergantung persetujuan seluruh elemen peserta sidang, dan tergantung jenis kasus yang disidangkan, Di negara bagian South Carolina, sidang kasus pembunuhan tak boleh diliput, sebab dikhawatirkan menimbulkan opini publik, yang mempengaruhi “juri”. Ada yang mensyaratkan, tak boleh menyorot juri. Tujuannya meminimalisir intervensi terhadap hasil yang jujur.
Menurut situs American Journalism Review, Amerika Serikat belum memiliki konsensus yang jelas dan tegas mengenai baik buruk kamera masuk ruang sidang. Meskipun, mereka yang pro selalu menggunakan argumen, bahwa “hak publik untuk tau” (public’s right to know) dijamin oleh Amandemen Pertama.
Di Amerika, persidangan terbukti menjadi siaran yang menarik. Sebuah televisi kabel, mengkhususkan diri menyiarkan acara persidangan. Namanya Courtroom Televisi Network, atau Court TV. Saluran yang mengudara Juli 1991, tiga bulan kemudian memukul rating CNN pada jam serupa di sore hari. Program yang membawanya banyak ditonton adalah persidangan seorang polisi kulit putih, Gary Spath yang menembak remaja kulit hitam. Penembakan itu memicu kerusuhan rasial di New Jersey. Disusul oleh persidangan William Kennedy Smith, jet-set dari klan Kennedy . Model siaran Court TV mirip dengan pola live event Metro TV, menyiarkan suasana ruang sidang, dan dikomentari narasumber di studio.
Pro kontra boleh tidaknya kamera masuk ruang sidang di Amerika Serikat, mengalami puncaknya pada persidangan olahragawan AS terkenal, alsiregar@yahoo.com
Note: Tulisan ini dimuat di Majalah Pantau edisi September 2002
1 Comments:
Ass,
salam kenal,
saya sangat tertarik dengan tulisan ini. kebetulan saya akan mmenyiapkan penelitian yang berkaitan dengan pengaruh media terhadap putusan hakim. setahu saya peran media memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap putusan seorang hakim. Beberapa penelitian menunjukan bahwa publikasi yang cenderung negatif akan mengakibatkan terdakwa cenderung dinilai bersalah. akibatnya terdakwa lebih berpotensi menerima hukuman lebih lama. Namun di Indonesia belum ada penelitian yang empirik mengenai sejauh mana peran media mempengaruhi putusan pengadilan. di luar khsusunya Amerika,peran media dalam pengadilan sangat dipertimbangkan, bahkan ada peraturan yang mengatur hal tersebut.Memang diakui, bahwa media merupakan inadmissible evidence. dengan hal tersebut peran media "diharamkan" bila dijadiakn sebagai dasar putusan pengadilan.Namun dalam perpektif kognitif- psikologis, publikasi media dapat berpotensi menimbulkan bias-bias. minimal terjadinya pembentukan image terahadap terdakwa. penelitian yg dilakukan Ruva, (2006) mengngkapkan bahwa publikasi media yang negatif dapat menimbulkan distorsi pada putusan hukuman. sekarang ini pihak jaksa Agung ingin mempublikasikan terdakwa kasus-kasus korupsi. jelas ini akan berdampak luas bagi masayarakat, hakim, atau pejabat? dampak seperti apa? mari kita lihat nanti?
salam,
Ivan
Post a Comment
<< Home