<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Friday, January 20, 2006

Menuai Janji Menunai Bhakti

Assalamu Alaikum Pak Nur,
Pagi ini mungkin amat menyenangkan buat Antum. Kantor berita
Antara mengabarkan, Menteri Dalam Negeri sudah mengeluarkan surat pelantikan walikota Depok. Artinya goro-goro yang menyelimuti perjalanan anda menuju bangku tertinggi di Depok, telah lampau. Maka tak lama lagi, hari ini, besok, atau lusa, Antum akan menyusuri jalan Margonda Raya untuk menuju kantor Walikota. Kalau Antum tetap tinggal di Kompleks Tugu Asri, begitu keluar kompleks, Antum akan disambut baliho besar, “Anda memasuki kawasan tertib lalulintas” persis di pangkal jalan Margonda Raya. Kelak beberapa meter setelah melewati baliho itu, Antum akan tau, bahwa pesan itu hanya omong kosong tanpa makna.

Seratus meter setelah pesan itu, deretan angkot ngetem di simpang jalan kober akan mengganggu kelancaran perjalanan Antum. (Kecuali kalau Antum mau berlaku seperti pejabat lain yang gila kuasa, dipandu vorijders). Penghambat lainnya adalah penyeberang jalan. Karena disini salah satu pintu masuk ke kampus UI bagi pejalan kaki.

Kemacetan sejenis, akibat angkot ngetem, berhenti sembarangan, dan penyeberang yang mengadu peruntungan, akan banyak Antum temui sepanjang Margonda Raya. Sebab selain beberapa kampus, di jalan Margonda ini banyak mal dan pertokoan. Belum lagi, sepanjang jalan Margonda berderet pertokoan yang membuat Depok tak punya kota terpusat, layaknya sebuah pusat kota. Warung-warung menjadikan trotoar sebagai tempat parkir. Sedangkan penjaja mobil, merebut jatah pejalan kaki itu untuk ajang pamer.

source:pks jaktimKata orang bijak, pribadi sebuah bangsa bisa dilihat dari lalulintasnya. Lantas apa makna kemacetan ini buat Antum? Tidakkah ini menujumkan sebuah keadaan salah urus. Margonda ibarat nenek tua yang tak sanggup lagi menyunggi beban, tetapi ke pundaknya beban baru terus menerus diembankan.

Ini karena pemerintah berlaku seperti calo. Mengutamakan keuntungan, tak peduli akibat perbuatannya ruang publik terebut. Pak Nur, aku yakin warga sudah muak dengan semua ini. Buktinya warga memilih Antum, bukan saingan anda, incumbent walikota. Pasti karena warga menginginkan perubahan.

Cukup banyak permintaan kami sebagai warga. Tentu saja sebagai politisi cum ulama, Pak Nur mahfum kisah teladan ini.Yakni ketika Umar bin Abdul Aziz, khalifah dari Bani Umayyah terpilih sebagai khalifah. Ia justru menangis tersedu. Bukan karena gembira, tapi oleh kesedihan mendalam karena harus memikul tanggungjawab berat. Yang semuanya harus pula dipertanggungjawabkan bukan hanya di depan DPRD, tapi di pengadilan maha tinggi, mahkamah Allah Swt. Akhirul kalam, selamat bertugas, Pak Nur. Wassalam!

Bus Gratis, Bus Way, Bus Wae...

Aku berjalan melampaui halte yang sepi. Mestinya aku menunggu di halte dekat toko togel ini. Karena ini adalah halte terdekat dari rumah kami. Nun sekitar 150 meter dimuka ada halte lain. Kesanalah aku berjalan, menyusuri trotoar lebar yang rata, tak dikuasai pedagang, atau pengendara motor. Tak sekedar mau sehat. Tapi ingin berhemat.

Bayangkan. Jika aku naik di halte toko togel, sampai city center aku harus membayar 1,6 pound (atau 2,8 pp). Tapi jika aku rela jalan kaki seperti yang aku lakukan barusan, aku hanya perlu merogoh kocek 0,8 pound sekali jalan, dan 1,2 pp. Ada perbedaan 1,6 pound. Ini bukan tak seberapa. Dengan 1,6 pound, lumbung bisa terisi 3 kg beras atau 5 liter jus jeruk.

Ini bisa terjadi, karena Norwich menggunakan sistem zoning dalam pembayaran tiket. Tidak jauh dekat (yang sesungguhnya bisa ditawar juga). Sistem zoning hanya salah satu dari sekian banyak sistem ticketing angkutan publik di kota-kota di Inggris.

Aku teringat ini, setelah bersua dengan temanku yang bekerja untuk Dompet Dhuafa. Mereka meluncurkan bus gratis kaum dhuafa oktober lalu, dan bus gratis khusus pelajar rabu, 18 jan 2006, di SMU 73 Jakarta Utara. Sayang, media –termasuk televisi tempat aku bekerja—tak berminat pada “berita kecil” yang “hanya” 2 bus ini. Tak sepadan dengan jumlah dan kehebohan uba rampe peluncuran busway.

Naik bus secara gratis. Aku tak 100 persen setuju dengan ide ini. Aku memilih sistem subsidi. Makanya kepada teman itu aku usulkan sistem ticketing itu. Selain pembagian zona, dikenal pula tiket multi-trip. Sekolah, kampus dan kantor, bekerja sama dengan pemerintah, mengeluarkan tiket tahunan dengan sistem subsidi. Mahasiswa di Norwich, hanya dikenai tiket tahunan 135 Pound, setara dengan 2,6 Pound per minggu. Padahal untuk sekali naik bus, ongkos termurah adalah 0.8 Pound dan termahal 2.8 Pound sekali jalan.

Selain tiket tahunan, dikenal juga tiket mingguan, bulanan, dan tiket berkelompok. Satu lagi, tiket konsesi bagi lansia. Old citizen ini diberi potongan besar, dengan menunjukkan kartu konsesi. Mungkin disini ini kurang bermanfaat, sebab disini lansia tak dianjurkan bepergian menggunakan angkutan umum. Dimana dia hendak menyeberang, dan dimana dia hendak berjalan aman dengan penglihatan yang tak lagi awas

Satu pelajaran penting, Dompet Dhuafa meluncurkan sebuah program publik berdasarkan penelitian dan survey. Makanya ketika Gubernur Sutiyoso memanggil mereka, justru penguasa Betawi itu segendang sepenarian, tertarik dengan program bus gratis ini.

Saya membayangkan, daripada membangun mal, lebih baik lahan kosong dibangun Park and Ride, yakni tempat parkir luas dan menjadi titik awal perjalanan bus berikutnya. Andai pemerintah kota penyangga Jakarta, macam Depok, Bekasi, dan Tangerang menyediakan bus menuju Park and Ride. Kalau saja rencana ini terwujud, Park and Ride misalnya ada di Lebak Bulus, pekerja dari Depok, Ciputat, dan Bintaro cukup memarkir kenderaan disini, dan langsung naik busway menuju Sudirman dan Thamrin. Tiket parkir dipadukan dengan tiket bus, dan pengguna dirangsang dengan penerapan tiket multi-trip.

Kalau angkutan umum nyaman, harapan mobil pribadi berkurang akan jadi kenyataan. Asa agar memiliki jalur khusus sepeda, ada di depan mata. Mari bersepeda…!

Monday, January 09, 2006

Sapi Juga Manusia

Anyir darah meruap ditengah lenguhan dan jeritan meregang nyawa. Lalu puluhan lelaki bersenjata pisau dan parang merangsek. Badan tak bernyawa itu pun tersayat, terpotong, terbelah, lalu teronggok. Tak ada wajah sedih, semua bergembira menyaksikan “pembantaian” itu.


Hari ini, Indonesia menjadi the Killing field. Ribuan, mungkin ratusan ribu sapi dan kambing menemui ajal di tangan algojo. Anyir darah yang terbang bersama sengak pipis dan kotoran hewan, memang menjadi ciri khas di hari yang menjadi simbol keikhlasan manusia terhadap perintah Allah ini. Keihklasan yang akan dibayar NYA dengan kemuliaan.

Hari mulia kali ini bersamaan dengan bencana di Jember dan Banjarnegara. Selarik tanya terbersit nun di sanubari. Mengapa bencana itu tetap Engkau kirim. Apakah kami kurang ikhlas. Jangan-jangan bapak-bapak itu menyumbang, hanya karena bapak pejabat lainnya menyumbang. Jangan-jangan bapak anu memberi sapi karena tak mau kalah dengan bapak ono yang menyumbang kambing. Uppsss...., pagi-pagi aku sudah mengotori jiwa dengan syakwasangka buruk. Astaghfir Allah, ampuni aku, telah mengadili niat orang lain.

Namun dalam skala kecil, bagi yang rutin menyusuri jalanan, akan berpikir sama bahwa keihlasan itu masih jauh. Pengendara yang menekan klakson hanya karena ada orang menyeberang. Penyeberang jalan yang menghindari jembatan penyeberangan, hanya karena tak ikhlas energinya berkurang menaiki tangga. Calon penumpang yang memilih berkerumun di perapatan, hanya karena tak rela berjalan kaki sedikit jauh dari sana. Sopir angkutan yang memilih ngetem di bawah tanda "S", karena tak ihklas penumpang memilih angkutan lain yang melanggar.

Suara klakson bersahutan menyadarkan lamunanku. Rupanya aku minta angkot berhenti di jalur ramai di tempat larangan berhenti. Walah... Semoga keihlasan sang sapi, sebagai perwujudan keihklasan Nabiyullah Ibrahim dan Ismail, juga menjadi keihlasan bagi umat manusia. Ikhlas sapi, juga manusia.

Selamat hari raya Idul Qurban. Selamat berkorban. Tak hanya hari ini. Tapi sepanjang masa.

Sunday, January 01, 2006

Kita Bangsa Formalin

Ikan-ikan itu berenang menjauh. Goncangan kapal akibat deburan ombak, membuat permukaan akuarium raksasa naik turun. Tapi bukan itu yang membuat ikan bergejolak. Melainkan polah ikan hiu batita, yang pongah siap memangsa. Memasukkan ikan hiu ke dalam kumpulan ikan tangkapan, merupakan metode anyar yang digunakan nelayan jepang, untuk memenuhi hasrat konsumen akan ikan segar bugar. Keberadaan ikan hiu itu, memaksa ikan-ikan waspada dan berusaha melek. Masa pengawetan mengggunakan media es sudah lewat. Sebagai penyuka ikan mentah, warga jepang menuntut rasa yang lebih.

Tapi itu di Jepang. Di Jepara –dan pantai pantai lain-- beda lagi. Hantaman halimun krisis ekonomi, menjadi salah satu alasan penggunaan formalin. Media ini menyebut, seliter formalin (kl 10 ribu perak) bisa mengawetkan 10 ton kilogram, yang jika diawetkan menggunakan bongkahan es butuh 350 balok seharga lebih dari 2 juta perak. Sungguh penghematan kocek luar biasa.

Luar binasanya, penggunaan formalin ini didorong oleh pilihan konsumen. Banyak pembeli yang menginginkan ikan, tahu, juga mie yang kenyal, awet, dan tak berbau. Lhadalah, formalin-lah barang termudah untuk memenuhi kriteria pilihan konsumen ini.

Mungkin kelewat banyak mengasup formalin, tak jarang kita menjumpai perilaku pekerja “formalin” di perkantoran. Pekerja yang kenyal macam karet, yang bisa melar mengkeret --atau faham situasi-- seperti kata Iwan Fals. (jadilah karet jangan besi// sebab sebuah karet kenal semua kondisi// jadilah durno jangan jadi bimo// sebab seorang durno punya wajah seribu//). Kelas kenyal ini memang menghasilkan pekerja yang awet, tak kenal turun jabatan apalagi dipecat. Sekaligus tidak berbau, wangi jali-jali karena tidak perlu banting tulang, atau tidak memiliki cacat di mata atasan.

Tengoklah lingkungan terdekat. Kawan yang memilih berbeda jalan dengan atasan, justru bekerja super awas bin waspada. Siaga karena ada banyak mulut yang siap memangsa. Mungkin tekanan justru merangsang mereka belajar lebih tekun, berpikir membuka kemungkinan-kemungkinan dalam karir. Dalam hidup. Makan ketika mereka keluar atau dikeluarkan, justru tetap, bahkan semakin payu. Sementara yang ABS (Asal Bapak Senang), terlena dalam zona nyaman dan aman. Sibuk memanjangkan lidah sehingga lupa harus bekerja secara baik. Ia telah tersiram formalin yang mengawetkan. Tak peduli efeknya membuat iritasi sejawat, atau kelak menjadi kanker bagi saudagar penggaji.

Kaum pekerja sedunia, bersatulah. Tapaki 2006, dengan memilih jadi ikan jepang apa ikan jepara.

judul diilhami dari pidato bung karno: “jangan menjadi bangsa tempe”

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini