Pagar Makan Jalanan
Tinggal 50 meter sebelum tikungan tajam Eaton Park. Tapi supir bus belum menurunkan gas. Aku yang duduk di bagian atas bus double decker ini, udah mulai pegangan. Syukurlah, tak ada ban berdecit akibat rem mendadak, karena di pertigaan itu tak ada aral melintang.
Gaya orang nyetir disini memang bikin ciut nyali. Tapi karena mereka yakin semua orang taat aturan, maka semuanya berjalan oke. Bayangkan kalo kejadian tikungan tadi di Jakarta. Si sopir jelas sudah jadi pembunuh berdarah dingin. Pas di tikungan, ada bajaj sama angkot ngetem. Di belakangnya ada calo lagi teriak-teriak. Terus ada tukang teh botol dengan 2 pembeli. Ada jual soto menjorok ke jalan, dengan pembeli 3 orang. Lalu ada 2 orang menyeberang sembarangan. Muncul bus dengan kecepatan tinggi membelok. Minimal 10 tewas di tempat.
Apa yang membuat sopir yakin jalanan kosong. Pertama itu belokan. Ada garis kuning di jalan, pertanda dilarang parkir sepanjang tikungan. Kedua dilarang berjualan di pinggir jalan. Ketiga, 100 meter dari tikungan ada zebra cross lengkap dengan lampu lalulintas yang menyala merah bila diminta pejalan kaki. Keempat, kalaupun dia apes, nabrak, gak mungkin dipukuli massa.
Teman aku ini berkabar, pakar pendidikan Arif Rahman risau, sekarang orang lebih memilih memasang polisi tidur ketimbang membuat plang: jangan ngebut banyak anak-anak. Pasalnya, orang sudah lebih patuh kepada tanda-tanda penghalan fisik, daripada himbauan. Kerisauan yang nyata. Lihatlah betapa banyaknya separator di jalan-jalan Jakarta. Di Kedoya misalnya, dekat RCTI dan apartemen Kedoya, dipasang separator setinggi pinggang agar orang tidak membelok dan tidak menyerobot jalur lawan.
Bayangkan, kalau ada orang bijak yang memegang semboyan: "disiplin suatu bangsa dapat dilihat dari lalulintasnya" melihatnya. Pastilah dia menyangka disiplin bangsa kita disiplin ala kolonial. Main pecut, main paksa. Aku jadi ingat cerita guru waktu kecil, tentang beda pagar orang dan pagar kambing. Pagar orang cukup diberi tulisan dilarang masuk. Sedangkan pagar kambing, harus diberi penghalang sedemikian, sampai si kambing tak bisa loncat. Nah, kira-kita apakah kita marah kalau disebut bangsa kambing?
Apa yang membuat sopir yakin jalanan kosong. Pertama itu belokan. Ada garis kuning di jalan, pertanda dilarang parkir sepanjang tikungan. Kedua dilarang berjualan di pinggir jalan. Ketiga, 100 meter dari tikungan ada zebra cross lengkap dengan lampu lalulintas yang menyala merah bila diminta pejalan kaki. Keempat, kalaupun dia apes, nabrak, gak mungkin dipukuli massa.
Teman aku ini berkabar, pakar pendidikan Arif Rahman risau, sekarang orang lebih memilih memasang polisi tidur ketimbang membuat plang: jangan ngebut banyak anak-anak. Pasalnya, orang sudah lebih patuh kepada tanda-tanda penghalan fisik, daripada himbauan. Kerisauan yang nyata. Lihatlah betapa banyaknya separator di jalan-jalan Jakarta. Di Kedoya misalnya, dekat RCTI dan apartemen Kedoya, dipasang separator setinggi pinggang agar orang tidak membelok dan tidak menyerobot jalur lawan.
Bayangkan, kalau ada orang bijak yang memegang semboyan: "disiplin suatu bangsa dapat dilihat dari lalulintasnya" melihatnya. Pastilah dia menyangka disiplin bangsa kita disiplin ala kolonial. Main pecut, main paksa. Aku jadi ingat cerita guru waktu kecil, tentang beda pagar orang dan pagar kambing. Pagar orang cukup diberi tulisan dilarang masuk. Sedangkan pagar kambing, harus diberi penghalang sedemikian, sampai si kambing tak bisa loncat. Nah, kira-kita apakah kita marah kalau disebut bangsa kambing?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home