<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Monday, August 15, 2005

Bagimu Negri, Jiwa Raga Kami


Kulepas pandang ke laut lepas. Lalu kutiup potongan ikan yang berkepul panas. Berteman sambel pedas, makanan kebangsaan orang Inggris, fish and chips itu melintas juga di kerongkongan. Berbekal sebatang Dji Sam Soe yang membuat penghuni meja sebelah terbatuk, kutatap suasana pantai. Anak remaja yang berjalan riang sambil menjilat es krim, juga orang tua beriring anjing. Ramai. Padahal pantai Hunstanton ini --sejam dari Norwich-- bukan pantai yang layak kunjung, bila anda sudah terbiasa dengan Kuta, Pasir Putih, bahkan Ancol sekalipun. Kami kesini, membawa orang tua salah seorang teman, yang datang menjenguk putrinya.


Namun seruan, "Coba begini di Indonesia" tetap saja keluar dari mulut orang tua kami itu. Entah ini ucapan yang keberapa. Melihat jalan raya yang tak berlobang, kesantunan pengguna jalan, rambu dan batas kecepatan yang disesuaikan dengan kondisi daerah yang dilalui, hingga sistem parkir tanpa manusia (pay and display).


"Sistem kayak gini bisa gak sih Pap, ditiru di Indonesia," gugat sang istri kepada suaminya yang pernah menjadi anggota dewan.


Tentu saja bisa. Jumlah putra-putri Indonesia yang belajar di negeri orang tak kurang-kurang. Dari Inggris hingga Perancis, mulai Jerman sampai Teheran, Australia sampai Italia, juga negeri Matahari Terbit dan negeri Piramid. Ilmu yang dituntut pun beragam. Di Norwich saja, teman-teman mengambil bidang yang "aneh-aneh". Sebutlah, Lingkungan, Penanganan Bencana, Jender, Studi Pembangunan, dan Kebijakan Kesehatan Publik. Lihat pula keluarga besar multiply. Ada pakar kelautan, Resolusi Konflik, Pasukan Perdamaian, Perkapalan, Konflik dan Agama, Arsitektur Urban, Tatakota Negara Berkembang, Corporate Governance, dan Kebijakan Publik. Ada Doktor kajian sains, teknologi, dan masyarakat, yang buah pikirnya sering terbaca di media nasional. Juga ada yang mendunia, hingga masuk CNN


Kurang apa lagi. Tapi dengarlah balada bapak Doktor Dindin (bukan nama asli, tapi cerita asli)dari Paris ini. Ia lulus dengan predikat sungguh sangat memuaskan, dari kampus ternama. Kampus yang tau potensinya segera menawari menjadi pengajar, dengan posibilitas besar menjadi ketua jurusan, dan embel-embel sebagai penasehat Presiden Perancis bidang transportasi. Tentu saja dengan euro bergepok.


Dengan rasa nasionalisme membuncah di dada, selaksa asa di kepala, ia menolak. Memilih kembali ke pangkuan pertiwi. Berbekal tekad besar membangun Indonesia. Tahun berganti, kereta bawah tanah yang diidamkan mengatasi kemacetan Jakarta, tak kunjung terwujud. Yang tersisa hanya satu: dia masih setia dengan kijang butut, meski teman2nya yang kapabilitas jauh dibawahnya sudah bergonta ganti mobil. Sebuah idealisme.


Lain lagi pengalaman Nunung MSc (nama samaran, kejadian beneran). Kembali ke kantor lama, ia membawa cita-cita mengatasi kerusakan jalan akibat truk kelebihan tonase. Usulannya dicibir, karena berbau Eropa. Tak hilang akal, ia ajak sejawat dan atasannya studi banding ke Malaysia. Sesama negara berkembang, dan sesama puak Melayu pula, yang mempraktekkan sistem serupa. Hasilnya, sistem kir kenderaan otomatis, dan pemanfaatan jembatan timbang secara maksimal. Apa lacur, atasannya bilang, "terlalu banyak biaya sosial, jika sistem dimesinkan". Mesin memang, tidak bisa disogok.


Pertanyaan "Bisa gak sih begini di Indonesia", terus mengiang. Jawabnya ada pada benak kita masing-masing. Aku yakin, ibu pertiwi, yang pekan depan usia merdekanya sudah 60 tahun, suatu masa akan berubah. Kata si Cut Inong dari Atjeh, Pat ujeuen han pirang, pat prang tan reda. Tak ada hujan yang tak usai, tak ada perang yang tak berakhir. Merdeka..!!!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini