Aku Tuan Kau Hamba
L
eganya masuk ke ruangan itu. Terpaan hawa sejuk yang dipuntal kipas angin, mampu menghela panas akibat berjalan tadi. Aku menyodorkan KTP, lazimnya bila berinternet di kampus Psikologi UI. Penjaganya, seorang lelaki menghambat tanganku yang menyodor dengan sepatah kata: “tutup”. Hanya itu. Aku masih berusaha ramah.
“Biasanya akhir pekan buka sampai sore, Mas”
“Pelatihan”. Masih pendek dan ketus.
Kupaksakan senyum. “Sampai jam berapa, Mas”
“Sore”. Getas dan tanpa ekspresi.
Aku mematung di depan loket. Tak percaya ini terjadi di negeri bertajuk ramah tamah. Agaknya ia merasa aku tak mengerti. Lalu,....
“We close (tanpa are), Is it clear?”
Hening sejenak. Aku terbahak seperti bos mafia di film India. Sungguh diluar kesadaran dan kehendakku, tapi nada ketawaku sarkastik. Aku berharap ia mendongak sehingga kami bermuka-muka. Tapi ia menunduk, seraya aku melempar beberapa larik kalimat, yang pastilah dipenuhi nuansa satiris. Arghh...
Untung aku tidak bersengaja hanya mau main internet jauh-jauh jalan ke kampus. Urusan utamaku adalah ke ATM, sepelemparan batu dari warnet tadi. Sehingga kesalku tidak berkepanjangan. Pikiranku menerawang jauh, ke sebuah negeri yang tak menolak disebut beragama sepakbola, tapi perbincangannya dipenuhi tata krama. Kata “tolong”, “thanks”, dan “please” begitu banyak menghias bibir. Belum lagi “sweetheart” dan “darling” yang lebih mengesankan penghormatan ketimbang godaan.
Untuk membuang kesal, aku amini ajakan Ari belanja ke Carrefour di ITC Depok. Dasar mantan cleaner. Aku begitu iritating melihat tumpahan cairan di lantai. Mbak penjaja berkaus dengan tulisan “Kami Siap Membantu” tak melakukan apa-apa. Padahal pengunjung sangat ramai. Kemungkinan orang terpeleset sangat besar.
Aku melintas di depannya, sambil memberi tahu ada tumpahan. Diluar dugaan ia menjawab sebat: “Udah tauk, bentar lagi juga dibersihkan”. Terkesiap, aku introspeksi. Apakah nadaku memerintah? Memarahi? Menggurui? Atau ia merasa aku mencampuri profesionalitasnya? Argghhh....Dua kali dalam sehari ini aku harus mengucap kata bernada keluh itu.
Kudorong troli menjauh sambil tetap bertanya apa yang salah. Sewaktu aku menjadi cleaner dulu, aku akan sangat berterimakasih bila ada yang memberitahu ada bagian kotor di area kerjaku. Pertama karena itu menolongku dari cercaan menejer (yang juga takut dicerca supervisornya). Kedua, itu menyelamatkanku dari gugatan jika ada yang terpeleset akibat ada tumpahan di lantai yang menjadi tanggungjawabku. Rasa tanggungjawab inilah yang membuatku tidak merasa diperintah, digurui oleh orang yang memberitahu.
Sudahlah. Mungkin si Mas dan si Mbak tadi hanya menyontek kehidupan di sekelilingnya. Bahwa berkedudukan, atau berseragam adalah posisi di atas yang dibutuhkan. Bukankah kita terbiasa mengalami, mereka yang berkedudukan dan berseragam itu alfa telah dibayar untuk melayani, berubah menjadi orang yang harus dilayani.
Si Mas dan si Mbak itu, bisa jadi adalah pribadi yang lelah dijajah. Maka meski dalam ruang kecil mereka bermetamorfosa menjadi penguasa. Aku butuh layanan internet, ia penguasa yang berwenang memutus apakah aku layak memperoleh atau tidak. Aku butuh kenyamanan dalam berbelanja, si Mbak itu penguasa yang berhak memvonis apakah aku layak mendapatkan atau tidak. Sopir bis, yang notabene kelangsungan hidupnya tergantung kepada bayaran ongkos penumpang, masih saja berani menurunkan penumpang ditengah perjalanan. Omong kosong dengan pelayanan. Ini relasi siapa menguasai siapa. Siapa tuan siapa hamba.
Maka tak usah heran, semboyan “Kami Siap Melayani”, “Setia Melayani Anda”, tinggal jargon belaka. Karena siapa memberi dan siapa menerima, menentukan di starata mana anda berada. Sebagai tuan atau sebagai hamba.®
1 Comments:
Selamat mengalami gegar budaya... Indonesia tanah airku, tanah tumpah terapahku..... :p
Post a Comment
<< Home