<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sunday, December 18, 2005

Biarkan Air Mengalir


Sungai Musi, Palembang

SENJA yang menua menyungkupi jembatan Ampera, Palembang. Semburat keemasan berpendar di atas sungai Musi yang kecoklatan. Puluhan orang menikmati petang di seputaran jembatan legendaris itu, dari Plaza Benteng Kuto Besak (BKB). Tempat yang dulu sumpek, dipadati pedagang buah dan sayuran, memupur wajah untuk menyambut semboyan Palembang, sebagai “Kota Wisata Air”.

Selain pengamen, seseorang mendekakti kami. Rayunya, tak lengkap menonton sungai Musi tanpa melayarinya. Ia adalah nakhoda perahu bermesin yang tertambat tak berdermaga. Tawar menawar, harga pas, tancap gas. Erat kedua lenganku mencengkram pinggiran perahu berdimensi 1,5 kali 3 meter itu. Kami berenam, dan sang nakhoda menyesaki perahu yang tampak kecil di alur sungai Musi yang lebar.

Perahu memutar sebat di bawah jembatan Ampera yang legendaris, menyisakan percik air di muka. Kami mencoba tertawa, meski terdengar getir, karena tawa itu hanya penawar rasa takut. Agaknya si nakhoda menikmati rasa khawatir kami. Sesekali ia tancap gas seolah tak melihat perahu lain yang akan bersilih. Setelah dekat baru ia berbelok. Atau melayari gelombang yang diciptakan kapal berukuran besar, yang rasanya seperti berkendara di jalanan berbatu. Syukur, setelah 25 menit, perahu akhirnya menepi.

Naik speed boat di sungai Musi ini melengkapi “petualangan” menyusuri sungai di York, Cambridge, Ely, dan London, serta di Amsterdam. Memang, sungai merupakan salah satu andalan kota-kota di Inggris. Tak terkecuali Belfast, wahah di Irlandia Utara yang dilanda perang saudara.



Berlayar di London

Namun, kali ini paling segalanya. Paling mengerikan. Paling murah, hanya 40 ribu satu perahu. Bandingkan di York, 9 Pound (kl 160 ribu/orang), di Cambridge 8 Pound (kl 145 ribu), dan Amsterdam 7 Euro (kl 70 ribu). Juga paling cuwek. Si nakhoda hanya tersenyum simpul ketika kutanyai apakah ia menyediakan pelampung. Biarlah, ia tak sendirian. Ada jutaan kepala di negeri ini, yang menganggap kecelakaan, kemalangan merupakan takdir yang tak bisa dicegah, meski dengan penyediaan infrastruktur yang baik.

Kembali ke Benteng Kuto Besak. Benteng ini adalah peninggalan Belanda yang dulu digunakan sebagai pos pemantau musuh yang datang dari air. Lama ia dia teronggok tanpa makna. Hingga Palembang ketiban sampur sebagai tuan rumah PON. Segalanya pun berubah. Bisa jadi, otonomi daerah yang mengembalikan Sumatera Selatan sebagai provinsi ke-lima terkaya, turut berpengaruh. Terlambat. Ya, karena sama dengan kota-kota di Inggris, sungai merupakan pelengkap sebuah kota. Tak aneh, sebab sungai adalah sumber penghidupan yang menjadi pusat aktivitas sebuah komunitas sebelum ia membesar menjadi kota.

Tak hanya Palembang. Nyaris seluruh kota di Indonesia punya sungai pembelah kota. Sekedar mengabsen, Kalimas di Surabaya, Cikapundung di Bandung, Ciliwung di Jakarta, dan Krueng Aceh di Bandaaceh. Tak terhitung pula situ atawa danau. Ada banyak potensi wisata yang menguntungkan di sungai ini: cruishing, resto terapung, pemancingan. Semuanya bisa tanpa merusak fungsi sungai, dan membiarkannya berdampingan antara kekinian dengan ke-baheula-an.

Petang itu, di Plaza Benteng Kuto Besak, yang sudah dipenuhi banyak coretan aku membolak balik koran Sumatera Ekspress. Pada salah satu halamannya terbaca: “Seorang pengusaha papan atas, berminat membangun hotel dan mall di Benteng Kuto Besak”. Ah, mengapa banyak pula kepala yang berpikir bahwa mall adalah ruang publik yang paling dibutuhkan masyarakat?.

Kumandang azan dari Mesjid Agung yang tak jauh dari jembatan, membuyarkan lamunanku. Sejenak tadi, aku terkenang ketika menyusuri sungai Seine di Paris sana, yang dibiarkan indah ditengah modernitas sebuah negeri maju.

3 Comments:

At 12:28 AM, Blogger mpokb said...

memang. mal sudah terlalu banyak ya bang? pusing aye nemuin macetnya.. :(

 
At 5:07 PM, Blogger topan said...

penjajahan pada ekonomi rakyat skrg emang lagi marak, dg menjamurnya mini market di kampung2

 
At 9:55 PM, Anonymous Anonymous said...

liat di berita kota palembang sekarang banjir kalo hujan deres :( kok bisa gitu ya ??

 

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini