Bus Gratis, Bus Way, Bus Wae...
Aku berjalan melampaui halte yang sepi. Mestinya aku menunggu di halte dekat toko togel ini. Karena ini adalah halte terdekat dari rumah kami. Nun sekitar 150 meter dimuka ada halte lain. Kesanalah aku berjalan, menyusuri trotoar lebar yang rata, tak dikuasai pedagang, atau pengendara motor. Tak sekedar mau sehat. Tapi ingin berhemat.
Bayangkan. Jika aku naik di halte toko togel, sampai city center aku harus membayar 1,6 pound (atau 2,8 pp). Tapi jika aku rela jalan kaki seperti yang aku lakukan barusan, aku hanya perlu merogoh kocek 0,8 pound sekali jalan, dan 1,2 pp. Ada perbedaan 1,6 pound. Ini bukan tak seberapa. Dengan 1,6 pound, lumbung bisa terisi 3 kg beras atau 5 liter jus jeruk.
Ini bisa terjadi, karena Norwich menggunakan sistem zoning dalam pembayaran tiket. Tidak jauh dekat (yang sesungguhnya bisa ditawar juga). Sistem zoning hanya salah satu dari sekian banyak sistem ticketing angkutan publik di kota-kota di Inggris.
Aku teringat ini, setelah bersua dengan temanku yang bekerja untuk Dompet Dhuafa. Mereka meluncurkan bus gratis kaum dhuafa oktober lalu, dan bus gratis khusus pelajar rabu, 18 jan 2006, di SMU 73 Jakarta Utara. Sayang, media –termasuk televisi tempat aku bekerja—tak berminat pada “berita kecil” yang “hanya” 2 bus ini. Tak sepadan dengan jumlah dan kehebohan uba rampe peluncuran busway.
Naik bus secara gratis. Aku tak 100 persen setuju dengan ide ini. Aku memilih sistem subsidi. Makanya kepada teman itu aku usulkan sistem ticketing itu. Selain pembagian zona, dikenal pula tiket multi-trip. Sekolah, kampus dan kantor, bekerja sama dengan pemerintah, mengeluarkan tiket tahunan dengan sistem subsidi. Mahasiswa di Norwich, hanya dikenai tiket tahunan 135 Pound, setara dengan 2,6 Pound per minggu. Padahal untuk sekali naik bus, ongkos termurah adalah 0.8 Pound dan termahal 2.8 Pound sekali jalan.
Selain tiket tahunan, dikenal juga tiket mingguan, bulanan, dan tiket berkelompok. Satu lagi, tiket konsesi bagi lansia. Old citizen ini diberi potongan besar, dengan menunjukkan kartu konsesi. Mungkin disini ini kurang bermanfaat, sebab disini lansia tak dianjurkan bepergian menggunakan angkutan umum. Dimana dia hendak menyeberang, dan dimana dia hendak berjalan aman dengan penglihatan yang tak lagi awas
Satu pelajaran penting, Dompet Dhuafa meluncurkan sebuah program publik berdasarkan penelitian dan survey. Makanya ketika Gubernur Sutiyoso memanggil mereka, justru penguasa Betawi itu segendang sepenarian, tertarik dengan program bus gratis ini.
Saya membayangkan, daripada membangun mal, lebih baik lahan kosong dibangun Park and Ride, yakni tempat parkir luas dan menjadi titik awal perjalanan bus berikutnya. Andai pemerintah kota penyangga Jakarta, macam Depok, Bekasi, dan Tangerang menyediakan bus menuju Park and Ride. Kalau saja rencana ini terwujud, Park and Ride misalnya ada di Lebak Bulus, pekerja dari Depok, Ciputat, dan Bintaro cukup memarkir kenderaan disini, dan langsung naik busway menuju Sudirman dan Thamrin. Tiket parkir dipadukan dengan tiket bus, dan pengguna dirangsang dengan penerapan tiket multi-trip.
Kalau angkutan umum nyaman, harapan mobil pribadi berkurang akan jadi kenyataan. Asa agar memiliki jalur khusus sepeda, ada di depan mata. Mari bersepeda…!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home