<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sunday, September 03, 2006

Berakit ke Tepian

”Jembatan bang”, teriak penumpang kepada sopir. Ini udah berulang kali terjadi, setiap melintasi jalan Raya Bogor. Pagi ini akhirnya, aku cari, apa gerangan yang menbuat tempat turun ini bernama “jembatan”. Biasa, bangsa ini sangat kreatif menciptakan nama berdasarkan kondisi, situasi. Sebutlah, Pasar Jumat, Pasar Senen, atau Jembatan Lima.

Kreativitas yang pantas diacungi jempol. Kreativitas yang didorong ketiadaan aturan. Dimana halte hanya pajangan, dan penyebarangan masih jauh dalam harapan. Padahal, halte dan penyeberangan, adalah bukti kecil ketaatan kepada hukum, dan penanda sebuah peradaban kota.

Kembali ke jembatan. Benar, tepat di seberang RS Tugu Ibu, ada jembatan kecil. Hanya terlihat dari balik deretan kios. Jembatan memang banyak disini, karena ada sungai persis di sisi jalan. Di beberapa bagian, terutama kawasan pabrik, seperti YKK, Bayer jembatan itu jelas, karena tidak ada bangunan penghalang.

Memang, nyaris sepanjang jalan dihiasi bangunan. Umumnya semi permanen. Aku berani bertaruh, banyak bangunan yang berdiri bukan di atas tanah pemilik sah. Bayangkan, jarak antara jalan raya dengan tubir sungai hanya sekitar 3 meter. Bagaimana mungkin, tanah itu ada pemiliknya.



Foto di Ely, Norfolk, UK
Sungai Ely di UK
Nah diatas bangunan "liar" itulah berbagai aktivitas berlangsung. Mulai dari jual tiket, warteg, hingga pencucian mobil. Sungguh berbahaya. Aktivitas terus menerus dalam jangka panjang, akan mengurangi kekuatan struktur tanah. Pelan2 akan tergerus, dan suatu masa, akan longsor. Nauzu billahi min zalik.

Ketika masa itu tiba, barulah kita tersedar, betapa sungai itu nikmat Allah yang berbahaya, jika tidak dikelola. Sebaliknya, amat indah, jika dikelola. (Aku pernah lihat iklan, ada buku "power of water"). Nyaris semua kota2 di Eropa sana, memasukkan sungai dalam brosur wisata. Kita? Menganggap sungai adalah pembuangan. Itulah pula, bangunan rumah (nyaris) selalu membuat sungai sebagai bagian belakang.

Di atas angkot yang terus melaju, aku mengkhayal suatu masa, berakit2 di Kali Ciliwung bak Kapten encik Awang. Sambil mengenang kecantikan Siti Maemunah, putri Pangeran Geger dan Nyai Polongan yag kesohor itu. Dayung, bang....!!!!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini