<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sunday, February 27, 2005

Musim Yang Mendua

Malam yang basah. Juga beku. Aku memandangi salju bak buliran ribuan kapas melayang menjejak bumi. Sesekali ada yang hinggap di kaca jendela tempat aku melongok. Mobil mobil dan jalan raya sudah putih bersaput salju. Sepasang anak manusia melintas dibawah. Cekikikannya membuatku menatap lebih lama. Si perempuan melempar pacarnya dengan bola salju. Lalu si lelaki menyauk es di kap mobil. Mereka berkejaran di malam dingin ini. Pasti mereka sedang menyesap cinta yang putih dan selembut salju.


pagisiangsubuh

Minggu 10 am Minggu 02 pm Senin 06 am

Aku tersenyum. Tapi hatiku mendua. Senang karena akhirnya bisa melihat salju, yang gagal datang pertengahan januari lalu. Sedih, karenja besok pagi aku harus bekerja keras menjaga atrium --main entrance-- Rumah Sakit tetap bersih. Tak apalah capek sedikit, tokh ini hanya setahun sekali. Lagipula, kapan lagi bisa berjalan di atas es. Maka nikmatilah.

Sebetulnya sekarang sudah musim semi. Ditandai dengan pergantian pakaian yang bergantungan di etalase toko, menjadi spring collection. Aku masih terus menatap. Persis dibawah lampu jalan, berdiri tegak pohon tanpa daun. Ajaib, sudah lebih 2 bulan ia tak berdaun, tapi masih tetap hidup.

Aku harus segera tidur. Sebelum berangkat ke peraduan, nun jauh di lubuk hati, selarik
Ayat Suci mengalun: "Maka nikmat Allah yang mana lagi, yang hendak kamu dustakan?

Thursday, February 24, 2005

Pulang...

"...jangan sampai episode ini melunturkan keberanian, semangat, dan kegigihan wartawan menjalankan tugas jurnalistik. Wartawan menjadi bagian terpenting penegakan kebenaran, misi kemanusiaan, dan pengembangan demokrasi..."
-Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono-


Jakarta, 24.02.05, Istana Kepresidenan
Baghdad, Irak 3-14 (Liputan)
Ramadi, Irak 15-22 (Disandera)

Friday, February 18, 2005

Meutya, Dari Pidie Sampai Ramadi

meutya saat farewell party

Baaaannggggg.....Aku di Baghdad neh, sejak 3 Februari. Sulit cari berita. Banyak isu, tapi dimana-mana gak boleh shooting. Minta ID aja, sambil nodongin senjata. Lelah lihat Baghdad. Bukan takut sih. Dimana-mana orang nenteng senjata. Kemarin mobil kita ditembak, hanya karena tentara AS mau lewat. Sampai mau tidur, masih dengar letusan.

Email Meutya tertanggal 10 Februari itu, aku baca dengan mata berkaca. Pagi ini, pukul 6 tepat, sesaat sebelum berangkat kerja, aku baca detik.com. Di Jakarta pukul 13, saat berita itu muncul: "Dua wartawan Metro TV hilang di Irak.

Meutya berangkat ke Irak bersama juru kamera Budiyanto. Bagi Budi, ini adalah keberangkatan yang ketiga kali. Ia disana, sebelum Amerika menginvasi negara Saddam ini. Lalu, setelah Saddam terguling. Selain piawai membidik gambar, Budi mahir menjalankan videophone, alat pengirim gambar compact dengan wahana telepon satelit. Hal ini yang membuat Budi pergi berulang ke Irak. Selain tentunya, ia mudah diajak kerjasama, tidak neka neko, dan penolong.
Ini klop dengan Meutya. Bagiku, keduanya memiliki arti besar, selain sebagai kolega. Karena rumah kami, yang searah, aku dan Budin kerap pulang bareng. Meutya, pernah bersamaku di Aceh, selama 2 pekan, di awal darurat militer, Juni 2003. Aku field producer, ia presenter dan reporter. Ia penasaran dan memaksa untuk selalu ikut ke daerah rawan. Aku tegas, tak membolehkannya ke Pidie. Sambil bercanda aku bilang, kalau ada apa-apa, bisa mati aku digorok Agus Isrok. Pacarnya ini adalah anggota Kopassus, putra mantan KSAD, Subagyo HS.

Lepas dari Aceh, aku memegang program Metro Siang, Meutya main presenternya. Pertemanan kami semakin dekat. Ia cantik khas Sunda, dan keras sesuai titisan darah Makassar. Kami kerap berdebat. "Abang adalah teman sekaligus guru bagiku", katanya di hari keberangkatanku dari Jakarta ke Inggris, 14 September lalu.

Ia seakan tak mau berpisah. Padahal sehari sebelumnya, ia, Agus, dan kawan-kawan Metro lainnya sudah datang ke rumah. Meutya memberiku buku, "A nation in waiting". Pagi ini kupandangi buku itu. Tulisan Meutya di halaman depan, membuatku semakin merindunya.


Malam ini, aku mendapati panggilan telepon tanpa nomor. Aku terkesiap. Pasti Jakarta. Pasti Meutya dan Budi. Suara berat Muzakkir Husein menyapa berat. "Udah tau belum, udah positif". Aku tercekat, bibirku kelu. "Mereka disandera di Ramadi, tapi selamat". Muzakkir mendekatkan telepon ke layar TV yang sedang menyiarkan berita itu pukul 2 pagi.

Kubaca lagi email Meutya. Pengen banget ke UK, tapi gimana dong..., emang dekat yak. Aku menyesal, tak segera membalasnya dulu. Aku tulis: "Mutmut, semoga kamu tidak kenapa-napa ya. Datanglah ke Norwich, we miss you so much. Pengalaman mendebarkanmu itu akan kita jadikan buku kenangan.
Diambil Koran TRIBUN TIMUR Makassar, 20 Februari 2005

Tuesday, February 08, 2005

Berguru ke Negeri Ratu

buswaySejak Selasa 11 Jan 2005, Jakarta memiliki Dewan Transportasi Kota. Dewan beranggotakan 15 orang dari LSM, pengusaha dan awak angkutan, polisi, pemerintah, dan kalangan perguruan tinggi ini, akan menata sistem trasportasi kota Jakarta. Salah satu pola yang akan mereka gunakan untuk mengurai benang kusut transportasi Jakarta, adalah Pola Transportasi Makro. Apapun polanya, kesuksesan kinerja Dewan ini akan mudah terpantau oleh masyarakat, sebab muara dari ketidakberesan sistem transportasi itu, adalah kemacetan yang sudah teralami setiap hari.

Sebelumnya, dalam tiga bulan ini, pemerintah Jakarta menyampaikan tiga rencana kerja mengatasi kemacetan. Yakni, pembangunan delapan terminal baru, peniadaan parkir off street, dan tiket berlangganan busway. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun memberi perhatian khusus soal ini. Kepada pejabat kota Jakarta, sehari setelah lebaran, SBY mencanangkan lima konsep penataan ulang kota Jakarta. Masalah kemacetan ditempatkan dalam prioritas pertama, diikuti banjir, sampah, perumahan, dan reklamasi.

sepedaSaya sedang berada di Norwich, Inggris, ketika semua rencana mengatasi kemacetan itu didengungkan. Di kota yang luasnya jauh lebih kecil dari kota Depok ini, tak pernah ditemui kemacetan. Dan tak ada pula penumpang yang berdesakan, meskipun bus yang melayani setiap jalur hanya 1 macam bus saja. Semua bus yang beroperasi di seantero kota, hanya yang dikelola oleh pemerintah kota Norwich.

Tak adil rasanya membandingkan penataan lalulintas di kota sekecil Norwich ini, dengan kota sebesar Jakarta. Tapi, ada beberapa hal yang tampak disini, bisa menjadi acuan dalam kebijakan penataan. Di Norwich, semua jalan raya, betul-betul digunakan sesuai fungsinya. Inilah pembeda utama dengan Jakarta. Di Jakarta, jalan raya bukan hanya berfungsi sebagai sarana transportasi belaka. Justru peranannya yang lebih besar adalah sebagai sarana ekonomi, sebagai lapangan pekerjaan.

angkotBanyak sekali orang yang menggantungkan hidup di jalan raya. Tengoklah sopir bus, pedagang kaki lima, tukang ojek, tukang tambal ban, dan pengasong, semuanya menggunakan jalan raya sebagai “alamat kantor”. Akibatnya jalan raya tidak maksimal digunakan seluruhnya, sebab sebagian sudah diserobot untuk fungsi lain. Saya setiap hari melewati Pasar Minggu, di Jakarta Selatan. Untuk melewati jalur sepanjang 200 meter saja, butuh 20 hingga 30 menit. Jalan yang terbagi tiga jalur, praktis tergunakan satu jalur saja. Pedestrian dipenuhi pedagang, sehingga pejalan kaki masuk ke jalur mobil. Satu jalur terpinggir diisi barisan tukang ojek. Satu jalur berikutnya, diisi bus dan angkota ngetem.

Sampai-sampai, seorang rekan pernah bilang, kalau penertiban Pasar Minggu ini diadikan barometer kesuksesan camat Pasar Minggu dan walikota Jakarta Selatan, alamat mereka hanya bertahan 100 hari pertama saja.

Dua minggu berlalu, saya belum tahu seperti apa dan darimana DTK mulai bergerak. Menghilangkan ojek, angkutan kota milik pribadi, dan pedagang kaki lima, akan berdampak pada stabilitas nasional, karena jumlah penganggur menghebat. Bukankah sektor informal ini menjadi penyelamat ekonomi rakyat yang didera kesusahan ekonomi berkepanjangan.

angkotTetapi membiarkan kondisi ini juga menyebabkan non efisiensi dan kelelahan mental. Bayangkan, warga Depok yang masuk bekerja pukul 8 di kawasan Sudirman, harus bergegas berangkat sejak pukul 5.30. Senada seirama saat pulang kantor. Keluar kantor, pukul 16 tiba di rumah sudah waktu Isya. Waktu itu menjadi terbuang sia-sia, sebab bus tak nyaman untuk membaca, apalagi untuk membuka laptop.

Melihat komposisi asal usul anggotanya, saya berharap banyak kepada DTK. Ada polisi, pejabat pemerintah, pakar, bahkan aktivis HAM. Latar belakang yang beragam ini, akan membuat Dewan ini melihat persoalan transportasi dari berbagai bidang. Meskipun bisa saja, keberagaman ini justru membuat Dewan tertahan pada tataran perdebatan. Semisal menertibkan pedagang yang “menyerobot” pedestrian dan badan jalan. Polisi akan bergerak dari sisi hukum bahwa segala yang melanggar harus ditertibkan. Tapi akan lain bagi aktivis HAM, yang berpendapat penggusuran adalah menghilangkan hak orang untuk mendapatkan materi.

rambuDewan juga harus siap menghadapi penolakan masyarakat. Anggota DTK unsur kepolisian, Komisaris Naufal Yahya, yang juga seorang Master Transportasi mengakui, bahwa harus ada kebijakan ekstrim yang tidak populer. Usulan Naufal, antara lain menetapkan pajak kepada pengguna kendaraan pribadi dalam konsumsi bahan bakar. Juga dengan menaikkan ongkos parkir kendaraan pribadi, mempersempit ruang gerak kendaraan pribadi dengan cara tidak memperbolehkan kendaraan pribadi melintas di tempat-tempat tertentu yang berpotensial mengakibatkan kemacetan. Ini semua mendorong orang beralih ke angkutan umum.

Di Norwich, usulan Komisaris Naufal ini sudah diterapkan. Parkir mahal, dan tempat parkir terbatas. Ini sejalan dengan rencana pemerintah Jakarta dalam pengelolaan perparkiran. Saya membayangkan, daripada membangun terminal bis, lebih baik pemerintah membangun Park and Ride, yakni tempat parkir luas dan menjadi titik awal perjalanan busway. Kalau saja rencana ini terwujud, Park and Ride misalnya ada di Lebak Bulus, pekerja dari Depok, Ciputat, dan Bintaro cukup memarkir kenderaan disini, dan langsung naik bus menuju Sudirman dan Thamrin. Tiket parkir dipadukan dengan tiket bus, dan pengguna dirangsang dengan penerapan tiket multi-trip. Kampus dan kantor, bekerja sama dengan pemerintah, mengeluarkan tiket tahunan dengan sistem subsidi. Mahasiswa di Norwich, hanya dikenai tiket tahunan 135 Pound, setara dengan 2,6 Pound per minggu. Padahal untuk sekali naik bus, ongkos termurah adalah 0.8 Pound dan termahal 2.8 Pound.

Namun apapun upaya yang dilakukan, pilar utama mengatasi kemacetan ini adalah pemberlakuan hukum yang tegas. Polisi jangan lagi menyelesaikan persoalan dengan priitt jigo. Dinas Perhubungan dan pengusaha tidak lagi main pat-gulipat dalam mengeluarkan izin trayek. Kalau ini berhasil, maka law enforcement ini merupakan exercise bagi pemerintahan SBY untuk mengatasi kemacetan lainnya, termasuk kredit macet.


Dimuat di KOMPAS Selasa, 8 Feb 2005

Monday, February 07, 2005

Bis Menuju Sorga

Antrian di pintu sorga semakin panjang. Di barisan depan, nampak sejumlah pemuka agama. Tapi malaikat penjaga tak kunjung membuka gerbang. Hingga suatu saat, malaikat yang sedari tadi waspada, memanggil seseorang dari barisan jauh di belakang. Lelaki kurus, berpakaian kumuh itu maju, diikuti sejumlah mata yang menghunjam tajam. Lelaki itu, seorang sopir bis AKAP (antar kota antar propinsi) lalu dipersilakan masuk, mendahului pemuka agama yang segera protes keras. Malaikat menjelaskan dengan tenang. ["Sebagai sopir antar kota, ia membuat penumpangnya melek dan berzikir mengingat Allah. Kalian kebanyakan berzikir, tapi umatmu justru tertidur"]


Grrrr...., suara tawa pun memenuhi ruangan, disaat lelucon itu dilontarkan seorang intelektual muda Islam. Sebut saja namanya Abu. Abu lalu melanjutkan, bahwa leucon satiris ini ia maksudkan, bahwa berbuat kebajikan bagi sesama itu jauh lebih penting. Banyak orang lupa, bahwa melayani publik, adalah amalan yang mendatangkan pahala. Agama semestinya menjadi pegangan untuk membahagiakan manusia, agar sama-sama khusu' menyembah Sang Khalik.


Aku menempatkan lelucon ini dalam konteks pelayanan publik. Bukan diskusi agama. Seorang teman yang pernah menyisiri Eropa dan pernah pula naik haji bilang, "Orang Arab Islam, tapi pelayanan publiknya tidak islami. Sedang orang Eropa, sangat islami". Apa misalnya. Di belahan Eropa, banyak ditemui air minum yang bisa langsung dari kran. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, jangan coba minum langsung dari kran, kalau tak siap masuk UGD. Padahal Allah pertama kali menurunkan air yang bisa diminum tanpa dimasak itu adalah di tanah Islam, yakni air zamzam.


Selain air minum, bukti fisikal menonjol pemuliaan manusia adalah pelayanan terhadap orang cacat. Bus, gedung, jalan raya dibuat aksessibel terhadap orang cacat. Berbekal kursi roda, seorang cacat bisa berjalan-jalan tanpa pendamping. Ada pintu, lift, bahkan wc khusus penyandang cacat. Dia juga dengan mudah naik bus, menyeberang, menjalankan kursi di pedestrian luas yang tak dimasuki ojeg. Di bus, ada jembatan knock-down untuk naik turun, ada area khusus untuk penempatan kursi.


Bisakah ini dipraktekkan di Indonesia? Tentu saja ya. Aku pernah ke Istana Bogor jaman Presiden Wahid berkuasa. Layaknya gedung bekas Belanda, banyak undakan disana. Nah, disebelah tangga, ada jalur khusus selebar satu meter. "Ini khusus dibuat untuk ibu Sinta Nuriyah (First Lady kala itu yang menggunakan kursi roda)". Gus Dur tak egois, mementingkan keluarga. Pada jamannya pula, stasiun kereta api Gambir diproklamirkan familiar terhadap orang cacat. Yah, alah bisa karena dimula. Semoga.

Thursday, February 03, 2005

Pagar Makan Jalanan

Tinggal 50 meter sebelum tikungan tajam Eaton Park. Tapi supir bus belum menurunkan gas. Aku yang duduk di bagian atas bus double decker ini, udah mulai pegangan. Syukurlah, tak ada ban berdecit akibat rem mendadak, karena di pertigaan itu tak ada aral melintang.

Gaya orang nyetir disini memang bikin ciut nyali. Tapi karena mereka yakin semua orang taat aturan, maka semuanya berjalan oke. Bayangkan kalo kejadian tikungan tadi di Jakarta. Si sopir jelas sudah jadi pembunuh berdarah dingin. Pas di tikungan, ada bajaj sama angkot ngetem. Di belakangnya ada calo lagi teriak-teriak. Terus ada tukang teh botol dengan 2 pembeli. Ada jual soto menjorok ke jalan, dengan pembeli 3 orang. Lalu ada 2 orang menyeberang sembarangan. Muncul bus dengan kecepatan tinggi membelok. Minimal 10 tewas di tempat.

Apa yang membuat sopir yakin jalanan kosong. Pertama itu belokan. Ada garis kuning di jalan, pertanda dilarang parkir sepanjang tikungan. Kedua dilarang berjualan di pinggir jalan. Ketiga, 100 meter dari tikungan ada zebra cross lengkap dengan lampu lalulintas yang menyala merah bila diminta pejalan kaki. Keempat, kalaupun dia apes, nabrak, gak mungkin dipukuli massa.


Teman aku
ini berkabar, pakar pendidikan Arif Rahman risau, sekarang orang lebih memilih memasang polisi tidur ketimbang membuat plang: jangan ngebut banyak anak-anak. Pasalnya, orang sudah lebih patuh kepada tanda-tanda penghalan fisik, daripada himbauan. Kerisauan yang nyata. Lihatlah betapa banyaknya separator di jalan-jalan Jakarta. Di Kedoya misalnya, dekat RCTI dan apartemen Kedoya, dipasang separator setinggi pinggang agar orang tidak membelok dan tidak menyerobot jalur lawan.

Bayangkan, kalau ada orang bijak yang memegang semboyan: "disiplin suatu bangsa dapat dilihat dari lalulintasnya" melihatnya. Pastilah dia menyangka disiplin bangsa kita disiplin ala kolonial. Main pecut, main paksa. Aku jadi ingat cerita guru waktu kecil, tentang beda pagar orang dan pagar kambing. Pagar orang cukup diberi tulisan dilarang masuk. Sedangkan pagar kambing, harus diberi penghalang sedemikian, sampai si kambing tak bisa loncat. Nah, kira-kita apakah kita marah kalau disebut bangsa kambing?

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini