<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Friday, January 28, 2005

Mayasari tiada Bhakti

Pagi itu Supini gembira. Bersama suaminya, Yuswanto, dan keponakannya, mereka meninggalkan gubuk di Penjaringan, Jakarta Utara, menuju sebuah rumah mewah di Senen, Jakarta Pusat. Bukan rumah Yuswanto tentu saja. Tapi milik majikan Supini. Dari Kota, mereka naik bus Mayasari Bhakti, jurusan Pulogadung. Di Senen, sopir dan kernet bus yang melihat tumpukan penumpang, "mengusir" penumpang yang sudah sampai tujuan. "Ayo cepat, yang Senen, Senen, habiiiisss...".

Supini pun turun, dengan bus tetap berjalan meski perlahan. Malang tak dapat ditolak. Teriakan awak bus yang meminta mereka bergegas turun itu membuat Supini tergesa-gesa. Kakinya tersenggol ban depan bus yang terus berjalan pelan-pelan sehingga tubuhnya terbanting ke jalan dan kepalanya membentur aspal. Melihat Supini celaka, Yuswanto berusaha menolong, tetapi ia ikut terlindas ban belakang bus. Keduanya pun tewas di tempat.

Kasihan Supini dan Yuswanto. Mungkin itulah yang bisa kita sampaikan, ditengah kepasrahan kita melihat bobroknya sistem angkutan di Jakarta, kota dengan semboyan Bersih, Manusiawi dan Berwibawa itu. Ya, pasrah. Sebab bus telat, lelet, ugal-ugalan, dan segala tingkah tidak manusiawi adalah pemandangan sehari-hari.

Aku pun akan berpikiran serupa, kalau saja saat ini tidak sedang berada di Barat. Disini, Norwich, dan beberapa kota lain di Inggris yang sudah aku datangi, pelayanan bus merupakan penampakan sederhana dan mencolok, yang menunjukkan pelayanan publik berkelas tinggi. Tujuan pokoknya hanya satu: memuliakan manusia.

Bus di-set sedemikian rupa, sehingga tak merepotkan orang tua, orang cacat, dan ibu-ibu yang membawa bayi dalam kereta dorong. Tak ada yang namanya kebut-kebutan, karena sopir digaji per bulan. Tak ada cerita penumpang diturunkan di jalan, dijejalin seperti sarden, atau "diusir" kayak almarhum Supini dan Yuswanto. Bus juga tidak akan telat atau ngetem lama. Sebab sopir bus setia pada janji, yakni waktu (jam dan menit) melintas di halte tertentu, yang dibuat berdasarkan survey panjang dan gradual.
Dan, pemulian martabat manusia lewat pelayanan bus ini terjadi di negara yang oleh sebagian kita dicap negara kafir, karena melegalkan seks "bebas" dan pikiran "liberal", serta abai pada Tuhan.

Sementara, sopir bus Mayasari Bhakti di negeri bersendikan Pancasila itu, dibebani setoran ratusan ribu sehari, yang mendorongnya ngebut secara "bebas" dan "liberal".

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini