Jauh di Mata Dekat di Kaki
Gerimis belum sempurna menyudahi diri. Perempuan itu berlari menebas rintik, memburu angkot yang tak utuh berhenti. Pantatnya yang big size belum terjejak, angkot sudah kembali memburu. Ada ruang kosong di bagian dalam, tapi ia menginginkan di ujung dekat pintu. “Dekat”, katanya. Tapi ditempat itu sudah bercokol seorang ibu paruh baya berukuran sejenis, yang juga ngotot dengan kata “dekat”. Setelah berbilang menit, dapur itu bergoyang bak goyang gergajinya Dewi Persik, dengan bersungut mau juga si ibu paruh baya bergeser. Cuma sejengkal, dan selesailan persoalan. Kelak aku tau, ibu paruh baya yang naik di Lenteng Agung, dan ibu kedua yang naik sebelum stasiun Tanjungbarat, sama-sama turun di Rumah Sakit Pasar Rebo. Jarak yang sungguh tak dekat.
Dekat, menjadi kata sakti penumpang yang malas beringsut. Suatu kali, sopir yang sudah mahfum dengan kilah ini, dengan kesal bilang: “Kalo dekat jalan aja bu, sayang duitnya. Ini kan jaman susah, harus menghemat. Lagian biar sehat”. Pernyataan yang tidak sepenuhnya tepat. Sebab ongkos angkot begitu murahnya, seceng bisa untuk jarak 2 kilometer.
Namun bukan soal sehat dan hemat saja, yang bisa dipetik dari kemauan berjalan ini. Yang terpenting lagi, adalah mengurangi kemacetan. Bagi yang akrab dengan angkutan umum tau belaka, angkot dan bus seenaknya bisa dihentikan dimanapun untuk naik dan turun. Tak jarang, bus yang sedang di kanan sekalipun mendadak bisa pindah ke kiri. Atau malahan berhenti di tengah jalan sekalipun. Untuk alasan meladeni pasar pula, angkot, bus, ojek, juga bajaj ngetem berlama-lama di mulut gang, di pertigaan, dan di prapatan. Dibawah rambu larangan berhenti. Jelas ini sumber kemacetan.
Tapi apa mau dikata. “Kalo tak ngetem disitu, mana dapat sewa kita, Bang”, jawab seorang sopir. Saking malasnya jalan, banyak penumpang yang marah-marah menggedor langit-langit atau kaca, jika bus tak langsung berhenti begitu dia teriak “kiri!”. Ironisnya, kemalasan berjalan ini tak cuma dimanfaatkan sopir angkutan umum. Juga pebisnis. Maka banyak mal dibangun di hook, ada jasa valet parking, car call, dan layanan atm dan resto cepat saji tanpa turun dari kenderaan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan banyak alasan. Haltenya mana? Trotoarnya diambil pedagang tuh. Nyebrangnya repot. Kadang melihat ini semua, aku ngunandika, gimana korupsi mau diberantas jika untuk berjalan dan mematuhi aturan saja malas. Bukankah bibit utama korupsi itu malas dan gemar mencari jalan pintas.
Capek mikirin korupsi ah, mending berdendang: langkahkan kakimu ke kiri ke kanan ikuti irama dan bentuklah putaran sepanjang hari..jalan..!!
1 Comments:
jalan kaki kalau pas hawa masih segar enak juga.. tapi begitu matahari jakarta meninggi.. weleh.. pake payung :P
Post a Comment
<< Home