<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Tuesday, February 08, 2005

Berguru ke Negeri Ratu

buswaySejak Selasa 11 Jan 2005, Jakarta memiliki Dewan Transportasi Kota. Dewan beranggotakan 15 orang dari LSM, pengusaha dan awak angkutan, polisi, pemerintah, dan kalangan perguruan tinggi ini, akan menata sistem trasportasi kota Jakarta. Salah satu pola yang akan mereka gunakan untuk mengurai benang kusut transportasi Jakarta, adalah Pola Transportasi Makro. Apapun polanya, kesuksesan kinerja Dewan ini akan mudah terpantau oleh masyarakat, sebab muara dari ketidakberesan sistem transportasi itu, adalah kemacetan yang sudah teralami setiap hari.

Sebelumnya, dalam tiga bulan ini, pemerintah Jakarta menyampaikan tiga rencana kerja mengatasi kemacetan. Yakni, pembangunan delapan terminal baru, peniadaan parkir off street, dan tiket berlangganan busway. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun memberi perhatian khusus soal ini. Kepada pejabat kota Jakarta, sehari setelah lebaran, SBY mencanangkan lima konsep penataan ulang kota Jakarta. Masalah kemacetan ditempatkan dalam prioritas pertama, diikuti banjir, sampah, perumahan, dan reklamasi.

sepedaSaya sedang berada di Norwich, Inggris, ketika semua rencana mengatasi kemacetan itu didengungkan. Di kota yang luasnya jauh lebih kecil dari kota Depok ini, tak pernah ditemui kemacetan. Dan tak ada pula penumpang yang berdesakan, meskipun bus yang melayani setiap jalur hanya 1 macam bus saja. Semua bus yang beroperasi di seantero kota, hanya yang dikelola oleh pemerintah kota Norwich.

Tak adil rasanya membandingkan penataan lalulintas di kota sekecil Norwich ini, dengan kota sebesar Jakarta. Tapi, ada beberapa hal yang tampak disini, bisa menjadi acuan dalam kebijakan penataan. Di Norwich, semua jalan raya, betul-betul digunakan sesuai fungsinya. Inilah pembeda utama dengan Jakarta. Di Jakarta, jalan raya bukan hanya berfungsi sebagai sarana transportasi belaka. Justru peranannya yang lebih besar adalah sebagai sarana ekonomi, sebagai lapangan pekerjaan.

angkotBanyak sekali orang yang menggantungkan hidup di jalan raya. Tengoklah sopir bus, pedagang kaki lima, tukang ojek, tukang tambal ban, dan pengasong, semuanya menggunakan jalan raya sebagai “alamat kantor”. Akibatnya jalan raya tidak maksimal digunakan seluruhnya, sebab sebagian sudah diserobot untuk fungsi lain. Saya setiap hari melewati Pasar Minggu, di Jakarta Selatan. Untuk melewati jalur sepanjang 200 meter saja, butuh 20 hingga 30 menit. Jalan yang terbagi tiga jalur, praktis tergunakan satu jalur saja. Pedestrian dipenuhi pedagang, sehingga pejalan kaki masuk ke jalur mobil. Satu jalur terpinggir diisi barisan tukang ojek. Satu jalur berikutnya, diisi bus dan angkota ngetem.

Sampai-sampai, seorang rekan pernah bilang, kalau penertiban Pasar Minggu ini diadikan barometer kesuksesan camat Pasar Minggu dan walikota Jakarta Selatan, alamat mereka hanya bertahan 100 hari pertama saja.

Dua minggu berlalu, saya belum tahu seperti apa dan darimana DTK mulai bergerak. Menghilangkan ojek, angkutan kota milik pribadi, dan pedagang kaki lima, akan berdampak pada stabilitas nasional, karena jumlah penganggur menghebat. Bukankah sektor informal ini menjadi penyelamat ekonomi rakyat yang didera kesusahan ekonomi berkepanjangan.

angkotTetapi membiarkan kondisi ini juga menyebabkan non efisiensi dan kelelahan mental. Bayangkan, warga Depok yang masuk bekerja pukul 8 di kawasan Sudirman, harus bergegas berangkat sejak pukul 5.30. Senada seirama saat pulang kantor. Keluar kantor, pukul 16 tiba di rumah sudah waktu Isya. Waktu itu menjadi terbuang sia-sia, sebab bus tak nyaman untuk membaca, apalagi untuk membuka laptop.

Melihat komposisi asal usul anggotanya, saya berharap banyak kepada DTK. Ada polisi, pejabat pemerintah, pakar, bahkan aktivis HAM. Latar belakang yang beragam ini, akan membuat Dewan ini melihat persoalan transportasi dari berbagai bidang. Meskipun bisa saja, keberagaman ini justru membuat Dewan tertahan pada tataran perdebatan. Semisal menertibkan pedagang yang “menyerobot” pedestrian dan badan jalan. Polisi akan bergerak dari sisi hukum bahwa segala yang melanggar harus ditertibkan. Tapi akan lain bagi aktivis HAM, yang berpendapat penggusuran adalah menghilangkan hak orang untuk mendapatkan materi.

rambuDewan juga harus siap menghadapi penolakan masyarakat. Anggota DTK unsur kepolisian, Komisaris Naufal Yahya, yang juga seorang Master Transportasi mengakui, bahwa harus ada kebijakan ekstrim yang tidak populer. Usulan Naufal, antara lain menetapkan pajak kepada pengguna kendaraan pribadi dalam konsumsi bahan bakar. Juga dengan menaikkan ongkos parkir kendaraan pribadi, mempersempit ruang gerak kendaraan pribadi dengan cara tidak memperbolehkan kendaraan pribadi melintas di tempat-tempat tertentu yang berpotensial mengakibatkan kemacetan. Ini semua mendorong orang beralih ke angkutan umum.

Di Norwich, usulan Komisaris Naufal ini sudah diterapkan. Parkir mahal, dan tempat parkir terbatas. Ini sejalan dengan rencana pemerintah Jakarta dalam pengelolaan perparkiran. Saya membayangkan, daripada membangun terminal bis, lebih baik pemerintah membangun Park and Ride, yakni tempat parkir luas dan menjadi titik awal perjalanan busway. Kalau saja rencana ini terwujud, Park and Ride misalnya ada di Lebak Bulus, pekerja dari Depok, Ciputat, dan Bintaro cukup memarkir kenderaan disini, dan langsung naik bus menuju Sudirman dan Thamrin. Tiket parkir dipadukan dengan tiket bus, dan pengguna dirangsang dengan penerapan tiket multi-trip. Kampus dan kantor, bekerja sama dengan pemerintah, mengeluarkan tiket tahunan dengan sistem subsidi. Mahasiswa di Norwich, hanya dikenai tiket tahunan 135 Pound, setara dengan 2,6 Pound per minggu. Padahal untuk sekali naik bus, ongkos termurah adalah 0.8 Pound dan termahal 2.8 Pound.

Namun apapun upaya yang dilakukan, pilar utama mengatasi kemacetan ini adalah pemberlakuan hukum yang tegas. Polisi jangan lagi menyelesaikan persoalan dengan priitt jigo. Dinas Perhubungan dan pengusaha tidak lagi main pat-gulipat dalam mengeluarkan izin trayek. Kalau ini berhasil, maka law enforcement ini merupakan exercise bagi pemerintahan SBY untuk mengatasi kemacetan lainnya, termasuk kredit macet.


Dimuat di KOMPAS Selasa, 8 Feb 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini