<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Thursday, February 23, 2006

Bukan Salah Burung di Sarung

A Postcard from Pasarrebo I

Suara klakson bersipongang memecah pagi. Entah mau kemana makhluk fana ini begitu gegasnya. Bukankah ada lampu pengatur, yang menjadi patokan. Merah artinya berhenti, hijau itu berjalan, kuning hati-hati. Sedari TK itu sudah diajari lewat lagu. Kenapa untuk pelajaran mudah itu saja, negeri yang parlemennya kayak TK ini sulit. Tak puas dengan klakson, seorang kenek kampungan jurusan Kampung Melayu-Kampung Rambutan, turun menghalau mobil yang berhenti di depannya.

Si sopir yang dihela, tak mau kalah. Ia berhenti karena di depannya seorang nenek berdiri kebingungan. Tak ke kiri, tak juga ke kanan. Raut wajah tua itu bingung dan takut. Agaknya ia baru saja turun dari sebuah angkutan, dan mendadak lampu berubah hijau. Aku tak kuasa berbuat apa. Motor, bus, angkot sudah menekan gas siap memangsa.
Lalu berlarilah dewa penyelamat. Mengepit koran dagangan, membentuk sayap bak Superman, ia gamit tangan si nenek menepi. Untung ini bukan sinetron, kalau tidak pastilah ia menggendong si nenek (seorang gadis belia yang rambutnya di cat putih untuk mendapatkan unsur tua), diringi tepukan meriah.

Ah, betapa indahnya. Orang kecil itu sudah lama membentuk jejaring sosial, menolong sesama, ditengah ketiadaan kepastian aturan dari pemerintah. Kemana polisi? Tadi sebelum aku tiba di prapatan Pasarrebo ini, aku melihat mereka berkerumun di depan rumah sakit, 200 meter nun disana. Mereka sedang razia. Mungkin menyigi teroris, mungkin juga menisik narkoba. Sungguh mulia. Padahal ditengah ketakberdayaan aturan, prapatan riuh nan hiruk pikuk ini, membutuhkan banyak polisi, sebagai kekuatan pemaksa agar tertib. Apatah lagi, disini tak jelas dimana halte, zebra cross, sehingga selalu simpang siur.

Toleransi dan semangat kerjasama wong cilik ini, acap kali membuat kita nyaman sesaat. Sehingga alpa bahwa hanya dengan aturanlah, warga dibelahan bumi lain sana menjadi lebih maju. Kita seolah tak terganggu dengan prapatan yang tak beraturan, abai bahwa trotoar telah diakuisisi, bantaran kali diokupasi. Lalu kaget, saat sebuah menara menjulang ratusan meter roboh menimpa rumah warga. Lebih kaget lagi, ternyata setelah sekian lama tegak, tiang besi itu tak punya IMB. Maha kaget lagi, ketika flu burung mematok. Ada hal kecil, yang jika dijalankan tak akan serumit sekarang. Yakni kebersihan kandang, kewajiban vaksinasi, dan sanitasi yang baik. Tapi jika menara yang terlihat telanjang saja, aparat kebobolan, bagaimana lagi dengan ternak kecil. Kasip, kini kita butuh 30 Milyar untuk pemusnahan, 17,5 juta dollar (kl Rp. 16 M) untuk penelitian, membeli tamiflu (1 kaplet= Rp 60 ribu), membeli rapid test 1 strip 100 ribu, dan membeli peralatan baru untuk 44 rumah sakit khusus flu burung.

Sungguh jumlah tak kecil, ditengah banyaknya jeritan warga memakan nasi aking. Kata orang dulu, bukan salah bunda mengandung, tapi salah yang punya (flu) burung. Halah...

Thursday, February 16, 2006

Habis Amarah Terbitlah Hikmah

Ia berdiri mematung sunyi. Menatap kosong ke jalan raya yang ramai merimba. Aku berdiri tak jauh darinya. Bersiap menyeberang jalan. Oho.., lelaki berkaca mata hitam itu ternyata tunanetra. My God, bagaimana dia bisa menyeberang ditengah belantara ini. Kugamit tangannya, dan kami bergandengan mengadu peruntungan, berharap belas kasihan pengendara untuk melambat sesaat. Selamat, kami berhasil. Tapi ia belum usai. Ia masih harus ke stasiun UI. Naik kereta api yang padat di pagihari.

Pagi-pagi aku sudah melihat secuil potret karikaturis sebuah bangsa. Mungkin saja karena kita menemui kondisi ini setiap hari, kita tak lagi menganggapnya sebuah keanehan. Beda jika dilihat orang lain, terlebih ia seorang karikaturis, maka ia akan menggambarnya dengan satir. Namanya karikatur (dari kata caricare, bahasa Italia) tentu mencemooh dengan ”melebih-lebihkan” satu atau beberapa ciri khas.

Inilah yang terjadi belakangan ini. Kartun2 itu menyentak, menggelorakan amarah, nafsuin, bikin bete, dll-etc. Orang-orang dungu itu, menggambarkan junjungan kita Nabi Muhammad dan agama Islam, hanya dari pengetahuannya yang sempit. Bak orang buta menaksir bentuk gajah. Kepegang kuping, bilang gajah lebar, kesentuh gading, sebut gajah runcing laksana tombak.

Tapi 12 kartun itu, adalah hasil lomba yang diikuti banyak orang, untuk ilustrasi buku anak-anak tentang pemahaman Islam. Meski hasilnya, sebuah ketidakpahaman yang picik mengundang api amarah, namun (bagiku, paling tidak) ada hikmah besar: Mengapa mereka memandang sekeliru itu? Berapa banyak orang yang berpandangan dungu seperti ini? Bahwa Islam adalah kumpulan orang pengobar kekerasan, Muslim adalah merendahkan perempuan, anti perbedaan pendapat, dan pemburu sorga dengan bunuh diri. Sesuatu yang dibungkus oleh syakwasangka belaka.

Image taken from KompasDan ini seolah menjadi identifikasi Islam yang mengendap di kepala mereka. Menarik membaca editorial koran Jordan Times (31/1/2006), yang menulis koran Denmark itu melanggar dalil utama masyarakat beradab dan demokratis: bahwasanya kemerdekaan seseorang menjadi berakhir manakala ia melanggar martabat dan kemerdekaan orang lain. Nah, kita memprotes pelanggaran ini. Namun , apa yang kita lihat sehari-hari, pelanggaran kebebasan orang lain itu begitu mudah ditemui. Merokok sembarangan, kenderaan yang saling serobot, orang yang sulit untuk beringsut memberi tempat pada orang lain di angkutan umum, dan banyak lagi.

Keadaan ini, termasuk pengalaman lelaki tunanetra tadi, menujumkan seolah kita –negara berpenduduk Islam terbesar di dunia ini--, tak peduli kemaslahatan publik. Padahal, Khalifah Umar ibnu Khottob semasa memimpin, “tak pernah nyenyak karena takut ada hewan piaraan warga terperosok di jalan tak rata”. Namun kini, dimana kita bisa berjalan tanpa ketakutan terperosok. Dimana para manula bisa jalan-jalan tanpa takut terantuk karena matanya yang tak awas. Dimana pula kita bisa melihat pengguna jalan patuh kepada lampu, rambu, hingga garis pembatas, meski tak ada polisi. Seolah mereka mendapat ajaran, “Takutlah kepada Tuhanmu, karena Tuhanmu dekat melebihi dekatnya urat lehermu”. Islam mengajarkan, “Hormatilah ibumu, ibumu, ibumu, lalu bapakmu”, dan “lindungilah kaum lemah”, tapi dimana kita bisa melihat ibu-ibu dan perempuan naik angkutan publik sesuai marwahnya, tanpa khawatir diempet-empet, dan terkantuk2 sambil berdiri. Islam punya aturan muamalat bahwa “syarat sahnya jual beli adalah akad dan persetujuan kedua belah pihak”, tapi dimana kita bisa melihat penjual dan pembeli saling berucap terima kasih tanda kepuasan atas transaksi itu. Dimana kita bisa melihat tak ada sampah terbuang sembarangan, tidak meludah sembarangan, tidak kencing sembarangan, seolah mereka bersemboyan “Annadzofatu minal Iman”.

Masih banyak deretan tindakan tak mencerminkan kehidupan Islami, yang bisa kita kulak sehari-hari. Padahal sang junjungan mengajarkan, Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam adalah, ketika orang tak cemas oleh kehadiranmu, tak terancam oleh tanganmu, tak terlukai oleh lisanmu. Sampai disini, kasus kartun itu tidak sekedar penghinaan nista yang memuakkan, melainkan diambil hikmahnya sebagai sebuah kritik.

Tentu saja ini hanya sebuah refleksi personal yang naif dari seorang hamba yang dhaif. Bukan pula cerminan kualitas keimanan penulisnya. Kepada Allah pemilik segala kebenaranlah, aku memohon ampun.

Sunday, February 12, 2006

Jauh di Mata Dekat di Kaki

”fotoGerimis belum sempurna menyudahi diri. Perempuan itu berlari menebas rintik, memburu angkot yang tak utuh berhenti. Pantatnya yang big size belum terjejak, angkot sudah kembali memburu. Ada ruang kosong di bagian dalam, tapi ia menginginkan di ujung dekat pintu. “Dekat”, katanya. Tapi ditempat itu sudah bercokol seorang ibu paruh baya berukuran sejenis, yang juga ngotot dengan kata “dekat”. Setelah berbilang menit, dapur itu bergoyang bak goyang gergajinya Dewi Persik, dengan bersungut mau juga si ibu paruh baya bergeser. Cuma sejengkal, dan selesailan persoalan. Kelak aku tau, ibu paruh baya yang naik di Lenteng Agung, dan ibu kedua yang naik sebelum stasiun Tanjungbarat, sama-sama turun di Rumah Sakit Pasar Rebo. Jarak yang sungguh tak dekat.

Dekat, menjadi kata sakti penumpang yang malas beringsut. Suatu kali, sopir yang sudah mahfum dengan kilah ini, dengan kesal bilang: “Kalo dekat jalan aja bu, sayang duitnya. Ini kan jaman susah, harus menghemat. Lagian biar sehat”. Pernyataan yang tidak sepenuhnya tepat. Sebab ongkos angkot begitu murahnya, seceng bisa untuk jarak 2 kilometer.

Namun bukan soal sehat dan hemat saja, yang bisa dipetik dari kemauan berjalan ini. Yang terpenting lagi, adalah mengurangi kemacetan. Bagi yang akrab dengan angkutan umum tau belaka, angkot dan bus seenaknya bisa dihentikan dimanapun untuk naik dan turun. Tak jarang, bus yang sedang di kanan sekalipun mendadak bisa pindah ke kiri. Atau malahan berhenti di tengah jalan sekalipun. Untuk alasan meladeni pasar pula, angkot, bus, ojek, juga bajaj ngetem berlama-lama di mulut gang, di pertigaan, dan di prapatan. Dibawah rambu larangan berhenti. Jelas ini sumber kemacetan.

Tapi apa mau dikata. “Kalo tak ngetem disitu, mana dapat sewa kita, Bang”, jawab seorang sopir. Saking malasnya jalan, banyak penumpang yang marah-marah menggedor langit-langit atau kaca, jika bus tak langsung berhenti begitu dia teriak “kiri!”. Ironisnya, kemalasan berjalan ini tak cuma dimanfaatkan sopir angkutan umum. Juga pebisnis. Maka banyak mal dibangun di hook, ada jasa valet parking, car call, dan layanan atm dan resto cepat saji tanpa turun dari kenderaan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan banyak alasan. Haltenya mana? Trotoarnya diambil pedagang tuh. Nyebrangnya repot. Kadang melihat ini semua, aku ngunandika, gimana korupsi mau diberantas jika untuk berjalan dan mematuhi aturan saja malas. Bukankah bibit utama korupsi itu malas dan gemar mencari jalan pintas.

Capek mikirin korupsi ah, mending berdendang: langkahkan kakimu ke kiri ke kanan ikuti irama dan bentuklah putaran sepanjang hari..jalan..!!

Saturday, February 04, 2006

Elegi Sepenggal Pagi

Deritan kaca bergeser membuat beberapa orang mencuri pandang. Dua orang di pojok itu cuwek bebek. Bercerita dengan volume suara keras. Sekeras hembusan asap rokok yang mengepul membumbui obrolan. Kaca kembali bergeser. Mungkin pelakunya berusaha menunjukkan ketidak senangan atas asap rokok yang mengotori kesegaran udara pagi. Tapi kaca bergeser perokok berlalu. Tak peduli ada Perda Larangan Merokok.

Sebagai orang yang terdidik ala Inggris (ck..ck..ck..) tentu saja aku bergeming. Namun suara dan tawa mereka yang melewati ambang batas, membuatku menyimak juga.
“Beli tiket lu”
Tersipu si bapak bergigi renggang itu memasukkan tiket kereta yang tadi menyembul.
Mereka memang naik di dekat stasiun Tanjungbarat.
“Dasar penakut. Gue sih kagak pernah. kecuali mau turun di (stasiun) Gondangdia. Suka ada Brimob. Serem”. Punya takut juga nih si gondrong kribo, pikirku.

“Ah, ceng go ini”
“Eh, cenggo bisa dua batang tuh”
“Lu pelit banget sih, ceng go doang” Si gigi renggang tak mau kehilangan muka, dicela di dekat cewek bermek-ap tebal yang sedari tadi diliriknya.
“Pelit? Emangnya gue pak Asep”. Entah Asep siapa, yang jelas mereka tertawa terbahak begitu nama itu tersebut. Mungkin mereka punya referensi yang sama tentangnya. Lihatlah.
“Iya tuh, entu orang emang pelit abis dah. ngerokok kagak, jajan juga kagak.”
“Makan aja bawa bekal dari bini”
“Emang piknik”. Tawa pun berderai berlomba dengan raungan angkot.

Ekonom sedunia bersatulah. Menangkap suara rakyat terkadang tak perlu survei dengan metode canggih bin rumit. Dengarlah suara bangsaku yang nrimo ing pandum itu. Melihat gelagatnya, mereka bukan orang berpenghasilan besar. Asal bisa merokok, ngupi, korupsi tiket kereta, jajan bakso sudah dihinggapi bahagia. Pagi-pagi sudah terbahak. Jadi lupakan penelitian rumit soal under poverty line, yang mengharuskan berpenghasilan 2 dollar sehari baru dianggap lepas dari kemiskinan. Bangsaku miskin, tapi kaya hati.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini