<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sunday, March 05, 2006

Pilkada, eh Pil KB

A Postcard from Pasarrebo II

Malam menjelang, pengingat pulang. Aku bergegas menyetop angkot, yang melaju sebat mengejar asa. Sejauh mata memandang, deretan mobil warna merah mengisi jalanan di depan asrama haji. Terbersit pikir, wajar mereka menyetir kesetanan, kalo gak bagaimana dia dapat uang ditengah belantara ketakteraturan ini.

Perlahan tapi pasti, angkot akhirnya memasuki kawasan Pasarrebo. Dari kejauhan, jembatan layan yang kosong sudah tampak. Tapi aku naik angkot, dan harus berbelok ke kanan, arah Tanjungbarat. Angkot mulai tertahan, bersamaan dengan terlihatnya kerlip lampu pengatur di prapatan Pasarrebo. Gara-gara jalan layang, jalur di bawah tinggal 3 jalur. Masing-masing untuk berbelok ke Rambutan, lurus ke Cijantung, dan belok kanan ke Tanjungbarat. Ini menunjukkan pembangunan tak pernah berpihak pada wong cilik pengguna angkutan umum. Gimana mau koar-koar mengurangi penggunaan mobil pribadi, kalau jelas-jelas naik mobil itu lebih nikmat.

Tapi sesuai namanya, Pasar Rebo, tentu tak lengkap jika tak ada perniagaan. Maka trotoar pun diokupasi pedagang buah. Belakangan diramaikan PKL lain. Tak ayal, pejalan kaki harus turun ke jalan yang semestinya buat kendaraan. Ini belum seberapa. Yang bikin parah, satu jalur dipakai buat ngetem. Terjadilah bottleneck, ketakseimbangan kapasitas masuk dan kapasitas keluar. Maka untuk melampaui 100-an meter prapatan ini, dibutuhkan waktu 20 menit. Bukan cuma waktu, jalur ini membutuhkan ketabahan dan kesabaran. Silap-silap moncong angkot bersirobok, karena semua memburu celah kosong sekecil apapun.

Wuih.., akhirnya tiba di deretan terdepan. Lampu masih merah. Lho, ada pos polisi tho disini. Lantas kemana polisinya ditengah suara klakson bertalu ini. Aku melongok dari kejauhan. Didalam ada polisi sedang memandang sesuatu dengan tersenyum. Ah, pastilah ia sedang menonton TV. Mungkin Bajaj Bajuri, sinetron kesukaan yang tak prnah lagi kutonton gara-gara kemacetan durjana ini. (Tak mungkin ia tertawa menonton berita, sebab isi berita semuanya memilukan khan).

Begitu lampu hijau, jangan berkhayal perjalanan sudah mulus. Ada puluhan penyeberang yang tak hirau dengan keselamatan, eh lampu pengatur. Sungguh ketidak-teraturan yang sempurna. Mestinya jarak TMII-Margonda, kurang lebih 20 kilometer, bila dipacu dengan kecepatan sedang 60 km/jam bisa ditempuh 20 menit. Tapi ini, butuh 1 jam, gara-gara.... (banyaklah!). Seorang teman pernah bilang, jika keberhasilan 100 hari walikota Jakarta Timur dilihat dari Pasarrebo, keberhasilan walikota Jakarta Selatan dilihat dari penataan Pasarminggu, alamat kita bakal ngadain Pilkada tiap 3 bulan. Sungguh biaya yang tidak kecil. Sehingga harus dihindari, sebab daripada mendanai Pilkada mending duitnya beli pil KB. Atau bikin acara semacam Pildacil, agar semakin banyak orang yang mengajak menjauhi pil koplo. Tiiinnn...tin....tin....

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini