Bukan Salah Burung di Sarung
A Postcard from Pasarrebo ISuara klakson bersipongang memecah pagi. Entah mau kemana makhluk fana ini begitu gegasnya. Bukankah ada lampu pengatur, yang menjadi patokan. Merah artinya berhenti, hijau itu berjalan, kuning hati-hati. Sedari TK itu sudah diajari lewat lagu. Kenapa untuk pelajaran mudah itu saja, negeri yang parlemennya kayak TK ini sulit. Tak puas dengan klakson, seorang kenek kampungan jurusan Kampung Melayu-Kampung Rambutan, turun menghalau mobil yang berhenti di depannya.
Si sopir yang dihela, tak mau kalah. Ia berhenti karena di depannya seorang nenek berdiri kebingungan. Tak ke kiri, tak juga ke kanan. Raut wajah tua itu bingung dan takut. Agaknya ia baru saja turun dari sebuah angkutan, dan mendadak lampu berubah hijau. Aku tak kuasa berbuat apa. Motor, bus, angkot sudah menekan gas siap memangsa.
Lalu berlarilah dewa penyelamat. Mengepit koran dagangan, membentuk sayap bak Superman, ia gamit tangan si nenek menepi. Untung ini bukan sinetron, kalau tidak pastilah ia menggendong si nenek (seorang gadis belia yang rambutnya di cat putih untuk mendapatkan unsur tua), diringi tepukan meriah.
Ah, betapa indahnya. Orang kecil itu sudah lama membentuk jejaring sosial, menolong sesama, ditengah ketiadaan kepastian aturan dari pemerintah. Kemana polisi? Tadi sebelum aku tiba di prapatan Pasarrebo ini, aku melihat mereka berkerumun di depan rumah sakit, 200 meter nun disana. Mereka sedang razia. Mungkin menyigi teroris, mungkin juga menisik narkoba. Sungguh mulia. Padahal ditengah ketakberdayaan aturan, prapatan riuh nan hiruk pikuk ini, membutuhkan banyak polisi, sebagai kekuatan pemaksa agar tertib. Apatah lagi, disini tak jelas dimana halte, zebra cross, sehingga selalu simpang siur.
Toleransi dan semangat kerjasama wong cilik ini, acap kali membuat kita nyaman sesaat. Sehingga alpa bahwa hanya dengan aturanlah, warga dibelahan bumi lain sana menjadi lebih maju. Kita seolah tak terganggu dengan prapatan yang tak beraturan, abai bahwa trotoar telah diakuisisi, bantaran kali diokupasi. Lalu kaget, saat sebuah menara menjulang ratusan meter roboh menimpa rumah warga. Lebih kaget lagi, ternyata setelah sekian lama tegak, tiang besi itu tak punya IMB. Maha kaget lagi, ketika flu burung mematok. Ada hal kecil, yang jika dijalankan tak akan serumit sekarang. Yakni kebersihan kandang, kewajiban vaksinasi, dan sanitasi yang baik. Tapi jika menara yang terlihat telanjang saja, aparat kebobolan, bagaimana lagi dengan ternak kecil. Kasip, kini kita butuh 30 Milyar untuk pemusnahan, 17,5 juta dollar (kl Rp. 16 M) untuk penelitian, membeli tamiflu (1 kaplet= Rp 60 ribu), membeli rapid test 1 strip 100 ribu, dan membeli peralatan baru untuk 44 rumah sakit khusus flu burung.
Sungguh jumlah tak kecil, ditengah banyaknya jeritan warga memakan nasi aking. Kata orang dulu, bukan salah bunda mengandung, tapi salah yang punya (flu) burung. Halah...
2 Comments:
waks, loper koran pun bisa jadi hero, bukan yg cuma dapat bintang jasa.
btw, jangan salahkan bunda mengandung, salahkan ayah yang mengandung yak...
Memang banyak salah-urus dan bisu-budek-dan-basi, dari mulai para aparatur sampe mereka yang ada di perapatan pasarebo itu :)
Dari flu burung sampe ke bunda mengandung, uraian benang kusut itu ternyata tidak mudah melerainya menjadi penyelesaian yang sederhana..:)
At least, dari pihak individu masing-masing bisa mulai melerai urusan sakit kepala dan benanng kusut sendiri, mungkin insyallah dengan begitu lingkup yg lebih besar bisa segera pulih..hopefully. Seneng udah bisa mampir kesini, salam hangat dari afrika barat :)
Post a Comment
<< Home