<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Monday, August 29, 2005

Mengenang Cak Nur di Lampu Merah




Nurcholis Madjid

Image hosted by Photobucket.com

NURCHOLIS MADJID, 1939-2005


Seteguk kopi dan sejumput kacang, tak kuasa mengusir kantuk dan bosanku. Sedari pagi, aku sudah ada di ruang besar milik UGM itu. Beberapa pembicara sudah selesai membahas perjalanan reformasi, tapi aku belum menemukan tokoh yang pas untuk wawancara panjang.

Hari itu, dan dua hari kemuka aku meliput seminar perjalanan reformasi yang diadakan UGM. Jakarta yang sudah mengirim orang dari pusat, meski ada koresponden di Jogja, merasa sah untuk menuntut banyak. Jadilah aku tak bisa kongkow di teras, menyesap kopi dengan nikmat. Sesaat sebelum sesi makan siang, tampillah Cak Nur. Mengenakan baju putih tanpa dasi dan jas, ia tampil santai. Jauh dari kesan retorik dan berapi-api. Tapi idiomnya bernas. Ingat, tokoh Paramadina inilah yang menggaungkan istilah misi, visi, dan gizi saat mengikuti Konvensi Partai Golkar menuju RI-1. Gizi adalah penghalusan istilah untuk uang saku.

"Selama bangsa ini tidak bisa mematuhi lampu merah, maka reformasi akan sia-sia", yang disambut tepuk tangan hadirin. Begitu turun dari panggung, aku sambangi Cak Nur, untuk wawancara panjang. Tapi karena beliau harus makan siang bersama Rektor UGM dan pembicara lain, ajudan menjanjikan sehabis makan siang dan shalat zuhur.

Cak Nur lalu bercerita tentang lampu merah itu. Pengalamannya bersekolah di luar negeri ia tumpahkan. Disana orang tetap berhenti di lampu merah, meski tak ada polisi. Tengah malam sekalipun. Tidak ada pengendara yang celingak celinguk mengecek keberadaan polisi, meski jalanan sangat-sangat sepi. Inilah makna kepatuhan. "Kalau bangsa ini sudah bisa patuh sama aturan kecil, maka pelan-pelan kita akan patuh pada aturan besar", terang Cak Nur, bernada optimis.

Dua tahun berlalu. Aku mendapat masa bepergian ke luar negeri. Pertama aku melihat pengendara berhenti di lampu merah jalanan kosong, aku teringat padamu, Cak Nur. Kepatuhan demi kepatuhan tampak jelas, menjadi sebuah alur kehidupan yang niscaya.

Dan pagi ini waktu Norwich, wajah Cak Nur itu membayang lebih jelas lagi. Tadi siang waktu Jakarta, Cak Nur menghadap yang kuasa. Ia wafat dalam usia 66 tahun. Cak Nur telah tiba di "lampu merah" keabadian sang Ilahi. Berhenti untuk selamanya. Tapi, semoga buah pikirmu akan terus bergemuruh. Bila bangsa ini telah patuh pada lampu merah, engkau akan kuberitahu, Cak. Selamat beristirahat.

Wednesday, August 24, 2005

Bus Kota Yang Kutunggu

Butir-butir air memukul kaca jendela bus. Lalu pecah menjadi aliran, mengaburkan pandang ke depan. Ada sedikit kemacetan di dekat lampu merah, bundaran dekat gereja Katedral. Kemacetan bukan karena hujan, tapi pembangunan zebra cross di depan mall Chapelfield yang akan dibuka November nanti.

Kemacetan kecil yang tak urung membuatku resah. Karena selama setahun tinggal disini, nyaris tidak pernah bersua kemacetan berarti. Dan kurang dari sebulan, kami akan kembali kepelukan Jakarta tercinta. Yang artinya berpelukan dengan kemacetan durjana itu. "Sekarang makin parah", adalah kabar yang aku terima setiap bertanya soal kemacetan.

Syukurlah, Jakarta juga berbenah soal mengatasi kemacetan ini. Ada perubahan trayek bis, supaya pengguna busway maksimal. Ada pula iming-iming tiket berhadiah buat pengguna KRL, agar bayar tiket resmi, dan yang pengguna moda lain beralih ke KA.

Sebuah usaha yang patut diacungi jempol, meskipun sangat kentara upaya ini tidak didasari frame work yang benar. Mestinya, PT KAI mengadakan survei, kenapa orang naik kereta. Aku setengah yakin, jawaban: "tak ada pilihan lain" menjadi jawaban favorit. Lihatlah wajah angkutan umum rakyat itu. Setiap hari berjejal, tak aman apalagi nyaman. Jawaban paling mudah atas tuntutan kenyamanan dan keamanan ini: "gitu aja tetap ramai kok".

Akhir Agustus nanti, Norwich, akan meresmikan terminal. Rupanya, Pemda Norwich sudah membaca akan ada peningkatan kemacetan. Sebelum ini mereka luncurkan 6 jalur Park and Ride, sistem angkutan bersinergi dengan parkir. Misalnya, kalau Park n Ride ini ada di Lebak Bulus, maka pengguna mobil dari Ciputat, Bintaro, dan Fatmawati memarkir kenderaan disana dan beralih ke bus yang membawanya masuk ke tengah kota. Mereka dirangsang dengan harga yang murah, sementara biaya parkir di tengah kota mencekik leher. Pemda Norwich mengklaim, sistem ini menahan masuknya seribu kenderaan setiap hari.

Pengguna angkutan umum juga dimanja dengan sistem pertiketan berjenjang. Membeli dalam jangka panjang semakin murah. Maka harga harian lebih mahal dari mingguan, bulanan, apalagi tahunan. Sampai disini, tampak paradigma berbeda antara disini dengan kebijakan Jakarta. Disini, pengguna bus lebih diuntungkan dibanding pengguna mobil pribadi. Mulai dari harga, sampai kemudahan menuju lokasi yang dituju. Bayangkan, kalau harus parkir jauh dari pusat kota, dengan biaya selangit, sementara bus berhenti di tengah kota.

Kalau saja penguasa kota bisa membuktikan naik angkutan umum dan kereta api lebih nyaman dan aman ketimbang naik mobil pribadi, maka tanpa iming-iming motor pun, warga akan berebutan. Semoga.

Saturday, August 20, 2005

Jalan Sudah Berujung

Rintik masih menitik, ketika arang mulai dipantik. Cuaca memang tak bersahabat di akhir pekan ini. Tapi, salah satu rekan kami di Norwich, Jonathan van Soe, NTT, akan pergi ke Eropa, dan langsung pulang ke tanah air akhir bulan. "Beta sonde bisa hari lain". Karena, the Soe must go on, maka acara harus berlangsung ditengah cuaca tidak bersahabat.

Sebetulnya ada pohon besar tempat berteduh di halaman. Tapi perjanjian dengan pihak kampus, bara api minimal 10 meter dari daun, semeter diatas rumput. Bahkan, kipas angin untuk menolong membesarkan api pun tak boleh digunakan, kecuali kabelnya water proof. Aduh, aturan tak selamanya mengenakkan.

Dengan ketabahan hati, mulailah "Daeng" Latief beraksi membakar sate kambing, kalkun, dan ayam. Di dalam ruangan juga sudah tersaji ikan bumbu kuning, bakwan, onde-onde, rendang. Tak lupa salad dan makaroni schotel. Bukan untuk tamu yang bule, tapi untuk menghargai lidah kami yang sudah setahun di Inggris. Karena kami yakin, para bule itu pasti memilih sate kambing yang eksotis kemerahan dan sedikit gosong, meski itu menambah kesengsaraan mereka karena kepedasan.

Acara berlangsung penuh kegembiraan dan tawa canda. Tapi nun jauh di lubuk hati, terbersit rasa sedih. Bukan tak cinta tanah air dan keluarga. Tapi kekeluargaan yang terbentuk disini juga terasa berat untuk ditinggal. Belum lagi suasana "desa ditengah kota" yang penuh keteraturan. Tiada kemacetan, tiada polusi.

Selain farewell party, suasana menjelang pulang juga kental di rumah. Kondisi kamar sudah tak lagi indah. Sebagian barang-barang mulai masuk kardus. Baik yang akan dibawa pulang lewat shipping, maupun yang akan dilungsurkan kepada pendatang baru.

Hari-hari kemuka masih harus diisi dengan kesibukan menutup rekening, memutus kontrak telepon, internet, mengurus tax refund. Juga mengambil masa mendatangi tempat yang belum sempat disambangi. Macam Skotlandia dan Irlandia Utara. Untuk meredam sedih, kucoba sebuah cara yang tak sepenuhnya mujarab: membayangkan pecel lele, pete, tahu, dan tempe.

Wednesday, August 17, 2005

O Merdeka.. O Indahnya


klik disini untuk gambar lebih besar,
dan dimari untuk gambar lainnya

O Merdunya....
Itu lagunya....
Lagu India....

Lengkingan lagu Terajana membahana dari panggung yang kosong. Sejenak muncullah perempuan berbalut gaun putih mengkilat. Denada Tambunan. Pengunjung yang tadinya melipir menghindari panas berbalik ke tengah lapangan. Merentang tangan, menggoyang kaki, atau sekedar memainkan jempol. Berjoged. Wisma Nusantara, tempat tinggal Dubes RI di East Finchley, London Utara pun tak ubahnya lapangan RT di Kukusan sana.


Dangdutan, melengkapi rasa endonesia perhelatan tujuhbelasan nun jauh di negeri orang ini. Sebelumnya ada makan siang berteman tempe bacem, urap, kerupuk. Juga balap bakiak, memasukkan paku ke dalam botol, dan tarik tambang. Tak di kampung tak di London, permainan jauh dari aroma kompetisi ini selalu mengundang teriakan dan tawa.

Roso itu semakin mantap dengan mencium bau kretek dimana-mana. Membual bergerombol sambil cekakakan. Benar kata pepatah, sejauh bangau terbang kembali ke pelimbahan juga. Maka pesta taman pun berganti rupa menjadi lesehan.

Semua ingin menjadi Indonesia. Anak-anak yang sebagian besar lahir dan tumbuh di negeri orang, menjadi Indonesia dengan bermain. Uniknya, tarik tambang dan permainan memasukkan paku dalam botol, diringi petunjuk dalam bahasa Inggris. Bahasa boleh cas cis cus, selera boleh Eropa, tapi alunan dangdut yang mendayu, menghentak sendi untuk bergoyang.

Iramanya melayu..
duhai indah sekali...

Merdeka..!!!

Tuesday, August 16, 2005

Semangat Dibalik Bantal

Si Petualang Asmara itu maju dengan segenap kesombongan. Ia beringsut di sebatang pohon pinang, yang melintangi kolam butek berwarna kehijauan. Sejurus ia menatap ke arah lawannya, dalam pertarungan gebug bantal. Perlahan mulai dari bagian perut yang diisi rusuk menonjol akibat kekurang-sejahteraan. Naik ke bagian dada berhias guratan merah akibat kerokan. Ditingkahi musik, fisik utuh sang lawan pun tergambar lengkap di layar: kakek tua kurus kerontang bertempel koyok. Ironis. Si Petualang Asmara, Sly --singkatan dari Rusli--, tak mampu melanjutkan pertarungan, dan memilih jalan kalah dengan menjatuhkan tubuh ke kolam.


Penonton bersorak. Sly sesenggukan. "Kamu bijaksana dengan mengalah," puji sang guru pelatih. "Untung kamu mengalah, kalau tidak bisa lewat itu aki", hibur teman seperjuangan. 


Gebuk bantal, permainan yang ramai dipertandingkan pada peringatan 17-an, menjadi benang merah film "Kwaliteit 2", besutan sutradara independen merangkap pemain, Denis Adishwara. Meski terlambat, akhirnya berkat Oom Yo yang mengirimi dari Paris, aku bisa memirsa film ini. Sebuah film jayus, garing, bin norak, tapi cukup membuatku tertawa nyaris selama 90 menit. 


Tapi ini norak-norak bergembira. Norak yang disadari sebagai tema. Bukan norak sekelas film atawa sinetron bertema wah, tapi penuh kejanggalan disana sini. (Seperti merayakan malam Valentine di bawah menara Eiffel, hanya mengenakan tank top, dalam "Eiffle, I'm in Love". Heiii, bukankah Eropa di bulan Februari sedang berbalut salju, kawan?).


Lewat gebug bantal, Kwaliteit 2 menanamkan nilai perjuangan, kesetiakawanan dan kerja keras. Semangat dan energi anak muda berlumur emosi rebutan kuasa dan cinta, disalurkan dalam bentuk positif, yaitu olahraga. Kekalahan yang dibuktikan dengan tercemplung ke air, justru menjadi bahan tertawaan, dan sumber sorak sorai keriaan.  


Besok, 17 Agustus, permainan ini akan berlangsung dimana2. Umumnya di atas kali berair kotor, sehingga si kalah semakin lengkap menderita. Andai filosopi ini meresap ke semua sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pastilah tak ada yang membakar kantor KPUD hanya karena kalah Pilkada. Tak ada pula yang mengkhianati perdamaian di Aceh sana, karena perdamaian bukanlah soal kalah menang.


Sayangnya, mayoritas peserta permainan ini adalah kaum tak bersuara. Kaum yang tak merdeka bahkan dari ketakutan tidak memperoleh sepiring nasi. Ah, semoga ini bukan retorika kosong belaka.

Monday, August 15, 2005

Bagimu Negri, Jiwa Raga Kami


Kulepas pandang ke laut lepas. Lalu kutiup potongan ikan yang berkepul panas. Berteman sambel pedas, makanan kebangsaan orang Inggris, fish and chips itu melintas juga di kerongkongan. Berbekal sebatang Dji Sam Soe yang membuat penghuni meja sebelah terbatuk, kutatap suasana pantai. Anak remaja yang berjalan riang sambil menjilat es krim, juga orang tua beriring anjing. Ramai. Padahal pantai Hunstanton ini --sejam dari Norwich-- bukan pantai yang layak kunjung, bila anda sudah terbiasa dengan Kuta, Pasir Putih, bahkan Ancol sekalipun. Kami kesini, membawa orang tua salah seorang teman, yang datang menjenguk putrinya.


Namun seruan, "Coba begini di Indonesia" tetap saja keluar dari mulut orang tua kami itu. Entah ini ucapan yang keberapa. Melihat jalan raya yang tak berlobang, kesantunan pengguna jalan, rambu dan batas kecepatan yang disesuaikan dengan kondisi daerah yang dilalui, hingga sistem parkir tanpa manusia (pay and display).


"Sistem kayak gini bisa gak sih Pap, ditiru di Indonesia," gugat sang istri kepada suaminya yang pernah menjadi anggota dewan.


Tentu saja bisa. Jumlah putra-putri Indonesia yang belajar di negeri orang tak kurang-kurang. Dari Inggris hingga Perancis, mulai Jerman sampai Teheran, Australia sampai Italia, juga negeri Matahari Terbit dan negeri Piramid. Ilmu yang dituntut pun beragam. Di Norwich saja, teman-teman mengambil bidang yang "aneh-aneh". Sebutlah, Lingkungan, Penanganan Bencana, Jender, Studi Pembangunan, dan Kebijakan Kesehatan Publik. Lihat pula keluarga besar multiply. Ada pakar kelautan, Resolusi Konflik, Pasukan Perdamaian, Perkapalan, Konflik dan Agama, Arsitektur Urban, Tatakota Negara Berkembang, Corporate Governance, dan Kebijakan Publik. Ada Doktor kajian sains, teknologi, dan masyarakat, yang buah pikirnya sering terbaca di media nasional. Juga ada yang mendunia, hingga masuk CNN


Kurang apa lagi. Tapi dengarlah balada bapak Doktor Dindin (bukan nama asli, tapi cerita asli)dari Paris ini. Ia lulus dengan predikat sungguh sangat memuaskan, dari kampus ternama. Kampus yang tau potensinya segera menawari menjadi pengajar, dengan posibilitas besar menjadi ketua jurusan, dan embel-embel sebagai penasehat Presiden Perancis bidang transportasi. Tentu saja dengan euro bergepok.


Dengan rasa nasionalisme membuncah di dada, selaksa asa di kepala, ia menolak. Memilih kembali ke pangkuan pertiwi. Berbekal tekad besar membangun Indonesia. Tahun berganti, kereta bawah tanah yang diidamkan mengatasi kemacetan Jakarta, tak kunjung terwujud. Yang tersisa hanya satu: dia masih setia dengan kijang butut, meski teman2nya yang kapabilitas jauh dibawahnya sudah bergonta ganti mobil. Sebuah idealisme.


Lain lagi pengalaman Nunung MSc (nama samaran, kejadian beneran). Kembali ke kantor lama, ia membawa cita-cita mengatasi kerusakan jalan akibat truk kelebihan tonase. Usulannya dicibir, karena berbau Eropa. Tak hilang akal, ia ajak sejawat dan atasannya studi banding ke Malaysia. Sesama negara berkembang, dan sesama puak Melayu pula, yang mempraktekkan sistem serupa. Hasilnya, sistem kir kenderaan otomatis, dan pemanfaatan jembatan timbang secara maksimal. Apa lacur, atasannya bilang, "terlalu banyak biaya sosial, jika sistem dimesinkan". Mesin memang, tidak bisa disogok.


Pertanyaan "Bisa gak sih begini di Indonesia", terus mengiang. Jawabnya ada pada benak kita masing-masing. Aku yakin, ibu pertiwi, yang pekan depan usia merdekanya sudah 60 tahun, suatu masa akan berubah. Kata si Cut Inong dari Atjeh, Pat ujeuen han pirang, pat prang tan reda. Tak ada hujan yang tak usai, tak ada perang yang tak berakhir. Merdeka..!!!

Sunday, August 14, 2005

Ingin Murah Sebut Car Boot

Matahari sudah sepenggalah, ketika kami tiba di lapangan luas itu. Setelah menaruh mobil di tempat parkir tanpa penjaga, kami berjalan menyusuri jalan tanah. Sesekali menutup rapat muka, menghindari debu bila ada mobil melintas. Puluhan, mungkin mencapai seratusan, mobil dengan bagasi terbuka berjejer rapi membentuk shaf. Sebagian menggunakan meja sebagai tambahan untuk menggelar dagangan.


Sudah lama aku berminat mendatangi pasar bernama Car Boot Sale ini. Karena tempatnya di luar kota, dan tidak dilayani jalur bus, maka harapan tinggal harapan. Hari ini kesempatan itu terwujud, karena Mas Dono, mantan Lurah PPI Norwich, yang sudah pindah ke Sandy, datang dan mengajak kesini. Sebelumnya aku pernah ke Car Boot dekat kampus UEA yang bisa dijangkau dengan sepeda. "Itu belum seberapa, ntar deh aku ajak ke yang lebih gede," begitu pak Lurah berpromosi.


Sebutan Car Boot bermula dari model berniaga dengan meletakkan dagangan di bagasi mobil. Ini ciri khas yang terus dipertahankan. Dan, yang terpenting, harga yang sungguh sangat murah. Mulai dari mainan anak-anak, baju, sepatu, buku, CD, tanaman, sepeda hingga mobil. Jangan silap, semuanya adalah bekas.

Meski ada ratusan pedagang, suasananya tenang. Tak ada teriakan mikropon kualitas rendah menjajakan dagangan. Tak ada "pemaksaan" atau pertanyaan ringan macam "yang mana pak", "ayo..ayo barang bagus". Si penjual duduk saja menghirup kopi, sampai kita yang bertanya. Mereka juga tertib membentuk jalur-jalur, sehingga pembeli yang berkorsi roda dan membawa dorongan bayi pun nyaman berbelanja.

Ketika hari semakin tinggi, di tangan sudah terjinjing 10 buku hardcover senilai 12 Pound. Salah satunya adalah buku tentang Mao, The Unknown Story, yang baru keluar dua bulan lalu dengan harga asli 25 Pound. Harga dan sistem berjualan di Car Boot ini memang unik. Dugaanku, mereka tak mencari untung. Tapi mencari kesibukan, dan menggunakan kesempatan ini untuk bersosialisasi belaka. "Bapakku gila baca, jadinya rumah kami penuh oleh buku. Saya jual saja sebagian", kata seorang pedagang yang aku soal mengapa menjual buku yang seharusnya dikoleksi ini.

Mengurangi isi rumah, itulah salah satu makna perniagaan ini. Karena rumah yang kecil, sedangkan model terus berganti, maka perlu ada pergantian stok. Ada juga karena, rumah yang harus dikosongin, karena rumah akan segera dilelang, atau penghuninya yang manula akan segera masuk panti jompo (nursing house).

Tak heran, mobil yang digunakan tergolong mewah. Ada jeep Landrover, Nissan Terrano, Mitshubishi Pajero. Karena tidak berniat mengambil untung, maka aroma persaingan pun nihil. Mungkin ini yang membedakan pasar ini dengan pasar kaget Minggu pagi di kampus UI Depok. Semua berusaha berdagang di pintu masuk, tak peduli disana sudah sesak bahkan sulit untuk berjalan. Atau empet2an itu juga merupakan seni saudagar jalanan?

Saturday, August 06, 2005

Eiffle, I'm Not on Top

Kami terbangun oleh suara alarm. Pagi sudah meninggi, padahal satu dari kami, Ratih, akan ke Jerman pagi ini. Kami terkapar kelelahan rupanya. Seharian kemarin berkeliling Champ Ellysees, Musee du Louvre, dan mengunjungi Chateau Versaille, istana Raja Louise XIV. Malamnya karena ingin melihat hari berganti di menara Eiffle, kami nyaris ketinggalan kereta terakhir. Dari Eiffle ke Saint Denis, perlu ganti Metro 3 kali. Artinya, kami deg-degan 3 kali, berkejaran juga 3 kali. Untung ini bukan di Inggris. Jika tidak, bisa2 gambar kami yang berlarian di kereta bawah tanah dengan ransel di punggung, diburu Scotland Yard. Syukur semuanya sesuai jadwal, meski tiba dengan kelelahan yang sangat. Merci, terima kasih waktu.

Sedianya, kami juga akan ke Jerman. Tapi beberapa teman di Paris bilang, Jerman kota yang kaku bila dibanding La France yang feminine. Namun bukan itu pertimbangan kami, sehingga batal ke Jerman. Soal rasa, pasti berbeda bagi setiap orang. Ini hanya soal waktu, sehari termasuk perjalanan, apa yang bisa kami peroleh. Belum lagi, Paris est une grande villa, sehingga masih banyak yang belum kami lihat.

Sebelum lanjut bertamasya, tiket pulang harus dimajukan beberapa jam. Beberapa jam harus dibuang untuk ini. Pelayanan yang lambat, terkadang sambil menelpon, juga antri yang tidak teratur. Dari kacamata orang Jakarta, Paris terlihat teratur. Tapi tidak, kalau dilihat dari kacamata sebagai warga Inggris. Biasanya orang Paris, akan menjawab, "C'est Paris!". Tak ubahnya orang Medan, yang bangga bilang: "Ini Medan, Bung!"

Kurang afdhol rasanya, bila tak menziarahi Napoleon Bonaparte di Musee de L'armee, dan kembali ke Eiffle. Menyaksikan ribuan manusia menyemut berebut naik ke menara. Aku sapu pandang berkeliling. Eiffle, Trocadero, Ecole Militaire berada dalam satu kompleks besar. Tanpa pagar. Dibanding Monas, pemerintah Perancis menghemat dana ratusan juta untuk membangun pagar.

Sebagai negara maju, Paris tentu saja akrab dengan pembangunan. Hebatnya, mereka tidak mau mengganggu kondisi kota tua. Bangunan modern, ditempatkan agak keluar, di La Defense. Namun, bangunan menjulang itu tetap diberi sentuhan artistik. Tak melulu tataan bata dan baja belaka.

Gerimis dan waktu menghentikan segala karsa. Kami harus pulang, meninggalkan Paris yang manis. Juga Oom Yo (d/h Suryo), guide cum fotografer cum pemilik B&B, dengan segala hospitality-nya. Aku merapal doa, agar kembali suatu saat. Paris, Au revoir!

Thursday, August 04, 2005

Melancong ke Tombeau de Napoleon

Le Samedi, penghujung Juilette 2005. Angin berhembus menghempas dingin pagi di Gallieni Station, Paris. Plang, pengumuman, semua berbahasa Perancis. Inilah wujud kepongahan anak cucu Napoleon, yang tak mau mengakui kelebihan anak cucu Lord Nelson. Beruntung kami dijemput teman, dosen Paramadina yang sekolah Geopolitique di "Unpad" (l'Universite Paris Delapan (8) d/h Universitas Sorbonne). Untuk menyesuaikan lidah, pagi ini kami menyantap croissant. Bienvenue en France.

Karena cuma berencana dua hari, maka Suryo, sang guide meminta kami bergerak cepat. Terlalu banyak yang harus dilihat di Paris. Mulai dari yang chic hingga mythique, yang artiste sampai populaire. Namun gaya boleh Paris, tapi perut tetap Indonesia. Di atas Metro, kereta bawah tanah perut mulai berdendang. Tujuan pun berubah: Place d'Italie. Disini ada kedai mie Vietnam, menjual mie yamin mirip rasa Indonesia. Sejenak ke Saint Michel, tempat rendez-vous ternama di kota Paris, menikmati "ngafe" di negeri moyangnya cafe.

Paris terlalu indah untuk dibiarkan berlalu. Tak sempat duduk lama, kami terus mengembara. Merenung sebentar di Pantheon, bangunan dengan facade model Roma, tempat kuburan para "syuhada" pemikir Perancis macam Voltaire, Rousseau, dan Marie Curie. Lalu melanglang ke taman Luxemburg yang bersisian dengan gedung Senat. Lanjut ke Notre Damme, make a wish di point de zero, dan menyesap creme glacee di atas jembatan yang mengangkangi sungai Seine.

Nun dibawah sana, pinggiran sungai disulap menjadi pantai. Pasir ditebarkan dimana, ditambahi dengan tumbuhan tropis, menandai pesta Paris Plage. Malam menjelang, kami beranjak ke Montmartre, daerah ketinggian tempat menatap kota Paris. Terlalu naif sebenarnya untuk membandingkannya dengan Dago Tea House di Bandung sana. Tapi tak apa. Setelah menyantap crepe, kami turun bersama dingin yang mulai menusuk. Menuju stasiun kereta, kami melintasi "kawasan malam" Moulin Rouge. Konon, ini menjadi tujuan wisata pembesar Jakarta yang bepergian tanpa istri. Masih banyak sudut yang harus dijejak besok. Saatnya berihat. A bientot.

Tuesday, August 02, 2005

Seribu Kanal Membelah Dam

Sepi menyelimuti Staanplaat Amstel, Amsterdam. Tak seperti terminal Pulogadung, yang diramaikan teriakan calo. Juga tak ada bau pesing penanda terminal atau tempat publik yang kenyamanannya di nomor-sekiankan. Setelah membersih diri sisa perjalanan semalaman dari London, kami bergegas ke spoor station yang bersisian dengan stallplaat. Tujuan pagi ini adalah centrum kota Amsterdam. Seorang nenek yang aku bagi tempat duduk mengajakku bicara. Melihatku bingung, seorang lelaki paruh baya menyambung dengan bahasa Indonesia logat aneh: "Ia bilang, ramai sekali". Godverdomme, tampang melayu memang mudah ditemui disini.

Keluar di centraal station, pandanganku menyapu hotel Batavia. Entah ini sekedar mengenang tanah jajahan, atau untuk "penghargaan" tenaga yang diperas untuk rodi dan kultur stelsel abad silam nan kelam. Aku susuri jalan raya Damrak Straat, yang sedang marak menggelar korting summer. Disini menyeberang harus penuh kehati-hatian. Sebab jalan ini meladeni tiga moda kenderaan, mobil, trem, dan sepeda. Kami hanyut bersama arus orang yang bermuara di Koninklijk Paleis. Di depan balikota ini, beberapa orang memajang diri dengan kostum serdadu jaman baheula atau none Belande, dan meminta duit sebelum dipotret.

Lelah berkeliling, lapar pun mulai mengganggu. Kata kunci yang diberikan Lely untuk makan enak, adalah "Zeedijk" dan "New King". Bau masakan dengan bumbu menyengat segera menyergap. Ada bakso, nasi goreng warna kehitaman --mungkin digoreng diatas belanga hitam legam khas restoran Cina--, dan ikan goreng dengan bumbu mlekoh. Zeedijk Straat juga menyediakan tontonan menarik dalam etalase, khas kawasan merah.

Ketika rintik hujan menyentuh bumi, kami putuskan untuk menyusuri sungai naik kanaal bus. Amsterdam memang dikenal sebagai negeri seratus kanal. Rakit bermesin itu pun meluncur menyuruk jembatan, yang jumlahnya di seluruh kota hampir seribu. Panjang seluruh kanal buatan sejak abad XVII ini, mencapai 100 kilometer, dibangun untuk mengatasi banjir, karena permukaan tanah berada dibawah permukaan laut.

Sehabis berlayar, sedianya kami akan ke Vondelpark, taman seluas 48 hektar yang menjadi paru-paru kota, yang mengingatkan pada Kebun Raya di Buitenzorg sana. Karena sudah lelah, kami putuskan tidak pergi, tapi duduk menyesap thee dan koffie di cafe pinggir jalan, sambil menatap none-none yang ngebut bersepeda ontel disisi trem. Aku berdoa, semoga tidak bertemu anggota dewan yang sedang studi banding kesini. Sebab aku takut rasa hormatku kepada wakil rakyat itu memudar. Karena menurut hematku, yang harus dikirim studi banding itu adalah pegawai kereta api (mempelajari sistem trem), penata kota (belajar menyediakan lalulintas yang ramah buat pejalan kaki (voet) dan sepeda (fiets)), serta pegawai PU, untuk belajar mengatasi banjir.

Malam pun turun. Kami bergegas kembali ke Amstal, mengejar bus menuju Paris. Tot ziens, Amsterdam.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini