Habis Amarah Terbitlah Hikmah
Ia berdiri mematung sunyi. Menatap kosong ke jalan raya yang ramai merimba. Aku berdiri tak jauh darinya. Bersiap menyeberang jalan. Oho.., lelaki berkaca mata hitam itu ternyata tunanetra. My God, bagaimana dia bisa menyeberang ditengah belantara ini. Kugamit tangannya, dan kami bergandengan mengadu peruntungan, berharap belas kasihan pengendara untuk melambat sesaat. Selamat, kami berhasil. Tapi ia belum usai. Ia masih harus ke stasiun UI. Naik kereta api yang padat di pagihari.Pagi-pagi aku sudah melihat secuil potret karikaturis sebuah bangsa. Mungkin saja karena kita menemui kondisi ini setiap hari, kita tak lagi menganggapnya sebuah keanehan. Beda jika dilihat orang lain, terlebih ia seorang karikaturis, maka ia akan menggambarnya dengan satir. Namanya karikatur (dari kata caricare, bahasa Italia) tentu mencemooh dengan ”melebih-lebihkan” satu atau beberapa ciri khas.
Inilah yang terjadi belakangan ini. Kartun2 itu menyentak, menggelorakan amarah, nafsuin, bikin bete, dll-etc. Orang-orang dungu itu, menggambarkan junjungan kita Nabi Muhammad dan agama Islam, hanya dari pengetahuannya yang sempit. Bak orang buta menaksir bentuk gajah. Kepegang kuping, bilang gajah lebar, kesentuh gading, sebut gajah runcing laksana tombak.
Tapi 12 kartun itu, adalah hasil lomba yang diikuti banyak orang, untuk ilustrasi buku anak-anak tentang pemahaman Islam. Meski hasilnya, sebuah ketidakpahaman yang picik mengundang api amarah, namun (bagiku, paling tidak) ada hikmah besar: Mengapa mereka memandang sekeliru itu? Berapa banyak orang yang berpandangan dungu seperti ini? Bahwa Islam adalah kumpulan orang pengobar kekerasan, Muslim adalah merendahkan perempuan, anti perbedaan pendapat, dan pemburu sorga dengan bunuh diri. Sesuatu yang dibungkus oleh syakwasangka belaka.
Dan ini seolah menjadi identifikasi Islam yang mengendap di kepala mereka. Menarik membaca editorial koran Jordan Times (31/1/2006), yang menulis koran Denmark itu melanggar dalil utama masyarakat beradab dan demokratis: bahwasanya kemerdekaan seseorang menjadi berakhir manakala ia melanggar martabat dan kemerdekaan orang lain. Nah, kita memprotes pelanggaran ini. Namun , apa yang kita lihat sehari-hari, pelanggaran kebebasan orang lain itu begitu mudah ditemui. Merokok sembarangan, kenderaan yang saling serobot, orang yang sulit untuk beringsut memberi tempat pada orang lain di angkutan umum, dan banyak lagi.
Keadaan ini, termasuk pengalaman lelaki tunanetra tadi, menujumkan seolah kita –negara berpenduduk Islam terbesar di dunia ini--, tak peduli kemaslahatan publik. Padahal, Khalifah Umar ibnu Khottob semasa memimpin, “tak pernah nyenyak karena takut ada hewan piaraan warga terperosok di jalan tak rata”. Namun kini, dimana kita bisa berjalan tanpa ketakutan terperosok. Dimana para manula bisa jalan-jalan tanpa takut terantuk karena matanya yang tak awas. Dimana pula kita bisa melihat pengguna jalan patuh kepada lampu, rambu, hingga garis pembatas, meski tak ada polisi. Seolah mereka mendapat ajaran, “Takutlah kepada Tuhanmu, karena Tuhanmu dekat melebihi dekatnya urat lehermu”. Islam mengajarkan, “Hormatilah ibumu, ibumu, ibumu, lalu bapakmu”, dan “lindungilah kaum lemah”, tapi dimana kita bisa melihat ibu-ibu dan perempuan naik angkutan publik sesuai marwahnya, tanpa khawatir diempet-empet, dan terkantuk2 sambil berdiri. Islam punya aturan muamalat bahwa “syarat sahnya jual beli adalah akad dan persetujuan kedua belah pihak”, tapi dimana kita bisa melihat penjual dan pembeli saling berucap terima kasih tanda kepuasan atas transaksi itu. Dimana kita bisa melihat tak ada sampah terbuang sembarangan, tidak meludah sembarangan, tidak kencing sembarangan, seolah mereka bersemboyan “Annadzofatu minal Iman”.
Masih banyak deretan tindakan tak mencerminkan kehidupan Islami, yang bisa kita kulak sehari-hari. Padahal sang junjungan mengajarkan, Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam adalah, ketika orang tak cemas oleh kehadiranmu, tak terancam oleh tanganmu, tak terlukai oleh lisanmu. Sampai disini, kasus kartun itu tidak sekedar penghinaan nista yang memuakkan, melainkan diambil hikmahnya sebagai sebuah kritik.
Tentu saja ini hanya sebuah refleksi personal yang naif dari seorang hamba yang dhaif. Bukan pula cerminan kualitas keimanan penulisnya. Kepada Allah pemilik segala kebenaranlah, aku memohon ampun.
4 Comments:
Eyang....tulisannya bagus banget! setuju banget dah!
seperti biasa 'petuah' eyang tjendana... halus namun tajam menohek. semoga kita makin sadar pada kedhaifan sendiri. begitu kan yang?... :D
sama dengan pepatah "gajah di pelupuk mata tak tampak, dst." gitu kali yak.. makasih sudah diingatkan mbah..
pesan klasik "semua ada hikmahnya" memang paten dan tak terbantahkan
Post a Comment
<< Home