<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Thursday, October 21, 2004

Tube or not Tube


Dingin masih mencangkung di jalan Gloucester Street, ketika kami melangkah menembus kabut pagi. Masih ada waktu 25 menit untuk mengejar bus National Express yang akan membawa kami ke London. Tapi pagi begini, bis lewat sejam sekali, sementara menurut jadwal di halte York Street, bis sudah lewat 20 menit lalu. Kami putuskan berjalan kaki, meski udara dingin menggigit sumsum.

Dasar londo Inggris, waktu adalah segalanya. Kami tiba di penghentian Red Lion Street pukul 05.54. Artinya telat 4 menit. Bis yang sudah siap berangkat, kami kejar bak sprinter. Beruntung, meski mengomel, supir bis membolehkan kami naik.

Aku mengenyahkan tubuh, menghela nafas panjang. Akhirnya, jadi juga ke London, dengan ongkos 1 Pound, reduksi 13 Pound dari ongkos sesungguhnya. Ini semua berkat funfare, membeli lewat internet di situs bis National Express . Entah karena sopirnya bercelana biru, kemeja putih dan berdasi, atau karena bangun pagi dan terburu sudah jadi kebiasaanku 8 bulan terakhir, aku merasa seperti akan berangkat ke kantor saja.

Aku terbangun, saat bus memasuki pinggiran kota London. Pukul delapan sudah. Aku bilang sama Ari, ini persis naik dari terminal Depok lalu terbangun dua jam kemudian di Sudirman. Warga London sedang bergegas memulai aktivitas. Orang berjalan setengah berlari, dan kumpulan orang-orang yang tiba-tiba seperti nongol dari perut bumi sehabis ditumpahkan kereta underground, menjadi pemandangan pertama. Beda banget dengan Norwich yang cilik, London sebagai capital city-nya United Kingdom adalah kota yang sesak. Meskipun tetap teratur dan sepi dari klakson. Bayangkan Jakarta, man...

Sambil menunggu teman yang akan menjemput, kami memesan kopi di McD, Victoria Station. Menyantapnya bersama spageti yang kami bawa dari rumah. Maklum anak sekolah, semua cara menghemat harus dilakukan. Spageti ini hanya bermodal 1 Pound, bandingkan dengan harus membeli, bisa 5 Pound. Meskipun alasan klasik, adalah soal rasa, untuk menutupi kekikiran yang sebetulnya.

Tujuan pertama, adalah melaporkan di KBRI. Teman di Norwich mengusulkan naik tube, kereta bawah tanah yang jalurnya melingkar-lingkar, tapi stasiunnya jelas. Mbak Mariati, teman Ari sesama Awardee British Cheveaning yang menjemput kami, belum pernah naik tube juga. Jadilah kami naik bis. Praktik kekikiran berlanjut, beli karcis terusan sehari penuh, 2,5 Pound. Habis, sekali naik 1 Pound, bisa nggak jadi beli pete dan pare di China Town nanti.

Kami ingin menikmati matahari dulu di taman Hyde Park. Dari halte Marble Arch, kami jalan kaki 25 menit. Being British, means that you have to walk a lot. Buka bekal lagi, kali ini martabak isi kornet dan teh dari termos yang kami gandol dari Norwich.

Cukup, Mbak Mar berpisah dari kami, karena harus sekolah. Peta memuat jalur bus pun menjadi senjata pamungkas. Sesuai petunjuk kenek bus, kami turun di Mal Self Ridges di Oxford Street kalau mau ke Grosvenor Street, tempat KBRI berkantor. Oh ya, satu-satunya bus yang ada keneknya adalah bus tua yang pintunya hanya dibelakang.

Jalan kaki lagi. Ari mulai lecet, karena pakai sepatu bertumit. Ia meracau, karena aku larang pakai sepatu kets tadi pagi. Kegembiraan meuyak, saat melihat bendera merah putih berkibar di salah satu gedung mewah. Hebat, kedutaan Indonesia, negeri dunia ketiga dengan utang segudang, berdekatan dengan Kedutaan Amerika, Kanada, dan Italia. Entah kenapa melihat kain dua warna itu, aku merasakan sesuatu di relung batin. Lagu Bendera-nya Coklat pun mengalun pelan dilamunan:
“Merah putih teruslah kau berkibar, di ujung tiang tertinggi, di negara orang
ini... Merah putih teruslah kau berkibar, aku kan selalu menjagamu......”

Ke-Indonesia-an itu semakin kental, ketika kami mendapati beberapa pegawai kedutaan sedang duduk-duduk di luar menghisap kretek, sehabis makan siang. Mereka memberi tahu bahwa di dalam gedung ada kantin menjual masakan Indonesia. Hari ini, menunya soto, perkedel, gulai daging bola-bola, dan ikan tauco. Aku dan Ari saling menatap. Lalu seperti di komando, segera masuk. Di lorong, Ari nanya soal harga, aku bilang biar mahal yang penting sedaaaappp... Jangankan kami yang baru tiba dua pekan, karyawan KBRI yang sudah tinggal berbilang tahun saja, masih menyeka dahi dan ber-shhh..shhh.. menyantap pedasnya soto. Lumayan murah, per orang 4 Pound (kl 72 ribu rupiah), dapat semua menu, plus kopi atau teh. Tak lupa ada kerupuk udang, dengan kecap manis dan asin. Lengkap. Santapan lezat ini, semakin menguatkan tekad untuk ke China Town. Kata teman kami Karin yang pulang pekan lalu, disini tidak ubahnya pasar Depok. Maksudnya, semua dagangan Indonesia ada, bukan mengadopsi kekumuhannya.

Kami menuju Trafalgar Square, patokan untuk menuju “Glodoknya London”. Nah, Trafalgar Square ini juga salah satu landmark kota London. Sore begini, ramai sekali. Orang-orang berebut naik patung singa yang mengapit patung jagoan Inggris, Admiral Horatio Nelson, yang memenangkan peperangan di Selat Trafalgar. Semakin ramai dengan merpati yang bersileweran memburu pengunjung yang membagi sejumput makanan.
Sayang hujan untuk kedua kalinya turun hari ini. Matahari yang tadi menerangi kubah National Gallery dan Patung si Nelson merajuk, sembunyi di balik awan. Di kejauhan kami lihat menara Big Ben, seperti merayu untuk dilirik. Kami meneruskan jalan kaki. Melewati Horse Guard, markas penjaga kuda istana; 10 Downing Street, tempat Blair berkantor; dan gedung parlemen. Mendung berpadu dengan gelap malam, membuat kami harus merapatkan jaket dan berjalan sambil memasukkan tangan ke saku.

Tapi bayangan tentang bermacam-macam makanan Indonesia seperti pare, pete, labu, pare, bakso, tahu, teri, kacang tanah. Di Norwich sih ada toko Cina dan Bangladesh, tapi nggak selengkap ini. Meskipun harganya selangit dibanding Pasar Depok. Pete yang sudah dikupas, 100 gram dilego 1,5 Pound (kl 26 ribu), bakso 10 butir yang sudah dibekukan, 2 Pound. Tak apalah, demi kerongkongan, demi roso, demi tanah air (apa hubungannya?). Sebab, semua barang-barang yang tumbuh subur di Indonesia ini, diimpor dari Thailand, Malaysia, atau Vietnam.

Sudah pukul 19. Jadwal pulang masih 2,5 jam lagi. Sayang, manfaatkan sekali lagi tiket bus. Kami kembali ke Oxford Street. Tapi, hujan untuk keempat kalinya hari ini menyiram London. Seolah memberi tahu, hari ini cukup sudah. Kami pun mengarah ke Victoria Coach Stasion, dengan satu tekad akan kembali lagi. Dan, naik tube, meski sedikit lebih mahal dari bus. Tube or not tube, berakhir dengan indah.

London, 6 Oktober 2004






0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini