Meretas Faqir Lewat Karitas
Bau kamper menyergap, segera setelah pintu lemari terkuak. Sebelum meninggalkannya setahun lalu, kami memang sengaja menebar kapur barus beraroma wangi sengak itu. Tak cuma bau kamper, uap debu pun menyebar begitu pakaian ditebah. Pembersihan dilakukan, demi menyambut barang-barang yang dikirim lewat kapal laut tiba. Memang, buku dan sejumlah pakaian kami shipping, untuk menyiasati harga jika dibawa lewat pesawat.
Karena kapasitas lemari tak bertambah, tak ayal penyortiran pun dilakukan. Ada yang bermigrasi ke tukang loak. Ada yang turun pangkat dari layak pakai karena masih bisa ditambal, menjadi gombal. Ada pula yang di grey area, masih layak pakai, tapi mau disimpan dimana. Ia tergerus oleh hukum first in first out.
Ketika mau memilah mana yang dibawa pulang mana yang tinggal, kami tak sebingung ini. Sejumlah toko charity bertebaran di seluruh Norwich. Bisa dengan mengantar ke pintu toko, atau meninggalkannya di pagar rumah dan menelpon lembaga yang dimau. Beres.
Lha disini. Padahal dibanding Inggris, aku yakin lebih banyak kaum dhuafa disini. Terpikir untuk memberi tetangga, yang secara kasat mata hidupnya dibawah kami. Kok ya nggak enak. Sungkan. Alternatif lain, meletakkannya dipagar dan menempeli tulisan: “Silakan ambil”, juga tak enak sama tetangga yang kesannya membagi barang buangan.
Beruntung ada kegiatan macam aksi di Rumah Cahaya. Terlintas pikiran, kenapa sistem toko derma (charity shop) itu tidak dilembagakan saja. Ada banyak lembaga yang bisa mengambil peranan disini. Dompet dhuafa, dan Badan Amil Zakat misalnya. Jangan-jangan banyak orang yang ingin berbagi tapi tak tau jalannya.
Seorang teman berkisah, ketika tsunami terjadi dulu ia tiba-tiba melihat rasa kebersamaan dan rasa berbagi yang begitu meraksasa. Metro TV misalnya, sampai harus mengumumkan telah menutup dompet peduli, karena sudah kebingungan menempatkan sumbangan yang terus mengalir. Jalanan menuju Kedoya, tempat televisi itu bermarkas setiap hari macet total karena banyaknya orang datang menghantar sumbangan.
Tanpa disadari, setiap orang dari kita juga menjadi penderma di jalan raya. Sumbangan untuk Pak Ogah, pengamen, atau kotak amal, meski ada unsur “takut” tetaplah harus dilihat sebagai derma.
Acara-acara reality show di televisi, menunjukkan bahwa rasa iba dan emosi setia kawan itu masih tebal. Meski terdetak juga nun di lubuk hati ini mengekploitasi kemiskinan demi rating dan iklan. Lupakan perasaan samping itu. Yang jelas acara itu menggugah dan menggerakkan. Kecuali haru dan empati, niscayalah ini membangkitkan wacana bagaimana mempraktekkan agar nyata dan berkesinambungan.
Di Inggris toko karitas ini menjual berbagai macam. Mulai dari pakaian, buku, kaset, furnitur, hingga alat elektronik. Mereka bisa beruntung besar, meski menjual dengan harga murah, karena barang datang secara gratis. Sebagian penjaganya juga gratis, karena mereka relawan. Yakni kakek nenek yang mengisi waktu senja. Semua bisa menyumbang macam-macam. Mumpung dalam semangat Ramadhan, mari bersama kita derma!
2 Comments:
Setuju,disini belon ada loh.
Eyang, dideket tempat tinggal saya ada jalan yang banyak menjual baju-baju bekas impor, denger2 sih baju2 itu sebenarnya adalah bantuan luar negeri, kira2 barang yang dikumpulin di charity shop sana tuh memang di kirim ke luar negeri (spt Indonesia) ya?
Post a Comment
<< Home