<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Thursday, July 28, 2005

Menatap Tanah Air dari Tanah Blair

Kami melewati kota kecil nan lengang itu dengan kecepatan sedang. Hanya beberapa orang terlihat menapaki trotoar, atau duduk di taman. Selebihnya kesenyapan. Tony, warga Inggris yang mengawini orang Indonesia, menyetir sambil melahap sandwich isi udang. Sejenak kami lampaui plang penunjuk "town center". Aku tanya Tony, "Apa sih bedanya town dengan city".

Ia menjawab dengan sebat, sambil menyeka bekas mayonaise di ujung bibirnya. "City punya church dan cathedral, town cuma punya church". Entah ini jawaban pelajaran sekolahan, atau hanya sekedar pendasaran pada apa yang selama ini ia lihat. Meski dalam sejarah, gereja dan katedral sebagai institusi keagamaan yang menjadi perpanjangan tangan raja, pernah ditutup oleh Oliver Cromwell, Lord Protector yang menginginkan Inggris Raya berbentuk republik.

Lupakan sejarah. Tapi andai ini benar, infrastruktur kota di Inggris itu sudah selesai pada abad ke-12. Era itulah sejumlah gereja besar dan kathedral berdiri. Satu hal yang mengagumkan, selama ratusan tahun mereka bisa mempertahankan bentuk dan luas kota. Jarak antar kota dipisahkan oleh hutan, daerah pertanian, rawa-rawa yang seolah tak tersentuh oleh pembangunan.

Ini tentu berbeda dengan di Indonesia. Keberhasilan dinilai, karena Jakarta telah tersambung dengan kota penyangga, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Demikian juga dengan Bandung-Cimahi, Medan-Tanjungmorawa, atau Makasar-Maros. Padahal tata kota macam itu juga ada di Indonesia. Kotamadya ada mesjid Agung, dan semakin ke ke desa mesjidnya semakin mengecil.

Persoalannya ada pada sistem pembangunan jalan. Seluruh kota disini, jalannya dibangun seperti di kompleks perumahan. Pendek2 tapi banyak, membentuk grid, kotak-kotak. Mereka-mereka yang ngotot harus di pinggir jalan, semuanya kebagian. Akibatnya kota menjadi melebar. Tidak memanjang mengikuti garis jalan raya penghubung antarkota. Kota pun menumpuk pada satu bagian tertentu saja.

Andai ini dipraktekkan di Jakarta, maka daerah Kukusan, di belakang kampus UI, tidak lagi menjadi kawasan terbelakang. Dan itu berarti, keputusanku untuk membeli tanah disana, menjadi benar adanya. Seolah aku seorang perencana ulung yang berpikir futuristik, menatap jauh ke depan. Padahal dulu, pembelian itu hanya didasarkan satu hal: uangnya cuma cukup beli di kampung sana.

Tuesday, July 26, 2005

Smile, You're in Camera


Bom London, 21 Juli 2005


"Blo**y H**l...", terikan itu menggema di ruang tamu kami pagi itu. Housemate kami, seorang Afrika, lalu membanting surat yang membuatnya kesal. Surat dari Polisi di East London, berisi tilang pelanggaran batas kecepatan. Isinya lengkap, mulai tanggal kejadian (lengkap dengan jam dan menit), lokasi, jenis mobil, serta kecepatan mobil. Ia memang ke pinggiran kota London beberapa hari sebelumnya, dan mengaku ngebut.


"Apa saat itu ada polisi," tanyaku lugu.
"No..no..It's from CCTV"


Ya, CCTV (Closed Circuit TeleVision) memang barang ajaib ang banyak membantu polisi di Inggris. Termasuk pengungkapan pelaku bom London. Wajah "pelaku" tertangkap kamera di beberapa tempat. Saking banyaknya alat ini di Inggris, dipercaya kota-kotanya memiliki CCTV paling banyak di dunia. Mulai dari yang disediakan pemerintah, hingga yang dipasang sendiri oleh pemilik toko dan rumah. Jadi, kalau jalan-jalan keliling London dalam sehari, siap-siap saja terekam 300 kali.

Mulai dari tiba di stasiun atau terminal, naik bus atau tube, melintasi kota, masuk museum, semua terekam. Begitu naik bis sudah ada aba-aba, "4 dari 5 bus dilengkapi CCTV". Jadi jangan coba-coba mencet bel sembarangan, mencoret, apalagi ngamen sambil mengancam.


Mengingat dahsyatnya CCTV, terpikir untuk memasangnya nanti di Depok sepulang dari sini. Supaya kami tidak perlu lagi terpenjara oleh jeruji. Waktu usul aku sampaikan kepada istri, ia cuma senyum.


"Pertama, yang mau diawasi di rumah itu hingga pakai CCTV segala, apa?"
"Kedua, setelah image orang yang mau berbuat jahat itu terekam, mau diadukan kemana"
"Ya polisi dong, biar mereka cari data ke kelurahan"
"Emang semua orang punya KTP apa"
"Harus itu, warga negara yang baik, je"
"Yang ngomong, emang punya KTP"

He..he.., aku baru ingat. Sejak tinggal tahun 96 di Depok, aku tak punya KTP Depok. KTP yang aku miliki keluaran Kelurahan Cawang, diurusin mertua sebagai persyaratan menikah.

Membangun sistem itu memang tak mudah. Harus berkelindan dan berkesinambungan. Tapi ini bukan alasan untuk tidak memulai. Ayo pak Nurmachmudi, bangkitkan Depok.

Saturday, July 23, 2005

Harrods, meuni Harot

"Kita sudah tiba di kota London". Suara sang sopir yang bergema lewat speaker, membuyarkan mimpiku pagi itu. Bos National Express yang kami tompangi dari Norwich, sedang melintasi bagian timur London. Kemarin di dekat sini, Bethnal Green, terjadi lagi ledakan. Akibatnya pagi ini, suasana London sedikit berbeda. Polisi dimana-mana.

Dan ini yang kentara. Jalanan macet, bus sesak, dan trotoar penuh. Memang sebagian jalur tube belum dibuka. Terbukti, meski menyeramkan sarana transportasi publik bernama tube banyak menolong London dari kemacetan. Syukur, kami tidak terlambat tiba di Kedutaan Belanda. Pagi ini, kami harus memasukkan paspor kesana, dan nanti sore mengambil lagi setelah visa ditempelkan. Ah, leganya akhirnya dapat visa meski cuma 6 hari saja.

Masih banyak waktu, sebelum shalat Jumat. Kami ada janji Jumatan dan makan siang dengan Mbak Mariati dan Gusman, kawan kami yang sekolah di London. Tak jauh dari Kedutaan Belanda, tegak menjulang Harrods, pusat belanja milik Muhammad Al Fayed, "bapak mertua" almarhumah Putri Diana.

Agak tercekat, sewaktu satpam memintaku melepas ransel dan membawanya dengan menjinjing. Apa dia sangka aku teroris, dengan bahan peledak di punggung. Belakangan aku sadar, ini cara mereka menghindari pengunjung menyenggol barang. Barang yang sungguh-sungguh mahal. Aku melintasi gerai penjual parfum. Penjaganya, perempuan2 cantik jelita dengan dandanan mentereng, sigap menyemprot sana sini. Malang, aku tidak. Tampang dan gayaku barangkali jauh dari kesan "potential buyer".

Hematku, Harrods adalah sarang kemewahan. Ada tas 7000 Pound (120 juta), handuk 1000 Pound. Aih, pegimane rasanya mengelap tubuh dengan kain seharga 17 juta itu. Nikmat apa rasa mewah belaka. Harrods sadar betul akan "rasa mewah" ini. Maka, tas jinjing plastik, yang di pasar Senen ditempeli wajah Delon laku dijual 5000 perak, karena ditempeli logo Harrods melambung jadi 5 Pound (75 ribu). Kabarnya, banyak juga ibu-ibu pejabat yang acap memborong barang disini. Kabarnya lho. Andai benar, kita turut senang tho?

Sama senangnya ketika aku lihat baju bermerk "Fendi" dan "Marni". Mungkin mereka penjahit dari Tasikmalaya yang sukses di negeri orang. Belakangan aku sadar, aku salah besar.

Aura kemewahan juga menjalar ke toilet. Luxury Washroom. Tetap saja isinya toilet, cuci tangan (meski yang ini ngucurin airnya pakai infra-red), lalu ada parfum. Selebihnya biasa. Boleh jadi "luxury" yang dimaksud, toilet ini bersebelahan sama gerai penjual "daleman", yang setelah didiskon masih 95 Pound.

Andai Mang Pi'i, penjaga kost-ku dulu di Cisitu, Bandung tau aku ke Harrods, pastilah ia akan bilang: "Euleuh..euleuh.. belanja wae meni harot". Harrods Mang, sanes harot (Bhs Sunda: harot= kelewat semangat).

Monday, July 18, 2005

Puspa Indah Taman Hati


Eaton Park, Norwich

Ujung minggu yang indah. Matahari bersinar terik sempurna, ditingkahi hembusan sepoi angin. Dari balik jendela, aku dapati tetangga sedang berjemur di taman belakang. Hari cerah, dan asupan sop buntut tadi malam, menebalkan tekadku untuk naik sepeda. Eaton Park, taman besar di dekat kampus UEA pasti ramai. Seperti kata pepatah, sekali mendayung, dua tiga keinginan terpenuhi. Ya membakar kalori, ya melihat pemandangan.


Benar saja. Umat Norwich yang hanya disentuh panas matahari 3 bulan dalam setahun, tak mau kehilangan kesempatan. Ada balap sepeda sirkuit mini, juga lomba perahu mini kendali jauh. Mulai dari yang main criket hingga main fresbee. Derit papan luncur berpadu dengan cicit ban sepeda yang ngesot. Jeritan anak-anak yang main perosotan, berlomba dengan raungan mobil kecil yang dipandu remote control.


Banyak pula yang hanya berjemur. Kelompok ini memenuhi bagian pinggir. Ada kelompok keluarga, lengkap dengan penganan. Ada pula yang berduaan memadu kasih, seolah taman besar milik mereka berdua saja. Lima cewek, yang gagal aku kenali bahasanya entah Brazil, entah Portugal, entah Mexico berkejaran main fresbee hanya berbikini. Jangan tanya mana fotonya. Ketika akan mengambil gambar, di layar muncul pesan "Disk Full". Ketika aku berusaha menghapus foto-foto untuk mencipta space, mendadak low batt. Nasiibbb..!!


Taman dan musim summer adalah paduan menarik. Mungkin itu sebabnya banyak taman disini. Disamping kampus, malah ada danau besar yang dibiarkan berlingkup hutan. Ini berbanding terbalik dengan jumlah mall, yang hanya satu buah saja. Apa nggak malu nih kota sama Depok, yang dalam usianya yang enam tahun saja, sudah berhasil mendirikan (seingatku) 5 pusat belanja besar, dengan beragam sebutan: plaza, mall, town square.


Pembangunan mal dan taman di sebuah tempat, pastilah didasarkan pada hukum supply and demand. Mungkin ada yang beranggapan ketenangan jiwa bisa diperoleh di alam indah. Bisa jadi banyak pula yang mengira ketenangan dihasilkan saat melihat barang mewah, walau tanpa membeli sekalipun. Makanya, ketika pemerintah gagal menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum dianggap sebagai hal wajar. Pun demikian dengan pengembang perumahan yang ingkar janji, tidak lantas masuk black list pengembang yang tidak boleh membangun lagi.


Aku merenung, akankah aku menghabiskan akhir pekan di danau UI, atau Depok Town Square sepulang dari sini. Entahlah.

Thursday, July 14, 2005

Berlayar ke Lembah Ilmu

Bangunan tua, perahu, dan sepeda merupakan ciri khas kota Cambridge, Inggris. Ada pula toko buku, pedagang kue, dan kedai teh yang berusia lebih dari seabad

PERAHU kami menyelinap diantara puluhan perahu yang melayari sungai Cam. Sesekali sang pendayung berteriak mengingatkan, agar merapatkan kaki dan bahu, supaya tidak tersentuh badan perahu lain. Cambridge, dimusim panas ini, memang sedang menuai pelancong. Dan salah satu daya tariknya: berperahu membelah kota. Kota yang kecil. Juga sungai yang kecil.


Sungai selebar delapan meter ini, dilingkupi oleh jembatan. Jembatan ini dijejali pengunjung, untuk berfoto dengan latar belakang perahu yang sedang melintas, atau say hello kepada sanak saudaranya yang sedang punting (berlayar) di bawah sana. Salah satu jembatan yang ternama adalah Mathematical Bridge. Menurut hikayat, jembatan ini didirikan tahun 1749. Penyebutan nama matematika disini, menurut mitos yang beredar, karena pendisainnya adalah ilmuwan Isaac Newton, dengan perhitungan matematika yang rumit, sehingga tanpa pasak. Sebetulnya ini hanya mitos, karena Newton wafat 1727, 22 tahun sebelum jembatan berdiri. Namun, nama Mathematical Bridge tetap abadi hingga kini, termasuk jembatan kayunya.


Nama Cambridge terdiri dari kata (sungai) Cam dan Bridge (jembatan). Sungai ini mengalir mengelilingi sepertiga kota. Keindahan gedung-gedung tua itu dapat disesap dengan berperahu (punting) di sungai Cam, yang mengalir persis di belakang beberapa college.


Lepas berkecipak di sungai, kami pun berjalan memasuki pusat kota. Gedung sisa abad pertengahan yang tertata rapi, yang dilingkupi halaman dengan rerumputan yang terpangkas apik, menyambut kehadiran kami. Bangunan tua memang salah satu jualan kota ini. Gedung-gedung tua yang umumnya sekolah itu, masuk kategori “tua-tua keladi”. Sejumlah ilmuwan, seperti Isaac Newton, dan pemenang Nobel macam Archer Martin dan Max Perutz datang dari sini. Universitas Cambridge menjadi penyumbang terbesar peraih Nobel di seluruh dunia, yakni 80 orang. Sehingga kota Cambridge juga memproklamirkan diri sebagai pusat inovasi dan teknologi.



King's College, Cambridge

Bayangkan, di dalam kota Cambridge yang seluas 40 kilometer persegi, terdapat puluhan college. 31 diantaranya merupakan bagian dari Universitas Cambridge. Kami menapaki jalan St John Street yang menyambung dengan Trinity Street dan King’s Parade, tepat di pusat kota Cambridge. Disini berdiri tiga college ternama, yakni King’s College (1441), Trinity College (1546) dan St John College (1511). Puluhan orang setiap akhir pekan mendatangi tempat ini. Untuk sekedar duduk di pelataran, mengagumi arsitektur abad lampau, hingga belanja buku dan merchandise kampus.


Ini mengingatkanku akan Bandung. Setiap akhir pekan, jalan Ganesha, di depan kampus ITB selalu ramai. Sayangnya, mereka tak datang untuk menikmati keindahan kampus. Tapi untuk naik kuda dan melihat kebun binatang yang kebetulan bersisian dengan kampus.


Cambridge memiliki sejarah panjang dalam ilmu pengetahuan. Ia merupakan kota kedua di Inggris, yang memiliki universitas. Setelah kampus yang pertama berdiri di Oxford tahun 1096, ditutup akibat pertikaian dengan penduduk lokal tahun 1209. Universitas Oxford pun dipindah sementara ke Cambridge. Lima tahun kemudian, orang-orang Oxford pulang dan mulailah warga Cambridge mendirikan college.


College pertama yang didirikan adalah St Peter House di tahun 1284. Meskipun dibawah Universitas Cambridge, college-college ini independen dalam hal pemilikan dan pendanaan. Trinity College yang didirikan tahun 1546, merupakan institusi terkaya nomor tiga di Inggris Raya, setelah Royal Family dan Bank of England. Asetnya mencapai 310 juta Pound dan pemasukan tahunan 19 Juta Pound. College maha kaya lainnya adalah St John, dengan aset 91 juta Pound dan pemasukan 5,9 Juta Pound.


Meskipun kaya raya, college ini tetap sadar wisata. Memasuki wilayah sekolah, pengunjung dipungut bayaran 2 hingga 6 pound (sekitar 35 ribu hingga 100 ribu rupiah). Pengunjung rela membayar untuk melihat keindahan gedung, dan pada hari-hari tertentu mendengarkan choral service di chapel. College adalah tempat belajar dan tinggal para rahib, sehingga, hampir semua college mempunyai chapel. Paduan suara terbaik dimiliki King’s College. Karena semua “penyanyinya” harus laki-laki, maka anak-anak dihadirkan untuk mengisi suara sopran dan kontratenor untuk alto. Sekolah-sekolah ini juga memungut uang kuliah yang sangat besar. Hebatnya, meski membayar uang sekolah yang mahal, para mahasiswa di kota Cambridge jarang menggunakan mobil. Umumnya mereka berjalan kaki atau bersepeda.


Saking tuanya Universitas Cambridge, mereka sudah menyumbang banyak orang terkenal, dengan pelbagai profesi. Mulai dari penemu, seperti Christopher Cockerel yang menemukan hovercraft, hingga fisikawan Stephen Hawkings. Mulai dari Perdana Menteri Inggris tahun 1768, Augustus Henry Fitzroy, hingga pencabik bas grup musik rock era 80-an, Radio Head, Colin Charles Greenwood. Bahkan warga Inggris percaya, mereka lebih tua dalam keilmuan dibanding Amerika. Sebab, John Harvard, pendiri Universitas Harvard di Boston, Mashacusette, Amerika, dulu bersekolah di Emmanuel College.


Kota Cambridge masih menyimpan sejuta pesona masa lalu. Sebagai kota ilmu pengetahuan, jangan lewatkan berbelanja buku. Ada beberapa toko buku besar yang ada di sekitar trio college, King’s, Trinity, dan St John. Yakni toko buku University of Cambridge, Heffer, dan Borders. Di sebuah gang di seberang King’s College, ada toko buku yang sudah berumur seabad lebih. Sejak didirikan tahun 1896, mereka tak mau beranjak dari lokasi semula. Demi sebuah masa lalu. Masa lalu pula yang membuat toko kue Fitzbilles, yang diririkan 1922, tetap ramai. Ada juga The Orchard, toko penganan dan minum teh, tempat pemikir Cambridge, seperti John Stuart Mill (ekonom dan filosof 1806-1873) dan John Maynard Keynes (ekonom yang menjadi penasehat pemerintah Inggris pada perang dunia I) dulu sering minum teh sore-sore.


Layaknya tempat berjalan-jalan, Cambridge menyediakan toko souvenir. Beberapa toko menjual merchandise Universitas Cambridge, seperti t-shirt, topi, ransel, mug dengan kualitas bagus. Mau yang kualitas kelas dua, tapi bukan bajakan, ada di pasar di seberang Kings College. Disini pernah ada orang Indonesia berjualan mie goreng. Orang memanggilnya, Tante Lena. Ia terkenal di kalangan mahasiswa Indonesia dan negara-negara Asia. Sayang, sejak akhir tahun, ia berhenti berdagang.


Malam menjelang, toko mulai menutup pintu. Sejenak aku, istri, dan empat tamu kami (Gusman dan Mbak Mariati dari London, bu guru Siska dari Brighton, dan Yudi dari Bradford) berehat di lapangan rumput. Lalu, kami tinggalkan Cambridge dengan sejuta kenangan. Mitos, masa lalu, dan usia tak membuat kota ini kehilangan pesona.

Monday, July 11, 2005

Kesaksian dari Edgware Road

London Attacks

London bak sebuah ruang gawat darurat raksasa setelah rangkaian bom meledak. Kontributor TEMPO, Abdul Latief Siregar menuliskan pengalamannya dari salah satu titik ledak: Stasiun Edgware Road.

Kedutaan Belanda adalah tujuan saya pada Kamis pagi itu. Saya harus mengurus visa di kantor kedutaan itu, yang terletak di Hyde Park di pusat kota. Jadwal pertemuan saya dengan petugas visa pukul 10.30 waktu setempat. Ada dua pilihan menuju Hyde Park: bus atau tube (kereta bawah tanah)—kalau ingin lebih cepat. Saya melirik arloji. Waktu masih cukup. Pilihan saya jatuh pada bus.

Baru berjalan sepuluh menit, bus yang saya tumpangi berhenti di lampu merah di kawasan Maida Vale. Aneh. Lampu merah sudah berkali-kali berganti hijau tapi bus tak kunjung beringsut. Beberapa mobil pribadi mulai maju-mundur mencari celah berputar arah. Suara klakson, yang biasanya jarang terdengar di jalanan London, mulai bersahutan. Aha, akhirnya saya bertemu juga dengan kemacetan di Inggris, negara yang amat menjunjung tinggi aturan lalu-lintas. Andai ada "Pak Ogah" di lampu merah ini, terbayar lunas sudah kerinduan akan kemacetan Jakarta.

Penumpang mulai resah. Bus-bus di London selalu tepat waktu sehingga orang tak terbiasa menyisakan tempo untuk jaga-jaga. Telepon genggam mulai berbunyi kian kemari, bertanya kabar atau melaporkan bakal terlambat. Beberapa penumpang nekat turun, menempuh gerimis yang mulai jatuh. Setelah 20 menit tertahan, saya memutuskan bergabung dengan pejalan kaki lainnya.

Niat saya berjalan melewati titik kemacetan, lalu cari bus lain atau pindah ke tube. Mata saya awas mencari stasiun terdekat. Hati saya lega melihat plang Stasiun Edgware Road. Saya mempercepat langkah. Astaga! Alih-alih lowong, saya malah terjebak dalam barisan manusia yang memadati jalan tersebut. Rupanya, ada police line seratus meter menjelang Edgware Road, membuat arus pejalan kaki tertahan. Polisi ada di mana-mana. Mobil polisi, ambulans, pemadam kebakaran berjejer seperti sarden dalam kaleng. Situasi kian mencekam. Sirene ambulans dan mobil pemadam kebakaran meraung-raung tanpa henti.

Orang-orang saling bertanya. Ada yang mendekati polisi. Tapi Pak Polisi memilih tutup mulut dan hanya sigap menghalangi massa yang mencoba menyuruk-nyuruk di dekat tali pembatas. Saya ikut-ikutan mencondongkan tubuh ke depan, tapi segera terdorong oleh polisi yang melebarkan lokasi darurat. Ambulans kian ramai berseliweran. Saya mencuri dengar perbincangan seorang ibu yang baru saja menelepon. Katanya, ada ledakan di dalam stasiun, banyak yang terluka.

Tegang oleh keadaan yang tak pasti, saya menelepon seorang teman di Norwich—kota tempat tinggal saya, sekitar dua jam dengan kereta dari London—memintanya membuka situs BBC. Teman itu, yang baru saja terjaga, berteriak di telepon: "Ada ledakan di tube, belasan orang tewas." Masya Allah, betapa dekatnya saya dengan "kematian" itu. Andai tadi saya memutuskan naik tube, entah apa yang terjadi.

Kepanikan menjalar. Teman-teman di Norwich mulai menelepon dan mengirim SMS. Yang paling panik tentu teman kami yang tinggal di flat kampus University College London, yang cuma berjarak beberapa meter dari Russel Square, lokasi ledakan lainnya. Kami ada janji kesana siang itu.

Entah kenapa, hari itu banyak blank spot area di London. Ada yang bilang polisi sengaja memblok sinyal di beberapa area untuk menghindari serangan berkelanjutan. Polisi menduga bom diledakkan dari jarak jauh dengan pemantik sinyal telepon. Tapi, yang lebih masuk akal, semua orang saling bertelepon sehingga jalur menjadi overload. Gagal sambung ini membuat teman-teman yang berusaha mencari kabar kian panik.

Beberapa waktu berlalu, saya meninggalkan Edgware Station. Lalu-lintas menyepi. Sebaliknya, pejalan kaki kian bertambah. Penumpang kereta yang gagal bepergian menyembul dari bawah tanah. Hujan menderas bercampur air mata dan darah. London berduka dengan sempurna.

Polisi memandu orang yang kebingungan mencari jalan pintas. Kerapian, kecepatan, dan ketenangan polisi mengatur keadaan membuat saya sedikit lebih tenang. Setelah berjalan kaki dua jam lebih, memutari dua taman besar, Hyde Park dan Kensington Garden, saya tiba di Kedutaan Belanda. Sudah amat terlambat, namun pegawai di sana bisa memahami kondisi saya. Bahkan ia berpesan agar hati-hati. "Mereka baru saja meledakkan bus tingkat," ujarnya sewaktu saya bilang akan naik bus.

Staf Kedutaan Belanda itu tampaknya menjadi ekstrahati-hati oleh keadaan baru yang melanda London. Saya hanya diberi waktu kunjungan enam hari, padahal dua kawan saya sebelum ini mendapat waktu sebulan—dengan syarat-syarat yang sama. Saya mencoba menghiba. Petugasnya hanya angkat bahu. "Pada saat-saat begini, kita harus ketat," ujarnya.

Dengan hati gulana, saya bergabung dengan orang-orang yang tengah antre bus di halte di seberang kedutaan. Tiba-tiba sebuah mobil polisi melintangi jalan. Beberapa polisi bergegas memasang police line. Astaga! Padahal di sini tak ada stasiun kereta bawah tanah. Polisi yang ditanya berkukuh tak menjawab. Pokoknya jangan melintas. Seorang pegawai, yang ngotot ia hanya keluar sebentar dan sekarang ingin masuk lagi ke kantornya, mendapat penjelasan lokasi ini diancam bom. Di kawasan Hyde Park Gate, tegak sejumlah kantor kedutaan.

Saya kembali menyusuri taman. Hawa dingin membuat tubuh ingin membuang air kecil. Saya menuju toilet bawah tanah di dekat situ. Terkunci rapat. Padahal sejam lalu saya singgah di sini dalam perjalanan ke Kedutaan Belanda. Polisi bilang, ini demi alasan keamanan. Saya lalu melompat ke bus yang tengah memutar arah. "Saya hanya sampai halte depan, kami diminta pulang. Semua bus berhenti operasi," kata si sopir. Di Hyde Park Corner, pojokan perbatasan Hyde Park dan Green Park, saya beristirahat sejenak. Di sana tampak sejumlah turis malang yang kebingungan membaca peta.

Perut mulai keroncongan. Saya putuskan untuk makan di China Town sembari berharap toilet di Trafalgar Square masih buka. Menempuh hujan menyusuri Green Park, saya belum juga menemukan mujur: WC di taman yang biasanya padat oleh turis ini ikut-ikutan tutup. Alasannya sama: keamanan.

Koran-koran petang mulai mengabarkan serangan pada Kamis pagi itu. Evening Standard bersampul hitam muram mencetak judul "Bomb on Tube". Kontras sekali dengan berita koran-koran pagi yang mengabarkan pesta besar menyambut kemenangan London sebagai tuan rumah Olimpiade 2012. Di salah satu sub-judul terbaca, Al-Qaidah mengklaim sebagai pelaku pengeboman. Saya terhenyak.

Nama saya yang berbau Timur Tengah bisa menjadi urusan bila tiba-tiba ada pemeriksaan. Belum lagi kalau muncul sentimen anti-Islam. Tapi tampaknya orang-orang tak terlalu peduli dengan imbas dan latar belakang politik di balik serangan ini. Perempuan berjilbab santai saja melintas. Tak jauh dari Edgware Station, kawasan yang banyak dihuni toko-toko bernama Arab, macam Al-Mustafa, Abu Ali Cafe, Beirut, tetap buka.

Sehabis makan di China Town, --kawasan yang biasanya ramai macam di Glodok, Jakarta, itu sepi sekali hari itu--, saya kembali ke Trafalgar Square. . Di Trafalgar Square, suasana tegang mulai mencair. Turis bercampur dengan para pegawai kantor yang mengaso kelelahan berjalan kaki. Tube masih ditutup total, tapi sebagian jalur bus mulai dibuka. Trafalgar Square, yang mestinya ramai di musim panas ini, hanya terisi sebagian kecil.

Hari sudah beranjak petang, saya harus kembali ke Norwich. Sambil menantikan bus, saya duduk-duduk di stasiun bus luar kota, Victoria. Terlihat deretan penumpang yang tak terangkut sejak siang. Ada seorang nenek yang sudah menunggu sejak pukul sebelas siang tadi.

Bus pengganti akhirnya tiba—sebuah bus dalam kota yang jelas-jelas tidak nyaman untuk perjalanan jauh. Tapi saya bersorak girang akhirnya bisa meninggalkan London. Saya terkenang ucapan penyiar televisi yang melakukan siaran dari Trafalgar Square: "Kemarin, saya berdiri di lapangan ini bergembira bersama ribuan orang yang merayakan kemenangan London sebagai penyelenggara Olimpiade 2012. Hari ini, saya harus menyiarkan berita duka." Gembira dan duka memang cepat sekali bersilih.


Saturday, July 02, 2005

Delapan Penjuru Uang

Image hosted by Photobucket.com


Petang merembang menjelang malam. Saat jam besar di menara Big Ben menunjuk angka 9, rocker gaek, Sting menghentak lapangan luas sarat manusia, Hyde Park. Dua ratusan ribu anak manusia, yang memadati lapangan di tengah kota London sejak pagi, berjingkrak seolah tiada letih. Begitupun aku, yang sejak usai makan siang sudah duduk di depan tipi. Bukan karena terjangkit post cleaner syndrome. Tapi karena siaran langsung Live 8. Juga final tenis putri Wimbledon.

Sting membuka dengan "Message in the bottle". Layar besar dibelakangnya diisi gambar delapan kepala negara pemilik uang (G-8), serta teks "8 Men in 1 Room can change the World". Itulah tema besar acara ini, mengentaskan kemiskinan di Afrika alias Make Poverty History. Selain di London, acara serupa digeber di kota-kota masing-masing negara G-8 (Roma, Moskow, Paris, Tokyo, Kanada, Philadelpia, Berlin) serta Johannesburg, Afrika Selatan.

Meriah. Acara yang digagas Bob Geldof ini diisi penampil lintas benua dan lintas usia. Mulai dari pujaan ABG (Anak Baru Gede) macam Travis, Mariah Carey, Robby William sampai kenangan para ABG (Angkatan Babe Gue) kayak Pink Floyd, The Who, dan Paul McCartney. Geldof berpengalaman mengadakan acara serupa 20 tahun silam. Dan sukses. Malam ini, ia memberi kejutan dengan memutar video usang tentang kelaparan di Afrika. Pada akhir tayangan, nampak seorang anak yang kesusahan menanggung lapar. Saat itulah ia menggandeng seorang gadis belia usia 20-an. Ia adalah anak yang menangis karena lapar tadi.

Katanya, "sumbangan untuk Afrika bisa menghambat kematian 300 ribu anak". Tapi Geldof tak mau negara maju hanya memberi ikan. Ia meminta kail. From charity to justice. Hanya dengan begini kemiskinan bisa menjadi sejarah yang perlu dikenang.

Hanya untuk Afrika. Padahal di Indonesia juga ada busung lapar, lumpuh layu, polio, juga kematian dalam gerobak. Mungkin Geldof tau belaka, bahwa Jakarta, jalanannya adalah show room mobil besar, tempat dimana penjualan rumah meningkat pesat, dan pusat belanja selalu padat. Untuk Afrika butuh kesepakatan delapan kepala negara. Untuk Indonesia, kita masih bertumpu pada figur SBY yang hari ini masuk dalam urutan pertama 25 pemimpin Asia paling berpengaruh, versi majalah Business Week. Ia dianggap berprestasi menanggulangi krisis multidimensional, seperti bencana alama, korupsi, terorisme, geliat ekonomi yang rendah, dan pengangguran tinggi.

Tepat pukul 12 malam, Paul McCartney mengajak semua penampil naik panggung. Mereka berteriak, Thank You Hyde Park. Mungkin tak lama lagi, kita juga bisa berseru bersama, Haturnuhun euy, Cikeas.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini