<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Wednesday, December 07, 2005

Malam di Kamar 507

Foto taken by Chika HakimKupandangi cairan infus yang menitik perlahan. Disana ada aura kehidupan. Lalu berpaling ke langit-langit yang memutih. Disana ada aura kebosanan. Beruntung aku kebagian di sebelah luar dari kamar berkatil tiga ini, ada bagian pemandangan alam, sehingga aku tak terkungkung hanya berteman botol infus, langit-langit, dan gordin.

Dalam dua pekan terakhir, aku tinggal di kamar ber-view luas. Mulai dari kamar 605 di Rayong Beach Resort, 500 kilometer di luar kota Bangkok. Lalu kamar 913, Royal River Hotel di tubir sungai Chao Phya, yang membelah kota Bangkok. Sayang, yang terakhir adalah kamar 507, adanya di RS Mitra Internasional, Jatinegara. Begitu tiba di Jakarta, oleh-oleh panas dan pening yang kubawa dari Bangkok, membawaku ke kamar 507 ini. Positif demam berdarah(DBD). Gusti Allah Sang Maha Penulis skenario yang Agung, membuat suka dan duka dalam scene hidupku, begitu cepat bersilih.

Nyamuk aedes aegepty telah menggerogoti trombositku hingga titik rawan 14.000 (dari jumlah minimal normal 150.000). Meski sempat mimisan dan pendarahan gusi, sejatinya aku merasa semuanya berjalan oke. Di malam pertama, Ari malah aku larang ikut “melantai” di rumah sakit. Aku masih bisa berdikari. Ke kamar mandi sendiri, makan sendiri. Apalagi petuah dokter, selama tujuh hari sejak panas bermula, trombosit akan turun terus tanpa bisa dihambat. Infus, banyak minum bukan menaikkan, hanya membantu menurunkan panas, agar infeksi tidak berlebihan, dan mengeliminir pusing, demam, mual, dan pendarahan.

Image hosted by Photobucket.comTapi rupanya tidak demikian bagi yang melihat dan hanya mendengar. “Babe sehat dong, babe gak pantas sakit”, begitu sms yang melayang jauh dari keluargaku di Norwich sana. Keluarga di kampung, belajar dari pengalaman empirik kegagalan penanganan DBD, karena sepekan sebelum lebaran keponakanku berpulang karena penyakit ini. Bisa juga karena kulakan berita di TV, tentang akhir tragis penyakit ini (padahal wajar tokh, TV emang senangnya menampilkan gambar dramatis keluarga korban yang menangis tersedan, ketimbang keluarga yang pulang karena sehat).

Itu semua menjadi cermin yang membuat sanak saudara handai taulan khawatir berganda. Apalagi ini adalah pengalaman pertamaku kena jarum infus dan ngendon di rumah sakit. Mungkin karena kesulitan memilih kata yang make sense tentang arti penurunan trombosit, abangku di kampung menjelaskan dengan bahasa sederhana, “ darahnya tinggal sedikit”. Maka mereka pun segera menggelar Yasin-an, yang pastilah sambil mendaras doa-doa dibawah untaian air mata. Mamak dan Abang yang sedang dalam persiapan keberangkatan haji di Palembang, segera terbang. Adik dan keponakan yang bersekolah di Bandung dan Yogya, muncul. Pun saudara dan teman2 yang ada di Jakarta, ngeluruk ke rumah sakit. Ada yang membawa doa dan semangat, ada yang membawa jus jambu yang melihat merahnya saja sudah membuat aku mual saking overload. Ada pula yang membawa angkak, obat tradisional Tiongkok kuno, yang rasanya pahit dan baunya sangit, tapi dipercaya menggenjot jumlah trombosit. Tak terhitung pula sms, hingga nun jauh dari Perancis sana. Kamar 507 pun hiruk pikuk sepanjang hari, selama 6 hari.

Begitulah, setelah larut malam, aku kembali ke kesendirian. Berteman langit-langit, kerlip lampu di kejauhan , dan jarum infus. Jarum yang membawaku kepada kesadaran, bahwa tiada yang lebih nikmat daripada sehat. Jarum yang membuatku setengah tak berdaya, menghambat kegiatan menulis (sehingga tulisan ini pun harus dibuat beberapa hari setelah kembali ke rumah), membaca, tidur tengkurap, dan (maaf!) buang air besar. Waktu luang itu pula yang membawaku merenung, apa yang telah kuperbuat di usia menuju laruik sanjo ini. Memahami betapa banyak sayang yang terlimpah daridunsanak, handai taulan, dan rekan sekalian. Sadar bahwa bagi para tetua, anaknya ini tak pernah sungguh besar dan mampu berdiri sendiri. Anaknya ini boleh terbang jauh kemana-mana, tapi tetaplah anak yang merindukan belaian dan suapan kasih sang induk. Ah, sebuah bentangan jejaring sosial yang sukar aku telaah. Betapa beruntungnya aku berada dalam jejaring kekerebatan yang mencipta rasa aman.

Malam semakin menyayukan mata. Sebelum benar-benar terlelap, aku kembali memujakan syukur, meski ini hanya kamar kelas III, tapi cukup apik dan resik untuk beristirahat. Tak terbayang bagaimana pedihnya, ditengah pusing, demam, dan mual yang membutuhkan kelezatan tempat berihat itu, harus terbaring di velbed lorong rumah sakit yang berangin dan berisik, seperti yang dialami banyak saudara kita yang lain demi harga yang ringan. Ya Allah, sesungguhnya sehatku, sakitku, hidupku, dan matiku, adalah Karunia-MU.

1 Comments:

At 5:04 PM, Anonymous Anonymous said...

Kata orang sakit adalah "cara" Allah mengurangi dosa kita ...
Cepat sembuh! :)

 

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini