Seragam Jelang Shiyam
Talu tambur semakin menjauh. Berganti dengan suara televisi. Biasanya Ari bangun lebih dulu menyiapkan penganan, baru aku menyusul. Ritual sahur pun berlangsung berteman acara televisi. Lihat stasiun anu, pencet lagi, stasiun berikutnya sukar untuk membedakan acaranya. Bertemu kisah serupa: lawakan.
Kalau tak salah, tema lawakan kala sahur ini dirintis Eko dan Ulfa 6 tahun silam. Mungkin karena rating, maka semua stasiun pun menggunakannya sebagai jualan. Maka bulan Ramadhan pun menjadi semarak lengkap dengan wajah jelita artis sebagai gincu pemanis. Artis yang mungkin sadar dipasang sebagai pemanis, seolah tak mau kalah berusaha tampak lucu juga. Tak jarang sukses, meski lebih sering terkesan menyalahi takdir.
Sungguh sayang, lawakan yang muncul tak berkembang. Trend yang banyak diusung Warkop, slapstick bin sarkastik tetap ramai. Pelecehan "wanita", eksploitasi kekurangan, kasar (memukul, menendang, menjorok). Heran, apa orang ini nggak dibekali philosophy of humor, tulisan kecil yang aku baca hari pertama bergabung dengan Loedroek ITB dulu.
Suatu kali, seorang pesohor bilang: "Eh ada babi ngepet". Seruan itu untuk menyambut kehadiran lawan mainnya. Lalu perbincangan pun bertema babi. Lupakah mereka, bagi sebagian orang, utamanya anak-anak, televisi adalah "guru". Maka kata babi yang melesat dari mulut pesohor itu, kelak akan diucapkan dengan mantap seolah itu adalah hal lucu.
Keseragaman lain adalah bagi-bagi rezeki lewat kuis. Pasword pun dibuat selucu mungkin. Aha, dengan pertanyaan yang sangat super sederhana, macam nama lapangan tempat berkumpul di akhirat kelak, dengan pilihan jawaban: Padang Panjang, Padang Mahsyar, dan Padang Sidempuan. Begitu mudah. Ironis, disaat jutaan orang berdesakan mendapat kompensasi BBM 100 ribu/bulan.
Memang ada stasiun yang tetap menampilkan unsur dakwah, meskipun dengan porsi sangat sedikit. Saat begini, Metro TV dengan Tafsir Al-Misbah nya, dan Lativi dengan Grebeg Sahur (mengunjungi keluarga miskin yang tak mau kalah dengan kemiskinannya, tetap menyekolahkan anak) menjadi alternatif.
Apapunlah, televisi yang berlomba menyajikan keramaian, cukup menolong dalam melawan kantuk. Apalagi bila membanding dengan setahun silam sahur di Norwich. Sahur dipelukan udara dingin, tanpa azan, tanpa acara TV, tanpa tetangga yang bangun di jam yang sama, sungguh kesepian yang mencekam.
2 Comments:
iyak.. acara2 itu buat nemenin melek aja.. (biar kata bete nontonnya :P)
Hi hi hi mungkin mereka pikir lebih baik maen kasar ato apalah abis2an daripada rating turun....tapi lebih kacian lagi puasa di negeri orang gak ada yang bangunin gak ada yang berusaha ngibur...meski gak lucu sekalipun!
Post a Comment
<< Home