<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Saturday, April 30, 2005

Di Halte itu Kutunggu

Berlari kecil, aku bernyanyi: Ku berlari mengejar bis kota/ berlomba-lomba saling berebutan/ untuk dapat tempat yang nyaman....//. Aku memang sedang berlari mengejar bis, bukan untuk berebutan, bukan pula untuk sebuah tempat duduk yang nyaman. Tapi mengejar waktu. Ya, waktu. Disini, jadwal kedatangan bis di halte teratur. Dan itu artinya, ekspektasi tiba di tempat tujuan juga teratur. Ada sih melesetnya. Tapi biasanya, deviasinya kurang dari lima menit. Makanya, pemandangan orang berlari menuju halte, searah maupun berlawanan dengan arah bus, adalah pemandangan lazim. Kadang geli melihatnya. Sekaligus mengagumkan

Mengapa harus lari?. Itu pertanyaan awal dulu. Tokh bisa stop aja dimana suka. Bukannya sopir itu butuh kita. Seperti semboyan yang banyak tercantum dalam stiker: "Anda perlu waktu, kami perlu uang". Ternyata o ternyata, kita butuh waktu, sopir tak butuh uang. Sebab ia digaji flat, ada tiada penumpang. Jadi, sopir bis hanya memburu waktu tiba di halte sesuai menit dalam daftar yang ia pegang. Waktu menjadi panglima tertinggi, yang menjadi patokan bersama.

Melihat ini sambil mengenang, halte di Jakarta ternyata potret buram bagaimana sebuah sistem dibangun dan dijalankan. Bagaimana pun, disini pembangunan halte bukan proyek semata. Melainkan dibangun berdasarkan survey, agar bermanfaat maksimal, dan tidak menimbulkan kemacetan. Makanya ada halte yang jaraknya dengan halte lain jauh, ada pula yang berdekatan. Ada yang dibangun di bagian jalan yang dibuat ceruk, ada pula yang di pinggir jalan saja. Berbeda, berdasarkan kebutuhan lokasi.

Nah, itu untuk pembangunan infarstruktur. Bagaimana dengan penggunaan. Pemandangan di halte menunjukkan budaya berkelas tinggi. Penumpang menunggu, antri, bebas coretan, bebas pedagang, dan bus berhenti persis. Inilah gambaran kesadaran berkesinambungan. Penumpang tak menunggu diluar halte, sebab itu melanggar aturan dan bus tak akan berhenti. Bus tidak akan mengangkut penumpang diluar halte, sebab melanggar aturan, dan takut ditangkap. Polisi, tidak akan menggunakan aturan ini untuk pat gulipat dan pritt jigo, sebab itu melanggar sumpah jabatan, dan kinerjanya diawasi oleh warga yang menggajinya lewat bayaran pajak. Elok. Sementara, di Jakarta, aku pernah diusir sama PKL yang menjadikan halte sebagai kios, karena dianggap menghalangi dagangannya dari pandangan calon pembeli. Duh!

Suatu masa, aku berbincang dengan Cak Nur. Cerdik cendekia itu bilang, bangsa ini susah untuk maju, selama belum mematuhi hal-hal kecil, seperti lampu merah. Aku juga terkenang Paman Deng Xiao Ping. Katanya, "Dengan sistem, orang paling jahat pun tak akan berbuat jahat. Tapi tanpa sistem, orang baik bisa berbuat tidak baik, bahkan menjadi jahat." Maka dengan membangun sistem yang tepat, dan hukum bukan lagi macan kertas, mungkin orang berpikir ulang untuk berbuat sesuatu yang melenceng.

Sebagai rahayat, sahaya hanya bisa bertutur hal yang tiada berat. Hanya tentang halte. Namun, keteraturan halte akan mengeliminasi kemacetan. Dan, sahaya percaya, keteraturan sistem secara keseluruhan, akan memberantas kemacetan lain, termasuk kredit macet. Semoga.

Monday, April 25, 2005

Spring Perut Mlending

Gloucester Street, Norwich, Apr 2005Kupandang petang yang merembang. Di jalanan dua sejoli tertawa riang. Mengenakan baju terbuka motif kembang, sendal, dan tak lupa kacamata dan rok yang mengembang. Ada pula remaja bermain papan luncur lengkap dengan celana gombrang. Membuat rambutnya yang panjang tergerai terbang. Petang yang elok. Tapi kenapa perutku sudah menjerit keroncongan? Oho.. hari boleh masih petang, tapi jam sudah menunjuk 7.30 pm. Inilah spring, musim dimana siang semakin panjang.

Siang yang semakin panjang ini membuat ritme kehidupan berubah total. Apalagi, kalau matahari bersinar terik. Warga Norwich yang jarang kena matahari itu pun seolah sedang menerima berkah besar. Keluar rumah. Membiarkan badan dijilati sinar ultra violet. Untuk itu, pakaian pun harus terbuka, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepatu boot menghilang, digantikan sendal. Jaket tebal nyungsep bermetamorfosa dengan tank top dan rok mini. Taman dibongkar. Pokoknya apa saja dilakukan asal kena matahari.

Gloucester Street, Norwich, Apr 2005Kami pun tak mau kalah. Bukan karena rindu matahari. Ku raih sepeda, memaksakan bercelana pendek meski kedinginan, dan mengayuh berkeliling. Selain menikmati "pemandangan" sedap di mata, juga untuk membakar sedikit kalori. Bukan apa-apa. Karena adagium kuno, makan malam ya harus malam. Maka dinner pun selalu di atas pukul 8. Akibatnya tak ada waktu untuk membakar kalori itu sebelum tertidur. Akibatnya lagi, perut pun semakin mlending

Bagi yang tau bagaimana six-pack back-packnya perutku selama ini, akan bilang: "alah..spring pulak yang kau jadikan alasan".

Tapi pengetahuan sejarahku kurang untuk menjelaskan, apakah bangsa Inggris punya korelasi sejarah, antara musim yang berubah ini dengan pembangunan sistem. Misalnya, pada musim dingin tak mungkin bertanam. Otomatis mereka harus punya simpanan makanan. Dus, mereka juga harus punya persediaan batubara dan makanan berkalori tinggi untuk penghangat badan. Sayang, kita hanya punya satu musim abadi yang tiada henti berputik dan tak usai dipanen: musim korupsi dimana-mana.

Tuesday, April 19, 2005

Bukan Pejabat Kampungan

Aku baru saja menyelesaikan tugas membersihkan pojok lobby, saat mata tertumbuk pada dua sosok yang sedang mengobrol. Aku merasa familiar dengan wajah keduanya. Setelah scanning dan tuning ingatan sejenak, aha..!, yang satu Charles Clarke, dan lainnya Ian Gibson. Clarke sering nongol di tipi dan koran. Sebab ia adalah Menteri Dalam Negeri dan petinggi Partai Buruh. Gibson, sebulan lalu, datang ke rumah sakit ini, mengikuti rapat karyawan yang menuntut kenaikan gaji. Mereka adalah Member of Parliament (MP) Inggris, daerah pemilihan Norwich. Istilahnya mereka sedang pulang kampung menengok rumah sakit. Apalagi, masalah kesehatan (NHS) merupakan soal sensitif yang menjadi tema kampanye saat ini.

Tapi sungguh keduanya bukan pejabat kampungan yang harus disambut. Tak ada keriuhan berarti, meski sedang ada tamu "besar". Berdua mereka ngobrol seperti keluarga pasien belaka. Tak ada pejabat rumah sakit yang mendampingi. Aku penasaran. Aku ikuti apa saja yang mereka lakukan. Di pojok, ada seseorang yang menurut naluriku, pengawal tertutup. Lalu, ajudan mendekat. Agaknya memberi tahu mobil sudah ready. Mobilnya Clarke, Mendagri itu, jenis MVP merk Ford. Mereka, Clarke, ajudan, dan sopir pun pergi, tanpa vorijders dan sirene memekakkan telinga. Akan halnya Gibson, karena hanya MP bukan Menteri, ngeloyor tanpa ajudan. Mungkin ia nyetir sendiri, karena gaji sopir amatlah besar disini. Waktu datang menghadiri rapat karyawan sebulan lalu, ia juga datang tanpa disambut. Malah disuguhinya cuma minum air putih, dengan menuang sendiri dari botol ke gelas plastik.

Betul-betul negara "tak beradat". Bayangkan kalau ini di Indonesia. Paling tidak sang menteri membawa kepala biro humas, kepala dinas kesehatan (karena ini kunjungan ke rumah sakit), bupati lokasi rumah sakit berada, kapolres, dandim, dua polisi bermotor gede, satu truk polisi, dan puluhan ajudan bersafari. Rumah sakit akan menyeleksi perawat yang kinclong (atau bila tidak tersedia, menyewa artis lokal), serta tak lupa mendirikan tenda, memesan katering, dan musik kibod. Wong pejabat, je. Masak tak disambut. Dimana kesopanan dan kesantunan itu.

Berapa besar negara ini menghemat biaya dan waktu, dengan menghilangkan tradisi sambut menyambut ini. Aku masih berdiri menerawang dari balik dinding kaca yang lebar, saat bahuku dicolek. Supervisor memintaku mengelap meja resepsionis. Duh, jam istirahat masih lama.

Friday, April 15, 2005

Kampanye Garing Jalan Downing

Tepuk tangan membahana di ruang House of Common, London. Keriuhan ini mengantar Tony Blair duduk, sehabis mendebat pemimpin Conservative, Michael Howard. Anggota dewan dari partai Buruh pun, ikut berdiri sambil berteriak hear..hear. Ini kata lain dari setuju, yang sempat menjadi koor di DPR Senayan. Belum sempurna Blair duduk, Howard sudah berdiri dan mengeluarkan lemparan. Begitu seterusnya. Tak pernah sekalipun aku lihat Blair menoleh ke belakang, untuk meminta bantuan jawaban dari deputinya, menteri, juga anggota dewan dari Partai Buruh (Labour).

Ini adalah debat rutin reboan, antara pemerintah dan oposisi. Tapi karena kini sudah masuk pekan kampanye, maka debat itu pun seolah debat calon PM, antara kandidat Buruh dan Tory, sebelum pemilu 5 Mei mendatang. Aku menonton debat itu di BBC. Kemeriahan kampanye memang hanya di media. Tak ada spanduk, rapat akbar, juga konvoi motor dan truk terbuka. Satu dua rumah di dekat kami tinggal ada memasang plakat kecil di halaman atau jendela. Selebihnya menggunakan media.

Maka televisi dan koran pun heboh. Televisi macam BBC dan ITV pun menyisakan jam siar dalam segmen khusus pemilu. BBC memanfaatkan bus tingkat yang disulap menjadi studio mini mobil, lengkap dengan Satellite News Gathering, yang memungkinkan mereka live dari mana suka. Bahkan koran kuning The SUN, yang moncer karena gambar perempuan topless di halaman tiga, tak kalah seronok. Namanya koran "jorok", maka idiom pemilu pun diplesetkan sesuai genre mereka. Tiga gadis SUN, disebut Sunderbird, berpose mengenakan underwear sesuai warna tiga partai besar. Merah untuk labour, biru untuk Tory, dan oranye untuk Liberal. Mereka juga mengusung manifesto mani-breast-o.

Tema kampanye pun tak seru. Bebas SPP, tunjangan rumah sakit, lapangan kerja, pengurangan kriminal, pajak, uang pensiun, juga jatah makan siang di sekolah. Tak ada misalnya: "Kami akan menghukum mati koruptor". Atau, "Kami akan meningkatkan taraf hidup masyarakat, menuju Indonesia yang baldtahun thayyibatul wa rabbul ghafur". Juga "Peningkatan peran serta ekonomi lemah, dalam kancah perekonomian global" [Iki opo, rek]...

Tapi jangan main-main dengan isu kampanye yang kedengaran sederhana tadi. Suatu kali Blair berdialog langsung di TV soal dana kesehatan NHS. Ketika masalah gaji pegawai rumah sakit, Blair menolak menaikkan dengan berbagai alasan ekonomi. Lalu seorang suster yang menjadi pendengar, bertanya pada Blair. Katanya, "Tuan Prime Minister, maukah anda mencuci pantat nenek dengan gaji serendah yang kami terima?". Blair tak kuasa menjawab. Beberapa hari kemudian, polling membuktikan, popularitas Blair turun beberapa persen.

Ada untungnya mengangkat isu sederhana pada kampanye. Rakyat, lawan politik, pengamat, akan mudah untuk menilai keberhasilannya. Maka dalam kampanyenya, Tory selalu mendengungkan angka-angka statistik untuk menghantam pemerintahan Blair. Semua karena sederhana dan menukiknya isu. Coba, gimana mau menilai keberhasilan taraf hidup yang baldtahun thayyibatul wa rabbul ghafur. Bikin janji aja kok repot.

Monday, April 11, 2005

Mulutmu Harimaumu

Aku memandangi Mario, yang tertunduk lesu. Tak ada canda, tiada tawa. Isapan rokoknya pun sekenanya. Pagi tadi dia datang, lalu diminta tidak bekerja. Ini semua berawal saat makan siang Jumat kemarin. Anak Portugal itu disalahkan, karena menyerang secara verbal pekerja lain. Saat makan siang itu, Mario yang bahasa Inggrisnya tak lancar, tapi suka bercanda bilang pada pekerja lain, Susan: "Kalo kamu makan ikan kebanyakan, kamu akan makin gendut". Susan diam saja. Tapi rupanya perempuan bertubuh subur itu, memendam amarah, lalu melapor kepada manejer. Tak tanggung-tanggung. Ia bilang ia, merasa diserang, nervous, tidak nyaman atas perkataan Mario.


Tamatlah Mario. Negeri ini sangat menjunjung hak pribadi. Ada hukum Anti Racist, dan Zero Tolerance yang melekat pada setiap orang. Terutama pelayan publik. Pertama kali datang dulu, di belakang petugas imigrasi di bandara Heathrow, terpampang tulisan besar: Orang ini bekerja melayani anda. Bila ia merasa diserang, baik fisik maupun verbal, kami akan mengusir anda. Begitu pula di bis, kantor balaikota, dan rumah sakit ini. Konon, ada pasien yang dipindahkan hanya karena ia menolak dilayani dokter berkebangsaan Arab. Mungkin ia pendukung Bush dan Blair. Barangkali.

Aku ingat waktu remaja dulu. Ada game, bila satu diantara kita yang terlibat permainan, melihat lebih dulu orang bunting, keling, dan botak, kita boleh memukul lawan main. Lingkungan dan budaya kita longgar dalam hal ini. Di layar tipi, banyak orang menuai untung hanya karena "kelebihan". Misalnya artis yang sangat gendut, Boneng yang giginya "lebih" maju, atau Ucok Baba, yang "lebih" kecil dari orang seumurnya. Kita juga punya kebiasaan memanggil orang sesuai "kelebihannya". Ada Udin Gendut, Man Jangkung, Iwan Botak, Mamat Cebol.

Memang, kalau dipikir, tak baik mengejek orang lain. Tapi apakah harus seserius Mario-gate. Padahal, si Mario itu, tak kalah gendut dibanding Susan. Ompong pula. Apalah salahnya, bila Susan membalas: Eh, ngaca lu sono. Lain lubuk lain ikannya. Hak pribadi begitu dijunjung. Aku terkadang heran. Ngejek gak boleh, suit suit melanggar hukum. Tapi berciuman di depan umum bebas. Pakai pakaian yang terbuka, mangga wae. Berkaca pada kasus Mario, ini pelajaran penting. Seperti patua datuak: Dimano bumi dipijak, disitu langit dijunjuang.

Saturday, April 09, 2005

Right or Wrong, It's My Canary

Warna hijau kuning menghiasi pusat kota Norwich, malam ini. Hawa dingin menusuk tulang, tak menjadi kendala supporter Norwich City bersukasita. Warga kota Norwich wajar bergembira. Tim kebanggaan mereka menang 2-0 atas si Setan Merah, Manchester United. Ini kali pertama dalam 7 bulan terakhir, NCFC tidak kebobolan. Aku yakin, kemenangan ini akan menjadi buah bibir dalam waktu lama. Lawan MU, je


Ada satu hal yang membuatku kagum pada suporter disini. Dalam musim yang segera berakhir ini, The Canary baru 4 kali menang, dari 32 pertandingan. Posisinya pun buncit dari 20 klub. Tapi, penonton tak pernah sepi. Malahan hari ini, penonton mencapai puncak dalam 15 tahun terakhir, 26 ribu orang. Padahal, NCFC diambang degradasi, melawan klub kuat pula. Harapan apa lagi? Tapi kok ya tetap rame. Energi ini barangkali yang membuat NCFC tetap punya jamu kuat untuk tetap berjuang penuh.

Suatu kali, housemate kami, yang suka membaca kabar dari Indonesia di internet, menanyakan soal polah publik yang merusak Senayan pasca kekalahan atas Singapura di Piala Tiger. Kepalang dia tahu, aku bilang saja, andainya Norwich ini di Indonesia, stadion itu sudah rata dengan tanah. Bayangkan, tim tak pernah menang, setiap habis pertandingan suporter membakar bangku, merusak taman, melempari toko, merusak bus. Pastilah setiap pertandingan, City Council mengeluarkan biaya besar untuk mengerahkan ribuan polisi. Sebab, stadion di Carrow Road itu bersebelahan dengan stasiun kereta dan dua toko besar, Morrisons dan Woolworth. (Baca: Bola Berdarah, kiriman loper koran)

Disini, satu-satunya "kekacauan" kalau ada pertandingan, jadwal bus menjadi molor. Karena pasti ada kemacetan di seputar stadion. Selebihnya ayem. Memang begitulah seharusnya. Apapun yang kita miliki harus kita banggakan. Mau teriak ah, HIDUP PSMS...!!!!

Thursday, April 07, 2005

Kotak Pandora Bernama Bencana

Bak godam raksasa, gempa itu menggada pulau Nias nan naas. Bangunan kukuh, rubuh. Jalanan gagah, pecah. Tower listrik menjulang, tumbang. Kabel listrik panjang merantai, terjuntai. Pulau Nias pun menggulita seketika. Warganya, gulana selamanya. Kita terpana, bencana itu mengapa datang berbondong. Menyeruak relung jiwa, bahwa manusia itu kecil dan papa di mata Nya.


Belum 100 hari bencana Aceh yang melantak kota menjadi tak berupa. Kini drama serupa seperti terputar ke mula. Jerit kematian, pengungsi kelaparan, eksodus tak berkesudahan. Dan satu lagi, kedatangan pasukan asing bak rahmat bagi warga. Singapura datang membawa Chinook, capung besi yang lincah kian kemari. Mengangkut makanan ke pedalaman. Mengevakuasi korban ke daerah aman. Juga menjadi hiburan bagi anak-anak yang didera ketakutan. Singapura juga membawa detektor sonar yang bisa menyigi denyut jantung nun dibalik reruntuhan. Hasilnya, seorang warga yang sudah "terkubur" 5 hari, terselamatkan. Sorai membahana, menyanjung sang tetangga.


Kemana kita? Pejabat dan pengamat yang dikuasai syahwat kuasa, tiada bermuka. "Ini menunjukkan bencana itu adalah universal, global, tidak mengenal sekat kebangsaan. Jadi wajar mereka memberi bantuan sesama tetangga", begitu kira-kira manisnya kata menutupi buruk rupa. Padahal, senyatanya kita sedang mengemis. Sedang membuka borok, bahwa kita tak punya apa-apa. Pertahanan kita rapuh. Hanya punya helikopter tua dengan mesin merk "Kanibal". Sebuah LSM dari Jerman mengirim bantuan dengan menyewa kapal dari Teluk Sibolga. Apa lacur, di tengah samudera mesin mati. Mau minta bantuan, radio juga mati. Padahal, di sungai Thames, London, kapal wisata saja dilengkapi radio canggih, pelampung dan ban bergantungan. Lengkap dengan guard pula.

Kita, mana pernah peduli dengan faktor keselamatan. Banyak cara untuk selamat di saat darurat. Tengoklah, awal kapal itu membuang 3 dari 6 ton bahan makanan untuk korban yang kelaparan. Sebuah ironi. Duhai, ironi apalagi gerangan ini. Disaat bencana mengepung, rakyat menjerit akibat kenaikan BBM, duta besar RI di PBB dibelikan villa mewah di Jenewa seharga 8.1 juta dollar (kl 73 Milyar rupiah). Lalu pejabat Dephan yang berwenang mengatur pesawat dan kapal tentara, justru heboh dengan pengadaan mobil dinas senilai 10 milyar.


Mengapa kita? Arkian, kata Nabi, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi lebih mulia dari pada menerima. Namun, mengemis, kerjasama bilateral, kesadaran global, adalah pilihan kata yang bisa dihiaskan di media massa. Mestinya, ingat pepatah tua:

tingginya Chinook terbang dapat diukur,
dalamnya teluk Nias dapat diduga
dalam hati pasukan asing, siapa tau.

Friday, April 01, 2005

Menggodok Mogok

Kenapa aku berasa lelah ya? Pegal dan linu persendian dan kempol-kempolku sudah mulai Selasa lalu. Paginya, entah aku telat atau bisnya yang mangkir, aku terdampar di halte York Street 40 menit. Jam 6.35 hingga 7.15 pagi. Hanya bermodal jaket tipis, di udara 8 derajat. Sinusitis itu pun beraksi. Maka, seharian aku bersin dan hidung meler. Seninnya, karena easter monday merupakan bank holiday, bis mulai pukul 9. Aku pun terpaksa ber kring-kring goes goes (a.k.a naik sepeda). Coba ini di Depok. Pasti udah minta pijit sama Engkong atau Mbak Mur.

Nah, selasa itu aku sudah berpikir untuk pulang. Tapi, karena berharap Rabu dan Kamis ada mogok kerja, aku bertahan. Apalagi pukul 12 ada rapat union. Eh, gak taunya, mogok ditunda, saudara-saudara. Rapat pun berlangsung panas. Aku merasa, pimpinan union dan strike committe terbeli. Aku gak tau, ini naluri jurnalistik atau alam bawah sadar yang terbentuk karena kehidupan panjang di negeri yang penuh misteri sogok menyuap.


Sebetulnya, peduli setan dengan mogok dan naik gaji itu. 4,85 Pound (kl. Rp 75 ribu) per jam, itu jumlah yang sangat-sangat besar buatku. Jangankan dibanding dengan UMR di Indonesia, dengan gajiku saja yang berposisi semi manager (ck..ck..ck..manager cing!), jumlah itu masih jauuuhhh. Kenaikan ini hanya penting bagi pekerja dari Norwich. Karena mereka akan selamanya bekerja disini, dan tau betapa jumlah ini kecil dibanding pekerja kelas lain.


Makanya, aku jadi sedikit dari pekerja dari negara non Inggris yang ikut aksi ini. Bukan sok-sokan. Aku mau belajar. Melihat dan merasakan. Seperti rapat hari ini. Aku yakin banyak pikiran serupa sepertiku pada kepala orang-orang ini: union terbeli. Sebab paginya, ada rapat antara perusahaan dengan Union. Lalu, kenapa orang-orang Union yang biasanya provokatif, kini menjadi corong perusahaan. Hebatnya, tak ada itu yang lompat meja, nyerocos tanpa dipersilakan, apalagi lempar kursi.


Aksi ini juga mengikuti aturan hukum yang jelas. Negosiasi panjang, demo, jajak pendapat menentukan mogok atau tidak, dan progres mogok. Tiga minggu setelah hasil jajak pendapat diserahkan, baru mogok boleh dimulai. Hanya 2 hari dalam sepekan. Minggu depannya, 3 hari, 4 hari, dan 5 hari. Semuanya tertata. Dan dijamin, anggota Union tidak mendapat masalah karena kesertaannya.



"Di negaramu gak kayak gini ya", kata seorang bapak.

"Eitss... tunggu dulu. Silap anda. Kebebasan berserikat dan berkumpul di negara saya diatur dalam konstitusi. Pasal 28. Terkenal itu"


"Tapi kok demo sering ada bentrok dengan polisi" (eh, ngejar doi)


"Oo.. itu beda. Itu dinamika bos. Saking semangatnya kami menyalurkan aspirasi. Kalau kami demo kreatif. Gak kayak kalian. Kering dan membosankan"


Ada lagi yang mengaitkan dengan agama. "Negaramu kan the biggest Moslem country. Gak boleh demo dong ya". Apa hubungannya pak. Aturan di negara kami itu tak kalah dengan aturan di negara kalian. Bedanya, pada pelaksanaan doang.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini