Berguru ke Negeri Ratu

Sebelumnya, dalam tiga bulan ini, pemerintah Jakarta menyampaikan tiga rencana kerja mengatasi kemacetan. Yakni, pembangunan delapan terminal baru, peniadaan parkir off street, dan tiket berlangganan busway. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun memberi perhatian khusus soal ini. Kepada pejabat kota Jakarta, sehari setelah lebaran, SBY mencanangkan lima konsep penataan ulang kota Jakarta. Masalah kemacetan ditempatkan dalam prioritas pertama, diikuti banjir, sampah, perumahan, dan reklamasi.

Tak adil rasanya membandingkan penataan lalulintas di kota sekecil Norwich ini, dengan kota sebesar Jakarta. Tapi, ada beberapa hal yang tampak disini, bisa menjadi acuan dalam kebijakan penataan. Di Norwich, semua jalan raya, betul-betul digunakan sesuai fungsinya. Inilah pembeda utama dengan Jakarta. Di Jakarta, jalan raya bukan hanya berfungsi sebagai sarana transportasi belaka. Justru peranannya yang lebih besar adalah sebagai sarana ekonomi, sebagai lapangan pekerjaan.

Sampai-sampai, seorang rekan pernah bilang, kalau penertiban Pasar Minggu ini diadikan barometer kesuksesan camat Pasar Minggu dan walikota Jakarta Selatan, alamat mereka hanya bertahan 100 hari pertama saja.
Dua minggu berlalu, saya belum tahu seperti apa dan darimana DTK mulai bergerak. Menghilangkan ojek, angkutan kota milik pribadi, dan pedagang kaki lima, akan berdampak pada stabilitas nasional, karena jumlah penganggur menghebat. Bukankah sektor informal ini menjadi penyelamat ekonomi rakyat yang didera kesusahan ekonomi berkepanjangan.

Melihat komposisi asal usul anggotanya, saya berharap banyak kepada DTK. Ada polisi, pejabat pemerintah, pakar, bahkan aktivis HAM. Latar belakang yang beragam ini, akan membuat Dewan ini melihat persoalan transportasi dari berbagai bidang. Meskipun bisa saja, keberagaman ini justru membuat Dewan tertahan pada tataran perdebatan. Semisal menertibkan pedagang yang “menyerobot” pedestrian dan badan jalan. Polisi akan bergerak dari sisi hukum bahwa segala yang melanggar harus ditertibkan. Tapi akan lain bagi aktivis HAM, yang berpendapat penggusuran adalah menghilangkan hak orang untuk mendapatkan materi.

Di Norwich, usulan Komisaris Naufal ini sudah diterapkan. Parkir mahal, dan tempat parkir terbatas. Ini sejalan dengan rencana pemerintah Jakarta dalam pengelolaan perparkiran. Saya membayangkan, daripada membangun terminal bis, lebih baik pemerintah membangun Park and Ride, yakni tempat parkir luas dan menjadi titik awal perjalanan busway. Kalau saja rencana ini terwujud, Park and Ride misalnya ada di Lebak Bulus, pekerja dari Depok, Ciputat, dan Bintaro cukup memarkir kenderaan disini, dan langsung naik bus menuju Sudirman dan Thamrin. Tiket parkir dipadukan dengan tiket bus, dan pengguna dirangsang dengan penerapan tiket multi-trip. Kampus dan kantor, bekerja sama dengan pemerintah, mengeluarkan tiket tahunan dengan sistem subsidi. Mahasiswa di Norwich, hanya dikenai tiket tahunan 135 Pound, setara dengan 2,6 Pound per minggu. Padahal untuk sekali naik bus, ongkos termurah adalah 0.8 Pound dan termahal 2.8 Pound.
Namun apapun upaya yang dilakukan, pilar utama mengatasi kemacetan ini adalah pemberlakuan hukum yang tegas. Polisi jangan lagi menyelesaikan persoalan dengan priitt jigo. Dinas Perhubungan dan pengusaha tidak lagi main pat-gulipat dalam mengeluarkan izin trayek. Kalau ini berhasil, maka law enforcement ini merupakan exercise bagi pemerintahan SBY untuk mengatasi kemacetan lainnya, termasuk kredit macet.
Dimuat di KOMPAS Selasa, 8 Feb 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home