<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Thursday, May 26, 2005

Ngemong Tak Meraja

Aku terima surat itu dengan sukacita. Bukan. Bukan surat cinta, yang kata Vina Panduwinata, bisa membikin hati berbahagya. Ini surat dari Inland Revenue, kantor pajak Inggris, berisi cheque 823 Pound. Alhamdulillah. Ini adalah pajak dari gajiku yang dipotong 25 persen setiap bulan. Lumayan, kayaknya liburan keliling Eropa, sudah di depan jendela.


Ceritanya, setiap bulan April dan Oktober, yang merupakan bulan pajak, setiap wajib pajak mendapat laporan. Karena aku warga asing, dan memiliki National Insurance Number, maka pajak itu bisa diambil kembali. Awal mei lalu, pergilah aku ke kantor Inland Revenue. Ini adalah kali ketiga, aku berurusan dengan kantor pemerintah di Norwich sini, setelah urusan pajak, dan National Insurance Number, semacam kartu kuning pencari kerja. Hanya sekejap, tidak bertele, dan bebas calo.


ari di balaikota norwich Ketika pertama kali berurusan dengan kantor pemerintah, November lalu, ada perasaan gundah. Khawatir repot, berlarut, dipersulit, dan ujung-ujungnya duit. Betul kata bijak bestari, pola pikir dipengaruhin oleh pengalaman. Saat itu kami mengurus pajak rumah tinggal. Tak tanggung, seorang kena 800 Pound. Berarti berdua, sekitar 27 juta perak. Berhari-hari surat itu kami abaikan. Hingga akhirnya, setelah membaca di situs yang dilampirkan dalam surat pemberitahuan, dan memenuhi semua dokumen, kami pergi juga.


Begitu masuk, tak ada ambtenar yang hilir mudik tanpa kerjaan, maupun calo yang "baik hati" dan suka menolong itu. Hanya resepsionis yang ramah memberi petunjuk ruang mana yang akan dituju. Ternyata disana ada banyak loket. Maklum kantor walikota. Kami mengambil tiket antrian yang dimuntahkan mesin, macam di bank-bank terkemuka di Jakarta. Menunggu sejenak, lalu dilayani oleh pamong praja yang betul-betul ngemong dan tak bersikap meraja. Sesuai petunjuk di situs mereka, pelajar tidak dikenai pajak, kami pun tanpa membayar sepeser. Ohoi.. berurusan di kantor pemerintah, tak mengeluarkan biaya.


Aku lalu ingat kampungku nun jauh di sumatera utara sana. Dulu, dulu sekali sebelum reformasi, berurusan dengan kantor pemerintah, polisi berarti mengeluarkan duit lebih. Kalau tanpa dana batil, jangan harap urusan beres. Tak heran, Sumut, yang sejatinya akronim dari Sumatera Utara menjadi sumut=semua urusan mesti uang tunai. Keluarga kami termasuk beruntung. Salah satu abangku bekerja di kantor bupati, satunya jadi polisi, dan iparku suster di rumah sakit. Makanya, bikin akta kelahiran lancar, bikin SIM mudah, dan kalau sakit tak perlu antri lama. Meskipun tetap membayar, tapi tidak semahal mereka-mereka yang tidak punya koneksi sama sekali. Tapi itu dulu, dan di kampungku.


Dulu aku berpikir, para ambtenar ini berlaku begini karena gajinya kecil, dan pendidikan kenegaraannya kurang. Belakangan, setelah korupsi di KPU terbongkar, aku percaya korupsi itu bisa mengenai siapa saja. Meminjam fatwa Bang Napi: Korupsi terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku. Tapi karena adanya kesempatan. Waspadalah!. Ah, jadi ngelantur. Sudahlah. Kuciumi kembali surat itu, sambil membayangkan manisnya Paris, romantisnya Venezia.

2 Comments:

At 8:58 PM, Blogger mpokb said...

wow, pajak 25%... betapa terasa. tapi kalo dibalikin dan bisa buat jalan2.. alangkah indahnya... huhuu... mau ke italia ya? enakee... *mupeng*

 
At 6:58 PM, Anonymous Anonymous said...

kalo disini, udah digetok pajak, trus dijitak pungli pula, alamak :-S

 

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini