<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Wednesday, March 06, 2002

Menuju Allah di Ladang Ijtihad



Prolog
Tulisan singkat ini, hanya merupakan pengalaman dan tafsir pribadi penulis atas kejadian yang terlihat di depan mata saat melaksanakan indah haji Februari 2002. Sehingga bukan merupakan tips, petunjuk, apalagi panduan. Penulis berani menuliskan pengalaman ini, sebab sama seperti semua orang yang habis bepergian dari suatu tempat, tentu saja bebas memberi komentar atas perjalanannya, yang pastilah tidak sama dengan yang dialami oleh orang lain. Selamat mengikuti.

Menuju Allah

Hari memasuki rembang petang, ketika Aku memasuki gerbang areal boarding untuk Emirates Airlines, bandara Soekarno Hatta. Suara azan sayup-sayup terdengar. Setelah meletakkan tas, puluhan orang bersegera menuju kamar kecil di bagian bawah ruang tunggu. Mushalla bandara hanya bisa menampung empat orang saja sehingga orang kembali ke atas dan melemparkan apa saja untuk alas muka, mulai dari sajadah, sapu tangan, hingga jas. Dan salat magriblah aku, bersama puluhan orang lain yang hari itu sama-sama berniat berangkat ke Tanah Suci Mekkah, untuk berhaji.

Aku merenung. Sebulan sebelumnya, aku berada di tempat serupa tetapi tujuan berbeda. Aku mau pulang ke Medan, berlebaran. Sambil menunggu pesawat, kala itu, aku dengan santai melewatkan waktu salat Subuh dan Zuhur . Aku merenung semakin dalam. Apakah ini yang dinamakan dengan berhijrah menuju manusia baru? Wallahu a’lam bis shawab.

Yang pasti, seperti disampaikan Doktor Ali Syariati dalam bukunya Hajj, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Evolusi ini menjadikan ka’bah, Baitullah, sebagai titik sentral dari sebuah panggung besar pertunjukan tentang penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi Islam, dan keummatan.


Begitu memasuki pesawat, suara Talbiyah memenuhi ruang pesawat yang sebetulnya tak saja diisi oleh jamaah haji. Pesawat Emirates Airlines merupakan pesawat komersil yang melayani jalur penerbangan Jakarta-Jeddah. Tak ada yang keberatan dengan lantunan Talbiyah ini. Bahkan kru pesawat mempersilakan pembimbing agama jamaah, menggunakan mikrofon pesawat untuk memimpin Talbiyah. Labbaik Allhumma labbaik. Labbaik Ala Syarika Laka Labbaik. Ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan Mu, Tidak ada sekutu bagi Mu, aku datang memenuhi panggilan Mu.

Pujian “Aku datang memenuhi panggilan Mu” merupakan ungkapan pengakuan tulus bahwa manusia lah yang tahu kapan dia bisa memenuhi panggilan. Memenuhi, sekali lagi memenuhi.

Artinya, semua manusia sebetulnya sudah dipanggil oleh Allah untuk mengunjungi rumah Nya, Baitullah. Jadi, sangat tidak benar kalau ada orang yang kelihatan mampu secara materi untuk mengongkosi dirinya menunaikan ibadah haji, berkilah bahwa belum ada panggilan. Sebab panggilan haji sama gaibnya dengan kedatangan azal. Manusia hanya tahu bahwa azal tiba setelah sang malaikat maut mencabut nyawa dari raga.

Seorang rekan memberi ungkapan yang tepat untuk menjawab pertanyaan kenapa belum berangkat haji adalah: “Insya Allah, saya sedang dalam waiting list”. Ada nada kesadaran disana, bahwa panggilan itu telah datang, tapi belum saat ini ditunaikan. Tapi sudah ada dalam daftar tunggu. Bisa jadi karena waktu yang belum pas, atau terhalang oleh proses administrasi pemberangkatan.

Menuju Miqat

Jamaah haji yang melalui rute Jakarta-Dubai-Jeddah mendapati miqat di atas udara, yakni miqzt yalamlam. Batas memasuki tanah haram, miqat Yalamlam berada di atas udara rute penerbangan Dubai-Jeddah. Karena keterbatasan tempat, sehingga kurang efisien bila harus berganti pakaian ihram di atas pesawat, maka jamaah dianjurkan telah memmakai pakaian ihram di hotel, bagi yang menginap, atau di bandara bagi yang hanya transit tanpa menginap.

Kehadiran ratusan jamaah di bandara Internasional Dubai dengan berpakaian putih-putih, membuat semua jamaah sepintas kelihatan sama. Hilang sudah jenderal anu, walikota anu, pengusaha anu, semua menjadi dirinya sendiri yang dikenali hanya dari nama belaka. Nama pun tak berarti lagi, kecuali untuk kepentingan administrasi pembagian tiket, paspor, dan kamar pemondokan.

Bapak-bapak pejabat yang ketika menjelang bandara Soekarno-Hatta masih “pejabat”’, ditandai dengan pakaian, antaran sopir, dan ajudan yang siap membawakan tas, kini bukan siapa-siapa lagi. Semua berpakaian sama, dua lilit pakaian putih, tanpa atribut dan embel-embel. Semua menjinjing bawaan sendiri. Lalu berbaris rapi, antri, tanpa privilege. Menunggu petugas membagikan tiket dan paspor. Pembimbing agam berbisik, bahwa replika Padang Mahasyar telah dimulai. Kelak, di Jeddah, Mekkah, dan Arafah replika-replika lain dari bukti ke-maha-an Allah banyak bermunculan.

Tiba Di Haram

Masih tetap dalam keadaan berihram, jamaah tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Karena musim haji berlangsung tiap tahun, daan melibatkan jutaan umat manusia, maka pemerintah Arab Saudi membuat bandara khusus haji, yang digunakan hanya dalam musim haji tiap tahun. Menurut informasi, sejak H-10 dari 10 zulhijjah, frekuensi turun naik pesawat di bandara Jeddah ini tiap 5 menit.

Dalam keadaan badan lelah, dan harus mengangkat barang bawaan, harus berhadapan dengan petugas bandara yang sebetulnya jauh dari layak bertugas sebagai “pelayan”. Memang musim haji menyedot banyak tenaga kerja, sehingga pemerintah Saudi kesulitan melaukan rekrutmen secara benar.

Petugas imigrasi muda usia, dengan seragam yang kurang pas, justru banyak celingak celinguk antara layar komputer dan teman sebelahnya. Belum lagi kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim. Padahal, petugas di pintu masuk kerajaan Saudi itu, adalah resepsionis negaranya. Tapi itulah Saudi. Seorang rekan mengajukan analisa konyol tapi tepat: kalau petugas bandara Indonesia berlaku kurang sigap, wisatawan bisa mengalihkan perjalanan ke negara lain. Lha, kalau petugas bandara Jeddah berlaku kurang sigap, kita mau haji kemana. Disamping itu, ada rasa takut dicap sebagai orang taak sabar, bila harus mengajukan protes. Padahal mestinya, sabar dan komplain terhadap mutu pelayanan adalah hal yang berbeda.

Lepas dari pemeriksaaan paspor, jamaah dihadapkan lagi dengan “kekesalan” berikutnya, yakni pemeriksaan tas. Padahal tas yang berat berat itu sudah dikunci, dibungkus, dan diikat dengan berbagai penanda. Banyak jemaah, umumnya yang sudah berumur, grogi dan tak tau apa yang harus dilakukan, sebab miskomunikasi dalam berbahasa. Kesalahpahaman kerap terjadi, petugas mengira jamaah menolak membuka tas, lalu curiga. Sehingga begitu tas terbuka, langsung diacak-acak.

Biasanya petugas iseng dan rajin meminta bawaan jamaah, terutama rokok, permen, dan barang kecil yang kelihatan aneh buat mereka. Petugas pun bertanya: halal?. Jamaah yangt beranggapan pertanyaan itu soal halal haram, sigap menukas: halal. Padahal bagi petugas Saudi, itu berarti boleh diambil, dimakan, atau dimiliki si penanya. Terjadilah pertengkaran lucu, karena jamaah menolak memberikan, sementara petugas merasa sudah diizinkan. Padahal seorang bapak tua, hanya karena memberikan rokok dari tas tangannya, tas besarnya selamat dari pemeriksaan. Ada pula seorang ibu, yang karena kesal tasnya diacak, menjadi kikir. Sang pembimbing agama berbisik lagi: ini juga replika Padang Mahsyar, ada yang menerima persepsi jelek pada pandangan petugas, sehingga harus diperiksa ketat, ada pula yang tidak dicurigai sama sekali, sehingga tak diperiksa. Masya Allah.

Rumah Merdeka

Perjalanan Jeddah menuju Mekkah ditempuh dengan bis, kurang lebih 1 jam perjalanan. Meskipun sudah diperiksa di bandara Jeddah, diperjalanan menjelang Mekkah masih ada lagi check point. Petugas menghitung paspor, lalu mencocokkan dengan jumlah penumpang diatas mobil. Persis macam pemeriksaan oleh petugas timer perjalanan bis di tanah air.

Memasuki kota Mekkah, sebagian jamaah menitikkan air mata. Ini terutaama menimpa jamaah yang sudah pernah ke Mekkah. Tangisan dan pekikan Subhanallah makin menguat setelah melihat puncak menara mesjid Haram. Aku yang baru berangkat pertama kali, sama sekali belum merasakan hal itu tadi. Ibu Dokter Rahasia yang duduk disebelahku bilang, nanti begitu lihat Ka’bah rasa haru itu akan makin kuat. Kelak, saat tawaf wada’, perpisahan dengan Ka’bah dan Mesjid Haram, aku mulai merasakan rindu yang tak tertahankan, layaknya ketika akan berpisah dengan orang yang dicintai. Air mata pun tak tertahankan, mengucur deras. Rasa ingin kembali, bersama keluarga, teman, dan saudara begitu besar. Satu hal yang tak aku duga ketika di tanah air, perubahan menjadi sangat cengeng ketika berada di tanah haram. Utamanya, di beberapa tempat sakral dan tempat berdoa yang makbul, seperti Ka’bah, Raudhah di Mesjid Nabawi, dan saat wukuf di Padang Arafah. Kalau ditanyakan kenapa, terlalu banyak sebab, yang pasti rasa dan pengaruhnya tak sama bagi semua orang.

Masuk kota Mekkah, berbeda jauh rasanya dengan masuk pertama kali ke sebuah kota. Rasa kagum yang sukar dilukiskan, karena berkunjung kesini bukan karena keindahan kota, kekhasan makanan, kenikmatan wisata, keramahan warga, tapi suatu perjuangan menuju Allah dengan Ka’bah, Baitul Atiq (rumah kemerdekaan) sebagai titik sentralnya.

Sebagai titik sentral, maka jutaan umat manusia –tahun 2002 jumlah jamaah tiga juta orang--, berkumpul di Mesjid Haram. Jamaah datang dari seluruh penjuru dunia, dengan bermacam bahasa, tingkah laku, ada istiadat, juga bau badan. Kondisi keberagaman ini, merupakan ujian sangat berat. Jamaah dari Turki misalnya, senang bepergian bergerombol dan menabrak tanpa tedeng aling aling. Meskipun demikian, aku tak pernah melihat ada yang berkelahi karena rebutan tempat salat, atau karena bergesekan saat tawaf dan sa’i.

Demikian pula saat wuquf di Padang Arafah. Wuquf merupakan puncak haji, yang berlangsung hanya pada tanggal 9 Zulhijjah. Jutaan manusia berkumpul dalam waktu bersamaan di Arafah. Fasilitas MCK dan makan yang kurang dan terbatas, tak membuat jamaah sampai bersitegang.

Aku bingung, kenapa dulu Arafah dipilih sebagai tempat wuquf. Apakah sudah dipikirkan, bahwa suatu saat jamaah yang datang akan berjumalah jutaan. Meskipun Arafah adalah hamparan padang yang luas, tapi karena ada batas, sekilas Arafah terlihat tak akan menampung jutaan jamaah. Ajaibnya, seperti janji Rasulullah, bahwa Arafah seperti rahim seorang ibu yang akan mengembang sesuai kebutuhan, maka Arafah pun akan selalu bisa memuat seluruh jamaah.

Saat wuquf di Arafah, merupakaan saat terlama memakai pakaian ihram. Pakaian ihram sudah harus dipakai ketika hari Tarwiyah tiba, yakni 8 Zulhijjah, dan berbondong-bondong menuju Arafah. Karena waktunya yang pendek, sehingga harus dilakukan bersamaan maka jarak Mekkah-Arafah yang kurang dari 20 kilometer, harus ditempuh dalam waktu 5 jam.

Pemandangan lazim yang dilihat di Arafah adalah jamaah yang tafakkur sambil menangis. Ada yang menangis tertahan, banyak pula yang menangis meraung. Berada dalam tenda besar secara berkelompok, tak ada kegiatan selain merenung dan berdoa. Seluruh jamaah terbawa suasana relijius, menyatakan ketundukan dan kepatuhan, merenungkan kehidupan yang terlewati penuh dengan gelimang dosa, seraya mengharap Magfirah Nya dan ampunan Nya. Wuquf merupakan hari yang agung, penuh limpahan rahmah, sehingga semua jamaah bertaubat sambil melantunkan doa pujian. Pembimbing agama pun, menyampaikan khutbah wuquf yang menggugah pengakuan dosa, sambil berurai air mata.

Sampai matahari terbenam, baru jamaah boleh meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Setelahnya, ada yang menuju Mina, ada pula yang langsung ke Mekkah untuk tawaf Ifadhah. Pakaian ihram boleh dilepas, setelah tahallul, yakni setelah tawaf dan sa’i bagi yang ke Mekkah, dan setelah melempar jumarh pertama bagi yang ke Mina. Rombongan kami, yang menuju Arafah dari Medinah, memakai pakaian ihram hampir 36 jam.

Seluruh jamaah betul betul memaknai pakaian ihram dalam perilaku. Jangan rafats, bersetubuh atau mengeluarkan kata keji, jangan fusuk, tindak kemaksiatan, dan jangan jidal, berbantah-bantahan. Dalam keadaan ihram, jangan pula membunuh binatang, mencabut tumbuhan, dan mengambil yang bukan miliknya.

Dalam surat Al-Hajj ayat 25 Allah menyatakan, siapa yang berniat melakukan kezaliman dan kemusyrikan di Tanah Haram, akan mendapatkan balasan yang pedih. Hanya berniat saja sudah sedemikian ancamannya, apalagi kalau sampai melaksanakan. Sungguh sebuah pelatihan amar ma’;ruf nahi munkar, pelajaran membina hubungan antar manusia, dan penjagaan keseimbangan dengan alam.

Ladang Ijtihad

Sebelum berangkat haji aku seikit anggap remeh dengan manasik. Hematku, semua pelaksanaan itu bisa dipelajari lewat membaca buku saja. Aku pun mengumpulkan dan melahap habis bermacam buku mengenai syariat dan hakikat makna haji. Mulai dari yang paling mudah berbetuk komik, panduan manasik haji dari Departemen Agama, hingga petunjuk berhaji yang dikeluarkan Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi.

Apa lacur. Begitu tiba di halaman masjid haram, untuk melaksanakan tawaf qudum, tawaf selamat datang, aku langsung dilanda kebingungan. Buku manasik haji yang kupegang, persis dibagian halaman doa masuk mesjid haram lewat Babus Salam. Dimanakah gerangan pintu bernama Babus Salam. Bayanganku semula, pastilah pintu itu merupakan pintu terbesar dan megah. Padahal seluruh pintu mesjid Al Haram besar dan megah.

Kebingungan berikutnya, datang ketika sudah sampai di pelataran Ka’bah. Dari bacaan aku sudah faham, bahwa titik awal tawaf adalah garis coklat melintang di lantai. Tapi bagaimana mau mencari garis di lantai yang ditutupi ribuan manusia. Dimanakah letaknya bukit syafa itu. Dimana pula letak sumur zamzam.

Ternyata setelah pelaksanaan tawaf selesai, dan aku buka kembali komik bergambar, semua letak tempat yang aku cari tadi tergambar jelas mirip dengan aslinya. Syukurlah, aku akhirnya selesai tawaf juga, padahal berangkat sendirian tanpa pembimbing agama. Bagian ini menbuatku berani berpesan pada kawan dan saudara, berhajilah selagi muda. Mumpung ingatan masih tajam, tatapan masih terang, dan jalan masih lantang.

Haji merupakan ladang ijtihad. Kepada siapa pun bertanya, jawabnya tak persis sama. Pelaksanaan syariat haji beragam. Ada yang mencoba meniru persis pelaksanaan haji zaman rasulullah. Berjalan kaki dari Padang Arafah ke Mina. Lalu bermalam di Muzdalifah tanpa bantuan tenda dan alas tidur. Di Mina, tidak pula mengambil pemondokan, melainkan tidur di pinggir jalan.

Ada yang mencoba mengikuti setengahnya, meninggalkan sebagian lainnya. Seorang rekan membiarkan ihramnya tetap terpasang sampai malam, padahal tawaf ifadhah ssudah diselesaikan pagi hari. Alasannya belum mencukur rambut. Memang tukang cukur di Mekkah panen besar sehabis pelaksanaan tawaf ifadhah yang dilangsungkan sehabis wukuf di Arafah. Rekan tadi berpegang teguh kepada petunjuk berhaji keluaran kerajaan Arab Saudi, yang menyatakan pemotongan rambut harus cukur bersih atau dicukur dengan panjang merata diseluruh kepala. Artinya tidak cukup dengan memotong beberapa helai seperti yang dipercayai sebagian ulama lain. Tetapi, ketika melontar di Mina, rekan tadi melontar dari bagian atas. Padahal Rasulullah tidak pernah melontar dari bagian atas ini, sebab ini merupakan bangunan baru era 90-an, sebagai antisipasi kerajaan Saudi terhadap keamanan karena makin membludaknya jumlah jamaah.

Tapi ada juga yang justru membaca sebagian buku, lalu “mensiasati” pelaksanaan syariat haji. Melontar jumrah dilaksanakan dalam tiga hari yang berbeda, 10, 11, dan 12 zulhijjah. Karena jarak pemondokan ke pelontaran mencapai 3 kilometer, diambillah siasat supaya tidak bolak balik. Pelontaran dilakukan menjelang tengah malam 10 zulhijjah. Setelah selesai, tidak langsung pulang, tapi menunggu hari bergeser dengan patokan pukul 12 tengah malam. Begitu hari berpindah, melontar lagi dengan hitungan untuk hari kedua 11 zulhijjah.

Apapun dan bagaimana pun cara kita memahami pelaksanaan syariat haji, yang terpenting adalah bertanya ke banyak orang pandai. Lebih bagus lagi itu dilakukan setelah proses logikalisasi secara pribadi, berupa lewat membaca bermacam kitab. Pelaksanaan syariat, alangkah bagusnya bila dibarengi dengan memikirkan hakikat setiap pelaksanaan. Misalnya Arbain, melaksanakan salat wajib 40 kali berturutan dan berjamaah di mesjid Nabawi, dipercaya sebagian orang tak boleh terlewatkan. Secara syariatl bagus sekali. Tapi ada yang mati-matian harus memenuhi Arbain itu, sedangkan waktu di Mekkah melewatkan salat berjamaah di Mesjid Haram tanpa rasa bersalah. Padahal, ganjaran salat di haram jauh lebih besar dari ganjaran salat di Nabawi. Substansi dari “kewajiban” Arbain adalah melatih diri, supaya selalu salat berjamaah di mesjid, dan tepat waktu.

Disinilah pentingnya bertanya dan berdiskusi. Tanpa bertanya, selain khawatir pelaksanaan tidak sempurna, juga menyebabkan kelelahan yang sangat. Jamaah rombongan kami, ada yang memulai tawaf paling dini, tapi berakhir paling belakangan. Usut punya usut, beliau sa’i 14 kali. Artinya perhitungan satu kali putaran sa’i dipahaminya sebagai perjalanan dari bukit syafa-marwah dan kembali ke syafa. Sehingga 7 kali baginya, sama dengan 14 kali bagi yang lain. Semoga Allah memberi ganjaran yang lebih banyak buatnya.

Reward and Punishment

Pertanyaan terbanyak yang diajukan teman teman sepulang dari tanah suci adalah, dapat pengelaman apa. Atau lebih spesifik, ada pengalaman aneh?. Aku menangkap kesan, seolah berangkat haji itu seperti menghadapi ujian kehidupan. Bahwa apa yang kita lakukan selama belum berangkat haji, akan mendapat ganjaran ketika berada di tanah haram.

Ketika aku menjawaab semua berjalan biasa saja, bermacam ekspresi yang aku temui. Meski tak terungkapkan, mungkin ada yang mengira, hajinya kurang afdhol, atau menduga pelaksanaan hajinya tidak serius. Wallahu a’lam. Memang, aku berangkat haji bukan lewat perenungan lama dan mendalam, tapi spontan dan mendadak. Sehingga aku tak cukup banyak mengumpulkan pengalaman, cerita, tips dari orang yang berangkat haji duluan. Aku hanya membaca buku buku tentang pelaksanaan syariat dan hakikat haji saja.

Akibatnya, pikiran bahwa akan mengahadapi hal begini begitu ketika berhaji, jarang melintas di benakku. Peganganku hanya satu, aku percaya hal ghaib sesuai rukun iman, sekaligus percaya bahwa balasan –berupa hal baik atau cobaan-- dari Allah mampu Dia berikan dimana pun di muka bumi. Tak hanya ketika berhaji.

Menurut Aa’ Agym, kenapa seolah saat berhaji balasan itu dirasakan langsung ces pleng, karena ketika di tanah suci konsentrasi kita mengukur hubungan manusia dengan Allah sedang tinggi tingginya. Sehingga apa pun yang terjadi pada diri kita, langsung kita kaitkan dengan balasan budi baik dan cobaan.

Stigma bahwa perjalanan haji adalah cobaan dan ujian kesabaran ini, berdampak pada ketidakmauan jamaah untuk komplain kepada pelayan haji, baik pemerintah (untuk ONH Biasa) maupun panitia ONH Plus. Sebab siapa yangt berani komplain, akan dicap sebagai orang tak sabar dan memiliki kadar keimanan rendah.

Apakah aku tak pernah merasakan bahwa aku sedang dicoba atau sedang diberi balasan atas budi baik? Suatu ketika, diantara salat Ashar dan Magrib aku memilih bertahan di mesjid haram. Saat itu aku mendapat tempat yang nyaman, di pelataran Ka’bah dan jauh dari lintasan searah pintu masuk. Karena cuaca memang sangat tidak berasahabat, angin gurun berhembus sangat kuat, banyak jamaah yaang terserang batuk. Termasuk orang orang disekililingku. Kesal rasanya, kenapa orang oraang tidak membentengi diri dengan obat obatan. Mendadak hidung menjadi gatal, layaknya gejala menjelang pilek. Masya Allah, hidungku mengeluarkan darah. Mimisan. Suatu hal yang tak pernah aku alami sejak kecil. Gejala alam biasakah ini? Bisa ya. Sebab pembuluh darah di hidung bisa luka saat memperoleh suhu yang ekstrim, terlalu dingin atau terlalu panas. Tapi, cobaankah ini. Bisa ya, sebab aku seolah menguji kemampuan Allah untuk memberikan sakit kepada yang Dia mau.

Aku juga mendapat “cobaan” setiap berurusan dengan wartel. Baik di Mekkah maupun Madinah. Hanya satu kali saja tidak, itupun karena wartel itu –di Arab disebut kabin—dilengkapi papan display penunjuk nonor yang diputar dan jumlah biaya yang sudah terpakai. Aku selalu menolak membayar bila tak dilengkapi bill. Penjaga wartel jarang mau memberikan, tapi langsung men-charge 20 sampai 30 riyal untuk pembicaraan sekitar 2 menit. Padahal untuk pembicaraan selama itu, paling banter 9 riyal. Kalau ngotot meminta bill, biasanya diberikan sambil bersungut-sungut. Tapi harus jeli lagi, sebab bisa saja diberikan bill orang sebelumnya yang jumlahnya besar. Di Madinah, pertengkaran tak hanya berakhir dengan bersungut sungut, tapi nyaris sampai ke polisi.

Aku merenung, ada apa ini. Apakah ini balasan dari perbuatanku terhadap hal penggunaan telepon waktu di tanah air. Jujur, semasa mahasiswa, aku ikut-ikutan membeli kartu telepon bekas yang diisi ulang, dengan harga sangat miring. Apakah ini balasannya. Sekali lagi bisa ya. Tapi tentu saja bisa tidak, Sebab pertengkaran itu terjadi karena aku membela diri dari penzaliman.

Karena aku termasuk jamaah yang muda usia, aku sering dimintai tolong membantu jamaah yang sudah uzur. Sewaktu turun di Dubai, aku kebagian membawa tiga nenek-nenek, dua diantaranya harus duduk di kursi roda. Karena bandara Dubai begitu baiknya melayani orang cacat dan uzur, aku otomatis ikut merasakan “pelayanan” orang uzur tadi. Dari pintu keluar pesawat sampai keluar bandara, yang jaraknya hampir satu kilometer, aku ikut naik kenderaan golf, dan lewat pintu khusus bebas antri.
Tiba di hotel transit, “kemudahan” lagi lagi datang. Karena aku dan rombongan nenek-nenek duluan keluar, maka duluan pula tiba di hotel. Demi melihat nenek-nenek, petugas hotel mempersilakan masuk kamar duluan, padahal mestinya pengisian entry form, sebagai bukti masuk kamar, harus diisi kepala rombongan secara bersama-sama. Alhamdulillah.

Tentu saja banyak lagi cerita lain, yang masing-masing jamaah memiliki versi sendiri. Mulai dari yang lucu, hingga ceritanya bisa dibagi kepada orang lain, sampai mungkin “memalukan” dan betul-betul merupakan balasan, hingga harus disimpan sendiri. Subhanallah.

Memang Allah telah melarang untuk berniat melakukan kezaliman dan kemusyrikan di tanah Haram. Tentu saja tanah Haram hanya dijadikan sebagai kawah candradimuka, supaya perbuatan jahat itu tidak dilakukan seumur hidup dan dimana saja. Bukan hanya saat berhaji dan saat di tanah Haram saja. Apalagi ada janji Allah akan melipatgandakan ganjaran perbutan baik, dan perbuatan buruk akan diganjar dengan dosa besar. Tapi tak berarti, rasa takut yang berlebihan akan dicoba ini dan itu, mengurungkan niat untuk segera melaksanakan ibadah haji. Percayalah, Allah akan menghormati tamu-tamu Nya.


Epilog

Kewajiban terbesar jamaah haji, dan umat Islam secara umum, adalah ber-amar ma’ruf dan ber-nahi mungkar. Dimanapun berada. Tentu saja bagi yang sudah berhaji, kesadaran untuk menjauhi perbuatan terlarang harus lebih besar. Ingatlah, bahwa engkau baru saja kembali dari tanah haram. Kawah candra dimuka tempat melatih diri berbilang minggu, untuk sabar, selalu dekat dengan Allah, dan selalu takut berbuat dosa.

Setalah berada di tanah air, peliharalah rasa “takut” untuk berbuat dosa menjadi ketakutan yang abadi, jagalah ritme ketaatan untuk selalu menyebut nama Allah menjadi ketaatan yang berkelanjutan, jadikan waktu sebagai waktu ihram seakan selalu dalam keadaan berihram, dan seakan masih berada di Tanah Haram. Amien ya Rabb Al Amien.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini