<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Thursday, December 02, 2004

Lebaran Ini, Janganlah Cepat Berlalu


Malam itu, kami berbuka puasa bersama lagi. Tidak ada sesuatu yang istimewa, yang mendorong kami berkumpul. Malam ini kami ngumpul untuk merancang persiapan lebaran, yang kami prediksi jatuh dua hari lagi. Meskipun dari 10 mahasiswa Indonesia yang belajar di UEA, Norwich persis separohnya yang berlebaran, tak menghalangi kami berlebaran bersama kawan-kawan agama lain.

Saat berbuka dan ngobrol soal rancangan acara, salah satu teman, Rahimah Imaduddin Abdul Rahim, mendapat telepon yang mengabarkan lebaran jatuh besok, Sabtu. Artinya, lebaran maju satu hari dari perkiraan. Aku segera mengecek situs Islamic Central Mosque untuk memastikan "percepatan" lebaran ini. Ada, meski situs ini baru memuat satu paragraf saja soal berita ini. Situs KBRI London pun segera menyikapinya dengan mengamini jadwal terbaru ini. Tapi, situs Islamic Society UEA, Norwich belum mengabarkan apa-apa.

Kami segera sibuk menelpon dan mengaktifkan piranti chat, Yahoo messenger, untuk kepastian. Pukul 7.30 malam, semuanya pun pasti sudah. Aku segera bertakbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa Ilaha Illa Allah wa Allahu Akbar. Allahu Akbar walil Ilahi al Hamd. Keharuan segera menyeruak di ruang tamu kami yang mungil. Aku haru berganda, ingat tanah air. Disana betapa mudahnya untuk mendapat kepastian ini, hidupkan televisi, atau nantikan tambur dan beduk yang dipukul bertalu, mengiringi takbir. Memang, disini sesekali petasan terdengar dikejauhan. Kami anggap saja menyemarakkan suasana lebaran. Meskipun sejatinya, petasan dan kembang api itu adalah sisa perayaan Bonfire awal November lalu, yang mungkin tak habis terpakai.


Sesaat kita terdiam. Lalu, Ari tiba-tiba sadar: lho gimana masakan buat besok. Ya, malam ini rencana sebelumnya, Ari, Ima, dan Ratih hanya ngumpul untuk “workshop” bikin kasstengel. Sedangkan makanan berat, seperti opor, kari kambing, dan lontong baru akan dibuat besok.

Beruntung, tadi siang sehabis Jumatan, Ari belanja ayam, kambing, dan daging sapi di mesjid. Sejurus kemudian, angin puting beliung pun melanda dapur kami yang kecil. Seluruh masakan harus selesai malam ini. Syukurlah, dua housemate kami, dari Meksiko dan Afrika tidak berada di rumah. Sehingga keriuhan panci beradu dengan belanga, putaran blender, serta bau bumbu menyengat hidung, tak mereka alami.

Sementara para ibu sibuk memasak, aku membayar zakat secara online menggunakan kartu kredit. Besarnya zakat fitrah yang ditentukan sebesar 3 Pound atau sekitar 45 ribu rupiah. Selepas itu, Aku segera menyingkirkan kursi dan meja, serta menyedot debu di karpet, untuk kesuksesan perayaan lebaran besok. Hingga hari berganti, ritual memasak itu belum usai sepenuhnya. Gulai kambing, akhirnya di drop, sebab waktu sudah tidak memungkinkan lagi.

Lebaran yang mendadak maju ini juga berdampak pada persiapan shalat Ied. Hingga 15 menit menjelang jadwal, jam 8.30, pintu Congreagation Hall kampus UEA, tempat shalat berlangsung belum dibuka. Kami pun menunggu diluar berteman udara yang dingin menusuk tulang.

Aku tersenyum membayangkan, sudah belasan tahun aku selalu shalat Ied di lingkungan kampus. Sewaktu kuliah di Bandung dulu, bila tidak pulang kampung, aku shalat di lapangan ITB. Setelah kerja dan tinggal di Depok, aku berjamaah di Mesjid kampus UI. Dan kini, nun jauh di rantau, aku tetap shalat di kampus.

Keterlambatan shalat ini mengacaukan prosesi lanjutan memasak. Ini mengharuskan kami segera pulang ke rumah, supaya jadwal makan bersama tidak molor. Padahal, aku ingin berlama-lama di dalam ruangan ini, bersama saudara yang sama-sama merayakan lebaran di negeri yang tidak menganggap lebaran ini sebagai hari penting. Kami menunggu bus, sama seperti hari-hari biasa. Padahal, kalau di tanah air, jalanan sudah dipadati orang yang lalu lalang berbaju baru, menenteng rantang, berombongan naik pikap bak terbuka.

Satu persatu teman kami yang tidak merayakan lebaran, mulai berdatangan. Rekan serumah, penganut Kristen asal Meksiko kami undang. Kami kenalkan ia kepada makanan Indonesia, dan apa itu lebaran. Kami pun duduk bersila mengelilingi rangkaian makanan tradisi lebaran. Sejenak merasa di rumah, berusaha menghadirkan suasana Indonesia. Hampir semua dari kami yang berlebaran pun menelpon ke rumah. Mengabarkan, kami sudah lebaran duluan, dan tidak usah khawatir, kami punya keluarga disini, lengkap dengan uba rampe lebaran itu.

Rasanya, kami tak ingin berpisah. Sebab diluar sana tak ada suasana itu. Ima dan Ratih yang sudah merancang lebaran di London pun, ogah bergerak. Tapi rekan kami, Shinta harus berangkat kerja part time di rumah sakit. Akhirnya lebaran hari pertama pun harus berakhir.

Tapi aku sudah bertekad, lebaran ini janganlah cepat berlalu. Perjamuan komunitas Malaysia, di hari kedua lebaran pun aku sambangi. Selain bercakap Melayu, pastilah makanannya pun lezat dan cocok di lidah. Melihat keluarga Malaysia ini, kerinduanku pada kampung halaman di Sumatera Timur sana pun mencuat. Pakaian yang mereka kenakan, baju kurung, dan lelaki mengenakan peci, celana panjang ditutup sarung berlipat setengah, persis sama dengan suasana disana.

Khayalan tentang makanan lezat pun tak meleset. Ada gulai kambing, nasi goreng tomat, soto, laksa, dan aha... gulai labu berpadu dengan buras. Aku bertanya, apa gerangan nama makanan beras berbungkus daun ini di Malaysia. “Ini buras, makanan khas Makassar, bukan Malaysia,” kata Tahir, ketua Komunitas Studen Malaysia. Rupanya, pak ketua ini masih turunan Bugis, dan nenek moyangnya masih ada di Bone, Sulawesi Selatan. Adapun gulai labu dibuat istrinya, yang masih keturunan Jawa. Perkawinan antar bangsa pula, yang membuat sushi, makanan khas Jepang, turut hadir di meja hidangan.

Lepas dari komunitas Malaysia, aku mencari keramaian di komunitas Arab. Ini adalah acara resmi mesjid kampus UEA. Halal bi halal, dikemas dalam Eid Celebration, lengkap dengan aneka permainan buat anak-anak. Ada quiz, dan game yang semuanya dikaitkan dengan syiar Islam. Seperti menyebut nama-nama Nabi, hingga hafalan Surat juz Amma. Karena masih kenyang dari perjamuan saudara serumpun sepuak, menjelang makan aku pulang. Sebenarnya, kari yang terhidang cukup memikat dari segi warna. Tapi bau jinten yang tajam, membuatku yakin dengan keputusan undur diri.

Masih ada satu kegiatan yang tersisa. Ngumpul dengan masyarakat Indonesia non pelajar. Ada beberapa masyarakat Indonesia yang menikah dengan orang sini. Ada tiga dari Aceh, dua orang Batak, Jakarta, dan Jawa. Semuanya datang dengan semangat menghadirkan suasana rumah, yang pada benak semua orang diterjemahkan ke dalam jenis makanan. Maka gulai Aceh, gado-gado, rawon, ketoprak, pempek, opor ayam, sosis Solo, dan sop buntut pun hadir di meja makan rumah keluarga Hugh Crawford, orang Norwich yang menyintai pantai Lhok Nga di Banda Aceh. Disini, kami juga punya tamu istimewa, Latifah, warga Inggris yang masuk Islam, dan bersekolah di UEA juga. Sama seperti kami, ia juga berasa sepi pada lebaran ini, sehingga ringan langkah waktu kami undang.

Aku sungguh tak ingin suasana lebaran itu pergi. Tapi apa boleh buat. Kota Norwich dan warganya, mulai didatangi aura Natal, lengkap dengan segala diskon, dan titisan salju. Tetapi, lebaran itu meski sekelebat, telah mampir nun jauh di lubuk hati. Allahu Akbar, wa Lillahi al Hamd.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini