<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Tuesday, September 27, 2005

Kabar dari Kober

Genap sepuluh hari tak bersentuhan dengan teknologi internet, ditandai dengan munculnya 700 lebih inbox di emailku. Sedih tak bisa membalasnya satu persatu. Sedih karena “hilang” dari sebuah domain pergaulan.


Tapi apa mau dikata. Tiga hari pertama didera jetlag yang membuat jam tidur terganggu. Sementara kerabat, dan handai taulan yang datang maupun bertelepon, tak hirau dengan kondisi ini. Jadilah krang kring jam 6 pagi, padahal saat itulah kantuk mulai menyerang bersamaan dengan tengah malamnya waktu Norwich. Lantas tiga hari terakhir, perutku yang mendadak dipenuhi gulai kapalo kakap, pecel lele pete tahu tempe, sate padang, batagor, bakso, opor ayam, tiba-tiba protes, berbalik menolak makanan. Sebah, kembung, dan diakhiri muntah (sesuatu yang kutakuti, selain disuntik dan anjing :D)

Belum lagi suhu 32 (nyaris setengah suhu air mendidih) yang membuat kepala menggelegak, melingkupi Depok sepekan terakhir. Sempurnalah kemalasanku. Ini membuatku malas beranjak dari enclave milik engkong Haji Sainan. Aku sebut enclave, karena lokasi kontrakan di jalan Kober ini, hanya seratus meter dari hiruk pikuk jalan Margonda yang tak pernah sepi 24 jam. Berada di balik tembok yang hanya menyisakan jalan pas satu mobil, dilingkari kebun pisang, belimbing, dan rambutan, membuat kawasan ini seperti terpisah dari kebingaran Depok.

Bermain internet berarti harus pergi ke jalan Margonda. Tak rela rasanya meninggalkan kedamaian kecil ini. Pernah kucoba menggunakan telkomnet instant dari rumah. Aduh, boro2 posting, baca aja gak kesampaian. Setelah menunggu dan malah menghasilkan kondisi disconnect, akhirnya kuputuskan saja. Tentu saja dengan perasaan kesal yang kututupi dengan rasa syukur, bahwa aku pernah mendapatkan fasilitas internet tanpa batas waktu.


Sungguh ini bukan kilah, alasan, atau permaafan. Ini hanya sebuah Kabar dari Kober. Kabar pertama setelah seratus lebih kabar dari Gloucester. Kabar ringan ditengah serbuan kabar duka flu burung, demam berdarah, antrian BBM, kelaparan, dan heboh foto telanjang berbungkus seni Anjasmara. Selamat bertemu lagi, juga selamat berpuasa.

Sunday, September 11, 2005

Go..go..Glasgow

Syahdan, disuatu pagi yang basah. Terbangun, si Englishman segera sarapan. Pilihannya roti berbalut marmalade, bikinan ibu Keiller from Dundee. Bersiap pergi, ia menyampir jas hujan, buatan seniman cum arsitek Charles McIntosh. Ia lalu menyetir mobil inspirasi James Watt. Melaju di jalanan, ban mobilnya yang dibuat John Boyd Dunlop, beradu dengan jalanan yang dilapis bebatuan hasil kerja John MacAdam. Kerja hari itu, diawali si Englishman dengan menggunakan telepon karya Alexander Graham Bell. Ia mengontak dokter, perihal obat penicilin temuan Sir Alexander Fleming. Karena nanti sore ia akan menjemputnya dengan mengayuh sepeda kreasi Kirk Patrick MacMillan.

Kisah ini mudah dijumpai bila berpergian ke Skotlandia. Dalam bentuk tulisan yang tertoreh di kain atau kertas, dan dijual di gerai barang cenderamata. Entah congkak entah bangga, dua kondisi yang nuansanya berbeda setipis kulit bawang belaka. Atau sekedar "ketidak-relaan" para Scottish berada dibawah hegemoni Englishman. Maka bendera Skotlandia, garis silang putih diatas warna biru pun berkibar bersama Union Jack, penyatu Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Irlandia, dan Wales).

Berhenti di pagar kampus Universitas Glasgow, nama sejumlah ilmuwan penemu pun terpatri disana. Ada Adam Smith, nama yang pasti dikenal oleh mereka yang belajar ilmu ekonomi. Juga Lord William Thompson Kelvin, yang moncer di kalangan pembelajar ilmu fisika, dengan teori termodinamikanya. Kebesaran nama James Watt diabadikan sebagai nama gedung fakultas teknik.

Glasgow, kota terbesar di tatar Skotlandia, merupakan kota revolusi industri pertama yang dijalankan di Inggris Raya. Kota ini memiliki tipikal pekerja dimana banyak pabrik dan industri berat. Tak heran, di jalanan mudah dijumpai orang-orang berjas, berjalan kaki atau naik bus kota.

Namun sebagai kota industri, tak berarti Glasgow kehilangan ciri kota tua khas kota-kota lain di Inggris. Menara kampus Universitas Glasgow, menjulang tinggi bak kastil di pinggang bukit. Kampus yang dibangun abad 14 ini, merupakan kampus tertua ke-empat di Inggris Raya.

Kemurnian adalah kekuatan. Mungkin ini tepat buat Glasgow. Kota industri bukan berarti pabrik dan cerobong asap menjulang. Glasgow membiarkan kota tua seperti sedia kala. Taman kota, katedral hitam menua, dan berhala para tetua. Tapi ia juga berkembang mengekor jaman. Maka, sedikit saja lepas dari tengah kota, di kawasan Pacific Quay, terhampar bangunan bak keong raksasa bernama Armadillo. Disebelahnya, tegak gedung megah, SECC (Scottish Exebition Confrence Center). Sesuai namanya, ia tempat pameran dan konfrensi, yang dipercaya terbesar di Inggris Raya. Kawasan Pacific Quay, tadinya adalah kawasan industri kapal laut yang dibangun ulang menjadi taman dengan menyemai berbagai bibit pohon. Sisa kejayaan industri kapal, berupa crane masih berdiri gagah menjadi salah satu landmark Glasgow.

Di sore yang berguyur gerimis itu, SECC ramai oleh ABG berdandan metal yang ingin menonton konser. Aku bergegas kembali, menyuruk di kanopi Bell's Bridge, yang dibangun untuk memudahkan pejalan kaki melampaui jalan bebas hambatan dan rel kereta api.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini