Jumatan di Negeri Seribu Kastil
Musim panas segera berujung. Hawa autumn mulai menyergap. Bagi warga yang biasa tinggal di kawasan dengan matahari hadir sepanjang masa, udara dingin terasa menyengat. Apalagi Norwich, 3 jam perjalanan arah timur dari London, mirip-mirip Bogor: hujan sekonyong-konyong menetes.
Seperti hari ini, Jumat pekan ketiga September. Aku berada di perpustakaan Universitas East Anglia. Menunggu waktu shalat, sambil membunuh rindu tanah air dengan membuka situs koran, majalah, dan portal berita Indonesia. Mendung mulai menggelayut, padahal tadi waktu berangkat dari rumah matahari bersinar terik.
Aku teruskan membuka internet. Kata teman-teman Indonesia, yang “senior” tinggal di Norwich, waktu shalat selalu berubah, mengingat adanya empat musim sepanjang tahun. Mereka menggunakan situs www.islamicfinder.org untuk mencari waktu shalat. Situs ini juga menyediakan software azan yang bisa di-download dan mengumandangkan azan tepat pada waktu shalat, lima kali sehari.
Waktu shalat hari ini, pukul 13.15. Tapi cuaca makin tak bersahabat. Rintik hujan mulai membelah, menyentuh kaca perpustakaan. Aku buru-buru menutup komputer, mengembalikan kartu pengunjung, merapatkan jaket, dan berlari meninggalkan pelataran.
Uppss, aku tak tau dimana arah mesjid. Tadi, sewaktu masuk area kampus, aku cari-cari di papan petunjuk, tak satu pun yang menyebut penunjuk mosque. Dengan bahasa Inggris ala kadarnya aku coba bertanya. Walah, bahasa Inggris logat Norfolk, Inggris Timur ini, ku dengar seperti orang kumur-kumur saja. Aku hanya menangkap, dia menyebut dekat car-park.
Tuhan maha Adil. Aku melihat wajah melayu melintas. Tak dinyana, saudare dari negeri tetangga, Malaysia. “Di dekat karpak, ada bangunan macam kontainer. Tak de tanda kubah, cuma gambar bulan kecik pakai tiang macam antena”.
Betul, macam kata pakcik tu. Mesjid kampus Universitas East Anglia yang megah ini, hanya tiga susunan kontainer. Kesepian di lapangan luas yang hanya berisi mobil. Tapi begitu masuk, kehangatan dan suasana hangat segera merayap. Hangat karena diluar udara begitu dingin, suasana kehangatan karena merasa akrab dengan tata ruang. Ruangan sekitar 100 meter persegi ini, ditutupi karpet tebal berwarna merah marun. Ahai.. ini dia yang membuatku senang. Kamar mandinya dilengkapi kloset jongkok dan selang penyiram. Bukan apa-apa, aku tak biasa dan risih dengan konstruksi kamar mandi di rumah kost dan kampus, sebab kloset hanya dilengkapi tisu.
Meski bangunan sederhana, tempat wuduk disentuh warna modern. Ada air panas dan dingin. Ada pencuci tangan wangi sekali, mungkin buatan The Body Shop, peralatan perawatan tubuh yang memang bermarkas di Inggris sini. Karena waktu shalat masih jauh, aku ngejogrok di kursi khas arab, semacam sofa tak berkaki, yang terletak di pojok. Selain aku, baru ada 2 orang lain. Keduanya diam, tekun membaca.
Kuraih satu Al Quran dari salah satu rak gantung. Oh ya, Quran dan buku tersusun rapi pada enam rak gantung dan 3 lemari. Karena masjid ini ada diantara tempat parkir dan lokasi pengembangan kampus yan sedang dibangun, pengurus mesjid menyurati kampus, agar menghentikan kegiatan proyek pas pelaksanaan shalat. Dalam surat yang ditempel di didinding mesjid ditulis: ini adalah bagian dari saling menghargari sesama penganut agama.
Mansyur, anak Saudi Arabia, yang menjabat Ketua UEA Islamic Society, datang setelah aku. Ia menyalakan dupa khas Arab. Tidak pakai arang tentu, tapi menggunakan listrik. Beberapa saat bau harum pun menyebar.
Jemaah semakin banyak. Dari wajahnya, aku meraba-raba mereka berasal dari Arab, India, Pakistan, Malaysia, dan wajah Indonesia yang sudah kukenal. Ada Mas Dono, anak FKM UI yang jadi ketua Persatuan Pelajar Indonesia cabang Norwich. Ada Taufik, putra Minang, dan Bang Rizal, anak Aceh yang dulu aktif mendamaikan GAM dan TNI lewat Henry Dunant Centre. Umumnya jemaah adalah mahasiswa. Anak-anak yang ikut, kurang dari sepuluh orang.
Seorang pria tua berjanggu putih menaiki mimbar sederhana. Sesederhana jubah yang dikenakan sang khatib. Tapi khutbahnya hebat. Menggunakan campuran bahasa Arab dan Inggris, ia membahas tentang peranan kaum muslim dalam membantu sesama. Ia menggugat bantuan negeri Islam terhadap pengungsi di Darfur, Sudan. Menurutnya, bantuan Oxfam, LSM yang bermarkas di Inggris, jauh lebih banyak ketimbang negara Islam. Intonasinya semakin meninggi, saat membahas masalah Irak dan Palestina. Bagian suicide bomber, bom bunuh diri, banyak menyita pembahasannya dalam khotbah sepanjang 40 menit itu.
Salat Jumat di Norwich tak cuma ajang ibadah. Kesempatan berkumpul ini dimanfaatkan untuk bersilaturrahmi, berdagang, dan juga berdemo. Aktivis Hizbut Tahrir Britain, membagikan brosur ajakan mendemo Presiden Pakistan, Pervez Musharraf di London, pertengahan Oktober. Di dekatnya, warga Pakistan lain menggelar dagangan dalam mobil. Dagangan bertajuk halal butcher ini, menjual ayam, kambing, daun sop, kentang, dan beras.
Aku tak ikut membeli, sebab kami belum membeli beras dan rice cooker. Dari kampus, aku menaiki bus tingkat menuju pusat kota. Dari lantai dua bus, aku memandangi kota yang dipenuhi bangunan tua warisan abad pertengahan. Menurut sahibul hikayat, dulu ada 57 kastil, bangunan besar dan indah, yang dibangun pedagang wol untuk menunjukkan kekayaan mereka. Kini, tinggal 32 bangunan yang tersisa. Sembilan diantaranya digunakan sebagai gereja kristen Anglikan. Sisanya dipakai untuk kepentingan umum. Satu diantara gedung, berada persis di pusat kota, berubah fungsi menjadi mal, meski tetap menggunakan nama Castle Mall. Tak heran, gereja dan bangunan tua ini menjadi salah satu jualan Dewan Kota Norwich. Tak sadar, aku telah terlewat halte City Center.
Dimuat di Majalah Insani Oktober 2004
0 Comments:
Post a Comment
<< Home