<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Tuesday, March 14, 2006

Republik (kereta api) Indonesia



Sia-sia aku bergegas memburu kereta. Kereta sudah di peron saat aku tiba di depan loket stasiun UI. Ada beberapa orang yang sedang antri. Tergoda untuk berbuat “curang”, dengan membayar di atas. Tapi akhirnya aku putuskan membeli tiket, meski harus telat. Penjaga loket menukas yakin: “15 menit lagi”, ketika kutanya jadwal berikutnya.

Aku lalu larut dalam kepikukan stasiun, yang tak beda dengan pasar. Ada wartel, rental komputer, game stasion, hingga warung seafood. Dulu, 9 tahun lalu saat aku berkantor di Wisma Kosgoro, dan pemegang tiket bulanan, suasana stasiun masih resik. Sejauh mata memandang, hijau, “hijau”, dan rindang. Pertumbuhan ekonomi begitu pesat rupanya, sehingga setiap jengkal tanah harus bertunas uang.

15 menit janji berlalu, kereta tak juga nongol. Setengah jam. Lalu, menit ke 40 kereta pun datang. Penjaga mengumumkan, kereta ini penuh, tidak usah memaksakan naik. Kereta berikutnya akan datang 10 menit. Kereta memang sudah bak bersayap, saking banyaknya yang bergelantung. Janji 10 menit lagi, tapi tidak, aku tak mau tertipu. Tadi katanya 15 menit, nyatanya 40 menit. ...bergelantungan....

4 Comments:

At 3:05 AM, Blogger mpokb said...

wah, jaman kuliah dulu udah kenyang aye, bang.. dulu pan aye kos2an di jalan pepaya. warung sotonya masing ada gak yak? :D

 
At 4:53 AM, Anonymous Anonymous said...

Wah Bang Latief, bagus benar tulisan ente... sebuah realitas yang tersamar dan terjadi di mana-mana... juga di Solo yang konon adalah wilayah peradaban yang adilihung... ning hyo prexxx...

 
At 12:26 AM, Blogger Ahmad Husein said...

Tak, jadi ingat topik blog-ku setahun lalu, tepatnya bulan Maret juga. Coba maen lagi ke sini yah: http://duamata.blogspot.com/2005_03_01_duamata_archive.html

 
At 8:41 PM, Blogger Dini said...

hehe... jadi inget masa "muda", walopun hanya 2 tahun mengecap perjalanan KRL rute gondangdia depok, tapi bener2 berkesan dan meninggalkan segudang pengalaman yang tak terlupa... sementara di sini, commuters ngomel ga keruan cuma gara2 anak muda berisik, bergerombol dan suka taro tas sembarangan... dan saya hanya bisa bersyukur telah diberikan pengalaman yang demikian kontras :)

seru tulisannya bang, boleh saya link ya...

 

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini