<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Friday, December 30, 2005

Makin Asyik Aja di 2006

Ombak yang memabukkan dan mengombang-ambingkan itu, sirna sudah. Kerlap lampu pelabuhan --sekecil apapun itu-- adalah tanah pengharapan. Warsa 2005 yang sudah senja, membawaku berlabuh di Taman Mini.

Sejatinya, aku sudah mendapat exit permit, izin berlabuh sejak september. Hanya beberapa saat pulang dari Norwich. Aku meminta waktu setelah puasa dan lebaran berlalu. Disinilah pusaran ombak datang menerjang panjang. Memabukkan dan mengombang ambing. Hanya sehari sebelum janji ditunai, syahbandar sebuah pelabuhan jiran datang meminang. Tentu saja ia menawarkan kepeng ongkos bongkar muat yang lebih memukau. Ada pula tawaran menjadi suhu di padepokan ternama, yang membuka jalan menuntut ilmu hingga ke negeri cina.

Maka, meski tak berkegiatan hidup tak terasa sepi. Pagi terasa indah, menyesap kopi susu ditemani kokok ayam sayup suara. Benar kata pepatah, “Don’t start the day without hope”, aku pun mengisi hari dengan penuh harap. Kerani Taman Mini yang memintaku segera berlabuh, kutolak dengan kilah negosiasi. Sebetulnya itu hanya untuk menyuburkan snobisme profesionalisme belaka. Hingga suara itu datang dari kawan serakit sedayungan. “Sejak kapan di rumah ini, materi menjadi pertimbangan utama”. Menohok, menyayat bak sembilu nun jauh di lubuk kalbu.

Pekan pamungkas warsa 2005 pun menjadi saksi. Aku menjatuhkan pilihan ke Taman Mini. Diamanati menjalankan program Lintas 5, yang tayang pukul 5 petang. Tiga bulan mereka rela menanti, pastilah ada sesuatu asa dibaliknya . Terasa ada walau tak dikatakan. Bersaing dengan kakak seperguruan? Ah, itu terlalu muluk.

Begitulah. Kata kembara bestari, “Pelabuhan adalah tempat paling aman bagi sebuah kapal. Tapi kapal tak diciptakan untuk itu”. Maka pelayaran belumlah usai. Pelabuhan yang lain masih mungkin akan tersinggahi. Kapan dan dimana, entahlah. akhirul kalam, semoga warsa 2006 yang sudah di depan mata, memberikan manfaat, kemudahan, dan kenikmatan. Serta membuat hari-hari kita, Makin Asyik Aja...!

Friday, December 23, 2005

Kaos Undang Chaos

Stasiun kereta UI siang itu tak terlampau ramai. Aku duduk menunggu, seraya melempar pandang ke orang-orang yang lalu lalang. Mataku tertumbuk dengan selarik kalimat pada kaos yang dipakai seseorang. “I’m hotter than your gilrfriend”. Terhenyak, aku mencari tahu si pemilik kaos. Wow, wajahnya manis, gayanya modern, dan tampilan khas mahasiswi. Menilik dandanan dan penampilannya secara umum, ia tak terlihat binal apalagi nakal. Tahukah ia makna tulisan itu.

Bukan sekali ini saja aku bertemu dengan kaos bertuliskan hal diluar dugaan macam itu. Kali itu malah lebih gawat: “Click this if you want to see me naked”. Masya Allah, titik di huruf “i” pada kata “this”, tepat di bagian yang kalau di-click bisa mengundang chaos, kekacauan. Perempuan itu naik di halte di seberang kampus IISIP, yang biasa disebut halte kampus. Aku yakin dia mahasiswi juga.

Berada di tempat umum dengan memakai baju provokatif model itu, tidakkah berbahaya. Potensil mengundang pelecehan, mengingat aturan hukum tentang hak-hak perempuan yang kurang kuat. Coba kalau ada yang usil bertanya, “Really?”. Atau nekat mencoba meng-click titik “i” tersebut.

Boleh jadi baju tersebut dibeli di luar negeri sana. Kultur, kebiasaan, etika, dan hukum yang berbeda bisa menuai tindakan yang berbeda pula. Disana, jangankan menjail, bersuit, menatap saja jika membuat seorang perempuan tak senang, sudah cukup membawa kasus ini ke polisi dengan tuduhan pelecehan seksual. Aku ingat musim panas beberapa bulan silam di Norwich. Ketika bersilih dengan seorang perempuan yang mengenakan kaos tipis, belahan rendah, sehingga sesuatu yang membongkah dibaliknya nyaris mencelat. Yang bikin terkesima, tulisan di kaos itu: Not just for baby only!". Alamaaakkk.... pengen mimik.

Sunday, December 18, 2005

Biarkan Air Mengalir


Sungai Musi, Palembang

SENJA yang menua menyungkupi jembatan Ampera, Palembang. Semburat keemasan berpendar di atas sungai Musi yang kecoklatan. Puluhan orang menikmati petang di seputaran jembatan legendaris itu, dari Plaza Benteng Kuto Besak (BKB). Tempat yang dulu sumpek, dipadati pedagang buah dan sayuran, memupur wajah untuk menyambut semboyan Palembang, sebagai “Kota Wisata Air”.

Selain pengamen, seseorang mendekakti kami. Rayunya, tak lengkap menonton sungai Musi tanpa melayarinya. Ia adalah nakhoda perahu bermesin yang tertambat tak berdermaga. Tawar menawar, harga pas, tancap gas. Erat kedua lenganku mencengkram pinggiran perahu berdimensi 1,5 kali 3 meter itu. Kami berenam, dan sang nakhoda menyesaki perahu yang tampak kecil di alur sungai Musi yang lebar.

Perahu memutar sebat di bawah jembatan Ampera yang legendaris, menyisakan percik air di muka. Kami mencoba tertawa, meski terdengar getir, karena tawa itu hanya penawar rasa takut. Agaknya si nakhoda menikmati rasa khawatir kami. Sesekali ia tancap gas seolah tak melihat perahu lain yang akan bersilih. Setelah dekat baru ia berbelok. Atau melayari gelombang yang diciptakan kapal berukuran besar, yang rasanya seperti berkendara di jalanan berbatu. Syukur, setelah 25 menit, perahu akhirnya menepi.

Naik speed boat di sungai Musi ini melengkapi “petualangan” menyusuri sungai di York, Cambridge, Ely, dan London, serta di Amsterdam. Memang, sungai merupakan salah satu andalan kota-kota di Inggris. Tak terkecuali Belfast, wahah di Irlandia Utara yang dilanda perang saudara.



Berlayar di London

Namun, kali ini paling segalanya. Paling mengerikan. Paling murah, hanya 40 ribu satu perahu. Bandingkan di York, 9 Pound (kl 160 ribu/orang), di Cambridge 8 Pound (kl 145 ribu), dan Amsterdam 7 Euro (kl 70 ribu). Juga paling cuwek. Si nakhoda hanya tersenyum simpul ketika kutanyai apakah ia menyediakan pelampung. Biarlah, ia tak sendirian. Ada jutaan kepala di negeri ini, yang menganggap kecelakaan, kemalangan merupakan takdir yang tak bisa dicegah, meski dengan penyediaan infrastruktur yang baik.

Kembali ke Benteng Kuto Besak. Benteng ini adalah peninggalan Belanda yang dulu digunakan sebagai pos pemantau musuh yang datang dari air. Lama ia dia teronggok tanpa makna. Hingga Palembang ketiban sampur sebagai tuan rumah PON. Segalanya pun berubah. Bisa jadi, otonomi daerah yang mengembalikan Sumatera Selatan sebagai provinsi ke-lima terkaya, turut berpengaruh. Terlambat. Ya, karena sama dengan kota-kota di Inggris, sungai merupakan pelengkap sebuah kota. Tak aneh, sebab sungai adalah sumber penghidupan yang menjadi pusat aktivitas sebuah komunitas sebelum ia membesar menjadi kota.

Tak hanya Palembang. Nyaris seluruh kota di Indonesia punya sungai pembelah kota. Sekedar mengabsen, Kalimas di Surabaya, Cikapundung di Bandung, Ciliwung di Jakarta, dan Krueng Aceh di Bandaaceh. Tak terhitung pula situ atawa danau. Ada banyak potensi wisata yang menguntungkan di sungai ini: cruishing, resto terapung, pemancingan. Semuanya bisa tanpa merusak fungsi sungai, dan membiarkannya berdampingan antara kekinian dengan ke-baheula-an.

Petang itu, di Plaza Benteng Kuto Besak, yang sudah dipenuhi banyak coretan aku membolak balik koran Sumatera Ekspress. Pada salah satu halamannya terbaca: “Seorang pengusaha papan atas, berminat membangun hotel dan mall di Benteng Kuto Besak”. Ah, mengapa banyak pula kepala yang berpikir bahwa mall adalah ruang publik yang paling dibutuhkan masyarakat?.

Kumandang azan dari Mesjid Agung yang tak jauh dari jembatan, membuyarkan lamunanku. Sejenak tadi, aku terkenang ketika menyusuri sungai Seine di Paris sana, yang dibiarkan indah ditengah modernitas sebuah negeri maju.

Wednesday, December 07, 2005

Malam di Kamar 507

Foto taken by Chika HakimKupandangi cairan infus yang menitik perlahan. Disana ada aura kehidupan. Lalu berpaling ke langit-langit yang memutih. Disana ada aura kebosanan. Beruntung aku kebagian di sebelah luar dari kamar berkatil tiga ini, ada bagian pemandangan alam, sehingga aku tak terkungkung hanya berteman botol infus, langit-langit, dan gordin.

Dalam dua pekan terakhir, aku tinggal di kamar ber-view luas. Mulai dari kamar 605 di Rayong Beach Resort, 500 kilometer di luar kota Bangkok. Lalu kamar 913, Royal River Hotel di tubir sungai Chao Phya, yang membelah kota Bangkok. Sayang, yang terakhir adalah kamar 507, adanya di RS Mitra Internasional, Jatinegara. Begitu tiba di Jakarta, oleh-oleh panas dan pening yang kubawa dari Bangkok, membawaku ke kamar 507 ini. Positif demam berdarah(DBD). Gusti Allah Sang Maha Penulis skenario yang Agung, membuat suka dan duka dalam scene hidupku, begitu cepat bersilih.

Nyamuk aedes aegepty telah menggerogoti trombositku hingga titik rawan 14.000 (dari jumlah minimal normal 150.000). Meski sempat mimisan dan pendarahan gusi, sejatinya aku merasa semuanya berjalan oke. Di malam pertama, Ari malah aku larang ikut “melantai” di rumah sakit. Aku masih bisa berdikari. Ke kamar mandi sendiri, makan sendiri. Apalagi petuah dokter, selama tujuh hari sejak panas bermula, trombosit akan turun terus tanpa bisa dihambat. Infus, banyak minum bukan menaikkan, hanya membantu menurunkan panas, agar infeksi tidak berlebihan, dan mengeliminir pusing, demam, mual, dan pendarahan.

Image hosted by Photobucket.comTapi rupanya tidak demikian bagi yang melihat dan hanya mendengar. “Babe sehat dong, babe gak pantas sakit”, begitu sms yang melayang jauh dari keluargaku di Norwich sana. Keluarga di kampung, belajar dari pengalaman empirik kegagalan penanganan DBD, karena sepekan sebelum lebaran keponakanku berpulang karena penyakit ini. Bisa juga karena kulakan berita di TV, tentang akhir tragis penyakit ini (padahal wajar tokh, TV emang senangnya menampilkan gambar dramatis keluarga korban yang menangis tersedan, ketimbang keluarga yang pulang karena sehat).

Itu semua menjadi cermin yang membuat sanak saudara handai taulan khawatir berganda. Apalagi ini adalah pengalaman pertamaku kena jarum infus dan ngendon di rumah sakit. Mungkin karena kesulitan memilih kata yang make sense tentang arti penurunan trombosit, abangku di kampung menjelaskan dengan bahasa sederhana, “ darahnya tinggal sedikit”. Maka mereka pun segera menggelar Yasin-an, yang pastilah sambil mendaras doa-doa dibawah untaian air mata. Mamak dan Abang yang sedang dalam persiapan keberangkatan haji di Palembang, segera terbang. Adik dan keponakan yang bersekolah di Bandung dan Yogya, muncul. Pun saudara dan teman2 yang ada di Jakarta, ngeluruk ke rumah sakit. Ada yang membawa doa dan semangat, ada yang membawa jus jambu yang melihat merahnya saja sudah membuat aku mual saking overload. Ada pula yang membawa angkak, obat tradisional Tiongkok kuno, yang rasanya pahit dan baunya sangit, tapi dipercaya menggenjot jumlah trombosit. Tak terhitung pula sms, hingga nun jauh dari Perancis sana. Kamar 507 pun hiruk pikuk sepanjang hari, selama 6 hari.

Begitulah, setelah larut malam, aku kembali ke kesendirian. Berteman langit-langit, kerlip lampu di kejauhan , dan jarum infus. Jarum yang membawaku kepada kesadaran, bahwa tiada yang lebih nikmat daripada sehat. Jarum yang membuatku setengah tak berdaya, menghambat kegiatan menulis (sehingga tulisan ini pun harus dibuat beberapa hari setelah kembali ke rumah), membaca, tidur tengkurap, dan (maaf!) buang air besar. Waktu luang itu pula yang membawaku merenung, apa yang telah kuperbuat di usia menuju laruik sanjo ini. Memahami betapa banyak sayang yang terlimpah daridunsanak, handai taulan, dan rekan sekalian. Sadar bahwa bagi para tetua, anaknya ini tak pernah sungguh besar dan mampu berdiri sendiri. Anaknya ini boleh terbang jauh kemana-mana, tapi tetaplah anak yang merindukan belaian dan suapan kasih sang induk. Ah, sebuah bentangan jejaring sosial yang sukar aku telaah. Betapa beruntungnya aku berada dalam jejaring kekerebatan yang mencipta rasa aman.

Malam semakin menyayukan mata. Sebelum benar-benar terlelap, aku kembali memujakan syukur, meski ini hanya kamar kelas III, tapi cukup apik dan resik untuk beristirahat. Tak terbayang bagaimana pedihnya, ditengah pusing, demam, dan mual yang membutuhkan kelezatan tempat berihat itu, harus terbaring di velbed lorong rumah sakit yang berangin dan berisik, seperti yang dialami banyak saudara kita yang lain demi harga yang ringan. Ya Allah, sesungguhnya sehatku, sakitku, hidupku, dan matiku, adalah Karunia-MU.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini