Bertunang Kunang-kunang
A Postcard from Pasarrebo IIIMalam turun sempurna menyudahi senja. Tapi Pasarrebo tetap saja riuh. Aku memasuki prapatan “legendaris” ini, dari sudut yang lain. Terkadang begitu. Terutama malam Rabu dan malam Sabtu. Bukan soal kekeramatan malam, tapi karena malam itu aku main bulutangkis, di kawasan yang angkotnya melewati Kampung Rambutan.
Aku pun terjerembab di tengah kemacetan. Untung duduk di depan, hingga serasa disetiri sopir pribadi. Nikmat betul, tak harus berkonstrasi menekan pedal gas dan kopling, dan mengawasi kenderaan kiri-kanan-muka-belakang yang siap menyodok dan tersodok.
Mataku berhenti di atas jembatan layang yang melintang gagah. Di atas sana, ada deretan motor terparkir. Mungkin ada 30-an. Sopir yang menangkap keherananku menukas, “Biasa bang, rekreasi murah”. Nun di atas, di sadel motor mereka sedang menikmati malam. Ada yang berduaan, pacaran. Berpelukan erat seolah pemilik dunia. Ada juga yang datang sak brayat, sekeluarga. Bersama memandangi lampu-lampu di kejauhan. Membayangkan berada di Hotaru na Sato (ya, Titin san). Mungkin mengubur kerinduan masa kecil di desa, menatap kerlip kunang-kunang. Libur kecil kaum kusam, kata Iwan Fals.
Beberapa waktu lalu, di dekat rumah kami di gang Kober, perhelatan sepak bola remaja, setiap petang dihadiri ratusan orang. Padahal lapangannya hanya beberapa meter, adanya di cerukan pembuangan sampah pula. Warga ramai-ramai menguruknya, meretakan, memasangi gawang, dan terciptalah futsal ala kampung. Kalau paginya hujan, alamat pertandingan petang juga ditiadakan. Karena lapangannya belok, becek. Sewaktu Billy, anaknya engkong haji yang jadi panitia mengajukan “proposal”, aku bertanya, apakah bakal ada peserta. Ternyata ada 14 tim, rela membayar uang pendaftaran 100 ribu, untuk hadiah yang hanya 500 ribu juara pertama. Tak heran, UI di hari minggu, bak pasar dipenuhi orang bermain.
Kaya papa emang butuh liburan. Bedanya ada yang ke kebun engkong, ada yang ke Hong Kong, ada yang ke (plaza) Senayan, ada pula yang ke Ragunan. Lalu dari mana para binatang ekonomi itu tau, semua warga butuh mall, sehingga mereka tega menjadikan semua tanah menjadi mall. Seolah mall bisa menyediakan segala, mulai makanan, pakaian, hingga kesenangan. Lihatlah Detos (Depok Town Square), meski menyandang nama gagah, tak lebih hanya metamorfosa Depok Mal yang sudah ada lebih dulu. Hanya ada super market “hypermart”, yang tak lain milik “Matahari” yang ada di Depok Mall. Selebihnya pedagang kaki lima yang diusung masuk ruang ber-AC. Pun ITC Depok. Jualannya cuma Carrefour. Kalau cuma super market, kenapa bukan pasar Depok Lama saja yang dibenahi.
Tapi itung2an warga jelata macam saya, tentu berbeda dengan pemodal itu. Mereka pintar mencipta citra. Membuat orang merasa berbeda jika ngupi di Starbuck. Membuat orang merasa lebih cantik kalau nyalon di Tony and Guy. Tak peduli, salon itu hanya terjepit di deretan toko berjalan sempit di Norwich sana, bersisian dengan salon tanpa merk yang memberi harga diskon buat mahasiswa. Membuat orang merasa jadi bangsawan Inggris, jika cami’annya biskuit bermerk Mark and Spencer. Padahal disana, penganan ini hanya sekelas kue mari Roma disini.
Siapa peduli itu semua. Tak hirau, gara-gara mal dan godaan di dalamnya, tengah bulan mata sudah kunang-kunang pusing membagi uang belanja. Ah, tentu saja kunang-kunang ya ini, bukan kembang malam pengelana gulita, yang merindu kasih menanti jawab itu. Merindu tanah leluhur yang damai.
Kunang-kunang
Kelana di rimba malam...
(by: Ismail Marzuki)
2 Comments:
masalahnya, yg dijual bukan sekadar biskuit atau kupi bang, tapi trend dan gaya hidup. bentuk lain "urban legend"..? weleh..
halo kang latief, saya temen anda bersama hilda dan ade firman di Metro Siang dulu. Apa kabar
machsus
Post a Comment
<< Home