<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Monday, July 11, 2005

Kesaksian dari Edgware Road

London Attacks

London bak sebuah ruang gawat darurat raksasa setelah rangkaian bom meledak. Kontributor TEMPO, Abdul Latief Siregar menuliskan pengalamannya dari salah satu titik ledak: Stasiun Edgware Road.

Kedutaan Belanda adalah tujuan saya pada Kamis pagi itu. Saya harus mengurus visa di kantor kedutaan itu, yang terletak di Hyde Park di pusat kota. Jadwal pertemuan saya dengan petugas visa pukul 10.30 waktu setempat. Ada dua pilihan menuju Hyde Park: bus atau tube (kereta bawah tanah)—kalau ingin lebih cepat. Saya melirik arloji. Waktu masih cukup. Pilihan saya jatuh pada bus.

Baru berjalan sepuluh menit, bus yang saya tumpangi berhenti di lampu merah di kawasan Maida Vale. Aneh. Lampu merah sudah berkali-kali berganti hijau tapi bus tak kunjung beringsut. Beberapa mobil pribadi mulai maju-mundur mencari celah berputar arah. Suara klakson, yang biasanya jarang terdengar di jalanan London, mulai bersahutan. Aha, akhirnya saya bertemu juga dengan kemacetan di Inggris, negara yang amat menjunjung tinggi aturan lalu-lintas. Andai ada "Pak Ogah" di lampu merah ini, terbayar lunas sudah kerinduan akan kemacetan Jakarta.

Penumpang mulai resah. Bus-bus di London selalu tepat waktu sehingga orang tak terbiasa menyisakan tempo untuk jaga-jaga. Telepon genggam mulai berbunyi kian kemari, bertanya kabar atau melaporkan bakal terlambat. Beberapa penumpang nekat turun, menempuh gerimis yang mulai jatuh. Setelah 20 menit tertahan, saya memutuskan bergabung dengan pejalan kaki lainnya.

Niat saya berjalan melewati titik kemacetan, lalu cari bus lain atau pindah ke tube. Mata saya awas mencari stasiun terdekat. Hati saya lega melihat plang Stasiun Edgware Road. Saya mempercepat langkah. Astaga! Alih-alih lowong, saya malah terjebak dalam barisan manusia yang memadati jalan tersebut. Rupanya, ada police line seratus meter menjelang Edgware Road, membuat arus pejalan kaki tertahan. Polisi ada di mana-mana. Mobil polisi, ambulans, pemadam kebakaran berjejer seperti sarden dalam kaleng. Situasi kian mencekam. Sirene ambulans dan mobil pemadam kebakaran meraung-raung tanpa henti.

Orang-orang saling bertanya. Ada yang mendekati polisi. Tapi Pak Polisi memilih tutup mulut dan hanya sigap menghalangi massa yang mencoba menyuruk-nyuruk di dekat tali pembatas. Saya ikut-ikutan mencondongkan tubuh ke depan, tapi segera terdorong oleh polisi yang melebarkan lokasi darurat. Ambulans kian ramai berseliweran. Saya mencuri dengar perbincangan seorang ibu yang baru saja menelepon. Katanya, ada ledakan di dalam stasiun, banyak yang terluka.

Tegang oleh keadaan yang tak pasti, saya menelepon seorang teman di Norwich—kota tempat tinggal saya, sekitar dua jam dengan kereta dari London—memintanya membuka situs BBC. Teman itu, yang baru saja terjaga, berteriak di telepon: "Ada ledakan di tube, belasan orang tewas." Masya Allah, betapa dekatnya saya dengan "kematian" itu. Andai tadi saya memutuskan naik tube, entah apa yang terjadi.

Kepanikan menjalar. Teman-teman di Norwich mulai menelepon dan mengirim SMS. Yang paling panik tentu teman kami yang tinggal di flat kampus University College London, yang cuma berjarak beberapa meter dari Russel Square, lokasi ledakan lainnya. Kami ada janji kesana siang itu.

Entah kenapa, hari itu banyak blank spot area di London. Ada yang bilang polisi sengaja memblok sinyal di beberapa area untuk menghindari serangan berkelanjutan. Polisi menduga bom diledakkan dari jarak jauh dengan pemantik sinyal telepon. Tapi, yang lebih masuk akal, semua orang saling bertelepon sehingga jalur menjadi overload. Gagal sambung ini membuat teman-teman yang berusaha mencari kabar kian panik.

Beberapa waktu berlalu, saya meninggalkan Edgware Station. Lalu-lintas menyepi. Sebaliknya, pejalan kaki kian bertambah. Penumpang kereta yang gagal bepergian menyembul dari bawah tanah. Hujan menderas bercampur air mata dan darah. London berduka dengan sempurna.

Polisi memandu orang yang kebingungan mencari jalan pintas. Kerapian, kecepatan, dan ketenangan polisi mengatur keadaan membuat saya sedikit lebih tenang. Setelah berjalan kaki dua jam lebih, memutari dua taman besar, Hyde Park dan Kensington Garden, saya tiba di Kedutaan Belanda. Sudah amat terlambat, namun pegawai di sana bisa memahami kondisi saya. Bahkan ia berpesan agar hati-hati. "Mereka baru saja meledakkan bus tingkat," ujarnya sewaktu saya bilang akan naik bus.

Staf Kedutaan Belanda itu tampaknya menjadi ekstrahati-hati oleh keadaan baru yang melanda London. Saya hanya diberi waktu kunjungan enam hari, padahal dua kawan saya sebelum ini mendapat waktu sebulan—dengan syarat-syarat yang sama. Saya mencoba menghiba. Petugasnya hanya angkat bahu. "Pada saat-saat begini, kita harus ketat," ujarnya.

Dengan hati gulana, saya bergabung dengan orang-orang yang tengah antre bus di halte di seberang kedutaan. Tiba-tiba sebuah mobil polisi melintangi jalan. Beberapa polisi bergegas memasang police line. Astaga! Padahal di sini tak ada stasiun kereta bawah tanah. Polisi yang ditanya berkukuh tak menjawab. Pokoknya jangan melintas. Seorang pegawai, yang ngotot ia hanya keluar sebentar dan sekarang ingin masuk lagi ke kantornya, mendapat penjelasan lokasi ini diancam bom. Di kawasan Hyde Park Gate, tegak sejumlah kantor kedutaan.

Saya kembali menyusuri taman. Hawa dingin membuat tubuh ingin membuang air kecil. Saya menuju toilet bawah tanah di dekat situ. Terkunci rapat. Padahal sejam lalu saya singgah di sini dalam perjalanan ke Kedutaan Belanda. Polisi bilang, ini demi alasan keamanan. Saya lalu melompat ke bus yang tengah memutar arah. "Saya hanya sampai halte depan, kami diminta pulang. Semua bus berhenti operasi," kata si sopir. Di Hyde Park Corner, pojokan perbatasan Hyde Park dan Green Park, saya beristirahat sejenak. Di sana tampak sejumlah turis malang yang kebingungan membaca peta.

Perut mulai keroncongan. Saya putuskan untuk makan di China Town sembari berharap toilet di Trafalgar Square masih buka. Menempuh hujan menyusuri Green Park, saya belum juga menemukan mujur: WC di taman yang biasanya padat oleh turis ini ikut-ikutan tutup. Alasannya sama: keamanan.

Koran-koran petang mulai mengabarkan serangan pada Kamis pagi itu. Evening Standard bersampul hitam muram mencetak judul "Bomb on Tube". Kontras sekali dengan berita koran-koran pagi yang mengabarkan pesta besar menyambut kemenangan London sebagai tuan rumah Olimpiade 2012. Di salah satu sub-judul terbaca, Al-Qaidah mengklaim sebagai pelaku pengeboman. Saya terhenyak.

Nama saya yang berbau Timur Tengah bisa menjadi urusan bila tiba-tiba ada pemeriksaan. Belum lagi kalau muncul sentimen anti-Islam. Tapi tampaknya orang-orang tak terlalu peduli dengan imbas dan latar belakang politik di balik serangan ini. Perempuan berjilbab santai saja melintas. Tak jauh dari Edgware Station, kawasan yang banyak dihuni toko-toko bernama Arab, macam Al-Mustafa, Abu Ali Cafe, Beirut, tetap buka.

Sehabis makan di China Town, --kawasan yang biasanya ramai macam di Glodok, Jakarta, itu sepi sekali hari itu--, saya kembali ke Trafalgar Square. . Di Trafalgar Square, suasana tegang mulai mencair. Turis bercampur dengan para pegawai kantor yang mengaso kelelahan berjalan kaki. Tube masih ditutup total, tapi sebagian jalur bus mulai dibuka. Trafalgar Square, yang mestinya ramai di musim panas ini, hanya terisi sebagian kecil.

Hari sudah beranjak petang, saya harus kembali ke Norwich. Sambil menantikan bus, saya duduk-duduk di stasiun bus luar kota, Victoria. Terlihat deretan penumpang yang tak terangkut sejak siang. Ada seorang nenek yang sudah menunggu sejak pukul sebelas siang tadi.

Bus pengganti akhirnya tiba—sebuah bus dalam kota yang jelas-jelas tidak nyaman untuk perjalanan jauh. Tapi saya bersorak girang akhirnya bisa meninggalkan London. Saya terkenang ucapan penyiar televisi yang melakukan siaran dari Trafalgar Square: "Kemarin, saya berdiri di lapangan ini bergembira bersama ribuan orang yang merayakan kemenangan London sebagai penyelenggara Olimpiade 2012. Hari ini, saya harus menyiarkan berita duka." Gembira dan duka memang cepat sekali bersilih.


4 Comments:

At 6:17 PM, Blogger loper said...

untunglha eyang sehat walafiat .. tidak kekurangan satu apapun dengan kejadian tersebut .. :) itu saja sudah merupakan hadian untuk saya :)

ati ati ya eyang .. jauh jauh di negeri orang bukan untuk ketiban bom ...

 
At 8:40 PM, Anonymous Anonymous said...

di sini bom, di sana bom. kekerasan dibalas kekerasan, kapan berhentinya? hiks.. :(

 
At 6:30 PM, Anonymous Anonymous said...

saya kadang suka ngebom juga, kalo lagi masup angin, Boss :P
btw, kalo tukang ngebom, mah, kagak identik dengan ras, sama, apalagi nama :-D, tapi, yak.... gitu, deh

 
At 9:53 PM, Anonymous Anonymous said...

Syukur alhamdulillah Abang Latief dan estri enggak apa2 yeah.

ummujib

 

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini