<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Saturday, February 04, 2006

Elegi Sepenggal Pagi

Deritan kaca bergeser membuat beberapa orang mencuri pandang. Dua orang di pojok itu cuwek bebek. Bercerita dengan volume suara keras. Sekeras hembusan asap rokok yang mengepul membumbui obrolan. Kaca kembali bergeser. Mungkin pelakunya berusaha menunjukkan ketidak senangan atas asap rokok yang mengotori kesegaran udara pagi. Tapi kaca bergeser perokok berlalu. Tak peduli ada Perda Larangan Merokok.

Sebagai orang yang terdidik ala Inggris (ck..ck..ck..) tentu saja aku bergeming. Namun suara dan tawa mereka yang melewati ambang batas, membuatku menyimak juga.
“Beli tiket lu”
Tersipu si bapak bergigi renggang itu memasukkan tiket kereta yang tadi menyembul.
Mereka memang naik di dekat stasiun Tanjungbarat.
“Dasar penakut. Gue sih kagak pernah. kecuali mau turun di (stasiun) Gondangdia. Suka ada Brimob. Serem”. Punya takut juga nih si gondrong kribo, pikirku.

“Ah, ceng go ini”
“Eh, cenggo bisa dua batang tuh”
“Lu pelit banget sih, ceng go doang” Si gigi renggang tak mau kehilangan muka, dicela di dekat cewek bermek-ap tebal yang sedari tadi diliriknya.
“Pelit? Emangnya gue pak Asep”. Entah Asep siapa, yang jelas mereka tertawa terbahak begitu nama itu tersebut. Mungkin mereka punya referensi yang sama tentangnya. Lihatlah.
“Iya tuh, entu orang emang pelit abis dah. ngerokok kagak, jajan juga kagak.”
“Makan aja bawa bekal dari bini”
“Emang piknik”. Tawa pun berderai berlomba dengan raungan angkot.

Ekonom sedunia bersatulah. Menangkap suara rakyat terkadang tak perlu survei dengan metode canggih bin rumit. Dengarlah suara bangsaku yang nrimo ing pandum itu. Melihat gelagatnya, mereka bukan orang berpenghasilan besar. Asal bisa merokok, ngupi, korupsi tiket kereta, jajan bakso sudah dihinggapi bahagia. Pagi-pagi sudah terbahak. Jadi lupakan penelitian rumit soal under poverty line, yang mengharuskan berpenghasilan 2 dollar sehari baru dianggap lepas dari kemiskinan. Bangsaku miskin, tapi kaya hati.

2 Comments:

At 1:58 AM, Blogger Inayah said...

baca ceritanya, emang kita nih musti banyak bersyukur ya eyang. bagaimanapun juga aku selalu merasa lebih beruntung dibandingkan dengan mereka, tapi kadang masih saja suka lupa untuk mensyukuri segala nikmat Tuhan...:(

Btw, temenku disini bingung gaji pns cuma $200/bulan...:)

 
At 8:22 PM, Blogger Intan Bayduri said...

Pak Asep bukan pelit, tapi hidup sehat hehehe... hidup pak Asep!.. loh?

 

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini