<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sunday, April 09, 2006

Sepi nan Sepoi di UI

Suara klakson menyeru bertautan. Tapi itu tak membuatku menggegas langkah. Dengan perlahan kutapaki zebra cross di halte bis kuning, tak memedulikan pengendara yang terus menekan tombol klakson. Agaknya ia mau meberitahu dunia: hei, ada orang tolol nih lagi nyebrang. Ah, peduli syaiton. Ini penyeberangan, ini kampus. Orang terdidik, mestinya tau zebra cross tempat orang melintas dengan aman. Sesama pengguna jalan memiliki hak sama. Di rontal mana engkau membaca, bahwa pengendara mobil berkasta lebih mulia daripada pejalan kaki. Mpu mana yang mengajarmu, kalau engkau memiliki mobil maka engkau telah berkasta brahmana, lebih mulya dari pejalan kaki sudra itu. Aku berlalu tiada berlawan.

Buat apa kuganggu hari indah ini dengan persoalan kecil macam itu. Kuhirup udara segar di hari yang mulai menaik. Menyusuri trotoar, menyapa penyapu jalan. Aku selalu menyukai suasana kampus UI pagi dan sore hari. Jalanan luas, trotoar (meski grajal grujul, pepohonan hijau, danau, halte bis, dan kereta api mengingatkan pada kampung kecil tercinta, Norwich. Mungkin karena luasnya yang tidak jauh berbeda pula. Aku selalu mengkhayal, sebagai kampus --jika mau--, UI bisa menjadi laboratorium contoh sistem lalulintas yang baik. Juga sistem penataan kota.

Tapi dekat dengan bundaran psikologi, ada hal yang membuatku tersenyum simpul. Disitu, ada tanda larangan parkir dwi-bahasa, plus ancaman denda untuk melepas clamp. Pastilah inisiatornya, alumni luar negeri yang mahfum efektifitas sebuah denda dalam penegakan aturan. Namun ohoii.. persis dibawah rambu itu, dipasangi drum berisi semen, menjorok 1 meter dari trotoar. Tujuannya pastilah agar tidak ada yang parkir disana. Seharusnya, warga UI yang notabene cerdik cendekia terpelajar, memprotes ini. Bukankah perbedaan mendasar orang terdidik dengan yang tidak adalah kepandaian membaca simbol. Tidak cukupkah rambu dwibahasa tadi sebagai larangan. Lain hal, jika ini terminal, dimana garis pembatas jalan pun harus dibuatkan tembok, baru tidak dilanggar. ....round about

3 Comments:

At 11:43 PM, Blogger mpokb said...

sawah yang di belakang rektorat masing ada bang? bagaimana dengan betty penjual teh botol di gimnasium yg jago voli? :D

 
At 4:50 AM, Anonymous Anonymous said...

di seluruh persada indonesia, pengendara mobil banyak yg arogan, baik itu yg berpendidikan maupun yang tidak. dan sifat arogan membuat orang menjadi buta...

 
At 4:37 AM, Anonymous Anonymous said...

Wah, sayang sekali Anda tidak ketemu skuter saya. Kalo ketemu, pasti saya persilakan untuk menyeberang dengan tenang (sambil melihat2 para mahasiswi yang ikutan nyeberang dari kedua sisi) ... hehehehe

Saya lewat kampus UI Depok setiap hari untuk pulang pergi dari rumah yang jaraknya 1.5km dari batas pagar akses keluar Gymnasium/Stadion, jam 8-9 pagi, dan jam 7-11 malam (lewat jam 11 malam, terpaksa memutar tambah 7km lewat Margonda).

 

Post a Comment

<< Home

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini