<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Thursday, August 04, 2005

Melancong ke Tombeau de Napoleon

Le Samedi, penghujung Juilette 2005. Angin berhembus menghempas dingin pagi di Gallieni Station, Paris. Plang, pengumuman, semua berbahasa Perancis. Inilah wujud kepongahan anak cucu Napoleon, yang tak mau mengakui kelebihan anak cucu Lord Nelson. Beruntung kami dijemput teman, dosen Paramadina yang sekolah Geopolitique di "Unpad" (l'Universite Paris Delapan (8) d/h Universitas Sorbonne). Untuk menyesuaikan lidah, pagi ini kami menyantap croissant. Bienvenue en France.

Karena cuma berencana dua hari, maka Suryo, sang guide meminta kami bergerak cepat. Terlalu banyak yang harus dilihat di Paris. Mulai dari yang chic hingga mythique, yang artiste sampai populaire. Namun gaya boleh Paris, tapi perut tetap Indonesia. Di atas Metro, kereta bawah tanah perut mulai berdendang. Tujuan pun berubah: Place d'Italie. Disini ada kedai mie Vietnam, menjual mie yamin mirip rasa Indonesia. Sejenak ke Saint Michel, tempat rendez-vous ternama di kota Paris, menikmati "ngafe" di negeri moyangnya cafe.

Paris terlalu indah untuk dibiarkan berlalu. Tak sempat duduk lama, kami terus mengembara. Merenung sebentar di Pantheon, bangunan dengan facade model Roma, tempat kuburan para "syuhada" pemikir Perancis macam Voltaire, Rousseau, dan Marie Curie. Lalu melanglang ke taman Luxemburg yang bersisian dengan gedung Senat. Lanjut ke Notre Damme, make a wish di point de zero, dan menyesap creme glacee di atas jembatan yang mengangkangi sungai Seine.

Nun dibawah sana, pinggiran sungai disulap menjadi pantai. Pasir ditebarkan dimana, ditambahi dengan tumbuhan tropis, menandai pesta Paris Plage. Malam menjelang, kami beranjak ke Montmartre, daerah ketinggian tempat menatap kota Paris. Terlalu naif sebenarnya untuk membandingkannya dengan Dago Tea House di Bandung sana. Tapi tak apa. Setelah menyantap crepe, kami turun bersama dingin yang mulai menusuk. Menuju stasiun kereta, kami melintasi "kawasan malam" Moulin Rouge. Konon, ini menjadi tujuan wisata pembesar Jakarta yang bepergian tanpa istri. Masih banyak sudut yang harus dijejak besok. Saatnya berihat. A bientot.

3 Comments:

At 6:26 PM, Blogger loper said...

Moulin Rouge : boleh juga tuch .. :P

 
At 8:59 PM, Blogger abhirhay said...

konon juga kalau di sini daerah lampu merah biasanya ditrabas saja. kalo di sana berhenti dulu ya hehehe...

 
At 3:55 PM, Anonymous Anonymous said...

Nice story..kapan yah bisa ke paris
Rasyidi

 

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini