<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Tuesday, June 20, 2006

Jauh Pengadil dari Batil

Perancis menangis, Brazil berhasil. Obrolan itu terus mengiring sepanjang jalan yang macet di Senin pagi. Sopir ini menguasai jagat bola, seperti pemahamannya terhadap jalan dan dinamikanya. Penumpang yang duduk di sebelahnya, tak kalah sigap. Ia bahkan memuja wasit, yang katanya super tegas.

Tiba-tiba, “Dasar polisi sialan, mata duitan” umpatnya kesal, melihat polisi mengarah ke angkot 19 yang lain. Angkot itu, tertahan karena KRL sedang melintas di Tanjung Barat. Dan ia berhenti di jalur menuju Pasar Minggu, sehingga menutup arus. Angkot yang semula keukeuh oleh klakson di belakangnya, akhirnya ngacir ke arah yang salah. “Daripada 20 ribu melayang, mending buang waktu”, kata si sopir terkekeh.

Diskusi bola terus berlanjut. Si bapak yang memuja wasit lalu bercerita tentang kekalahan Serbia Montenegro dari Argentina 0-6.

"Udah kalah, pemainnya di kartu merah lagi. Mestinya gak usah ya. Kasian"
"Iya, tega kali," sambung si sopir.


Bagi penikmat bola di tanah air, --yang setiap hari disajikan wasit yang menjadi bulan-bulanan pemain dan penonton--, sikap wasit di Piala Dunia memang pantas dipujikan. Wasit menjadi penganjur ketertiban, melarang kekerasan, menjaga ritme persaingan, serta menghindari tindakan batil semacam pembegalan dari belakang. Meskipun, wasit tetaplah manusia yang memiliki sisi lalai, sehingga sering dimanfaatkan pemain dengan tipuan diving, tetapi ia telah mempraktekkan sikap pengayom. Sikap yang harus diemban aparat negara dan hamba hukum.

Jangan2 aparat kita punya sifat ini, tetapi kalah oleh ketidak tegaan. ANgkot pun dibiarkan berhenti sembarangan, karena itu menyangkut receh seribu dua. Polisi membiarkan ojek melawan arah, karena alasan serupa. Pun ketika PKL mengokupasi trotoar dan halte.

Padahal tanpa sadar, pembiaran ini membuat rasa keadilan kita immun. Lalu ketika muncul kasus besar kita terperangah. Sebutlah, pengampunan mantan Presiden Soeharto, penolakan hakim tipikor memeriksa ketua MA, dan ketidakmauan polisi menyidik bekas bossnya dalam kasus suap BNI.

Lamunanku buyar. Seorang anak kecil nangkring di lantai angkot. Melantunkan lagu Samson: "Aku.. adalah lelaki". Mestinya jam segini, ia duduk di bangku sekolah, dan menyanyi: "Aku seorang kapiten..". Melihatnya, aku tersadar, jauh panggang dari api bicara aturan, jika urusan perut masih barang utama. Begitukah?

Friday, June 09, 2006

Awas Tiga Singa


Dingin membungkus siang yang basah. Kami terpaku di halte tanpa atap, di depan supermarket Morrison . Bus 25 yang menurut jadwal datang tiap 30 menit (khusus Sabtu), tak kunjung nongol. Ada apa gerangan, pelayan publik ini berani mangkir. Oho..ternyata ini Sabtu, kesebelasan Norwich City yang stadionnya bersisian dengan Morrison akan main sore itu.

Inilah dampak terparah jika ada pertandingan sepak bola. Selebihnya, biasa saja. Anak-anak, kakek nenek, bahkan orang cacat pun ikut menonton. Tak ada ketakutan rusuh, tak ada lempar2an, tak ada merusak stadion dan fasilitas kota jika tim kalah. Sebab sepakbola adalah hidup itu sendiri.

Bagaimana kehidupan sehari-hari warga Inggris, lihatlah bagaimana pertandingan sepakbola mereka. Penonton yang berdiri di belakang garis, tetap diam meski tak ada pagar besi pembatas. Pemain yang patuh total kepada wasit. Wasit yang kejam, menghukum pemain hanya karena tersenyum sinis.

Kenapa mereka patuh pada aturan. Ya karena sepak bola adalah kehidupan itu sendiri. Tak ada orang yang mau berbuat onar, karena itu artinya dia di blacklist sebagai anggota Fans Club. Artinya, dia tak bisa nonton bola seumur-umur di stadion. Pemain juga demikian. Prestasi dan kelakuan buruk, berakibat harganya turun, dan berujung putusnya karir.

Bukankah fans Inggris terkenal sebagai hooligan, perusuh akbar. Setiap bicara hooliganisme, orang pasti merujuk pada tragedi Heysel, Belgia. Aku sendiri melihat, media mengangkat hal ini, karena Inggris menganut hukum Anti social behaviour. Dalam pasal ini, jangankan merusuh, menatap perempuan dan si perempuan merasa tidak senang, bisa diperkarakan.

Begitulah. Jumat besok perhelatan sepak bola dunia di Jerman akan dimulai. Inggris, the three lions, akan menjadi salah satunya. Apakah Rooney, Walcot bisa menghidupkan panasnya persaingan, saksikanlah!. Go England!!

Monday, June 05, 2006

Bandung, Miris van Sampah

Hujan membasahi pagi. Titik kecil tak deras, tapi dingin menusuk ngilu. September 2004, Norwich yang autumn bersuhu 10C di pagi hari. Suhu yang berbeda jauh dengan Jakarta, yang baru kami tinggalkan dua hari bersilih.

Suara gradak gruduk di bawah, memaksaku lepas dari jeratan duvet. Mengintip dari jendela lantai dua, melihat tukang sampah sedang memindahkan isi tempat ke kereta dorongnya. Gila. Kardus bekas kami membawa rempah dan bumbu untuk setahun, diterlantarkan begitu saja. "Tukang sampah apaan nih", pikirku.

Baru setelah housemate kami, yang sudah setahun di Norwich bangun, aku tau jawabannya. Pertama: the bin man hanya mengangkat sampah yang terikat rapi dalam plastik. Kedua, kardus dalah jenis recycle bin, yang pengangkatannya berbeda hari dengan sampah basah. Dan sampah kardus, botol, kertas, dan kain harus ditaruh di halaman, bukan di belakang. Jangan2 tukang sampah tadi, ekawicara: "warga macam apaan nih"

Ya, pelajaran sosial pertama tinggal di Norwich, adalah soal sampah. Penanganan sampah sudah dimulai dari dapur, dengan pemisahan dan penempatan yang baik. Pantesan hanya 2 orang yang mengoperasikan truk besar itu. Sayang, aku tak pernah sampai ke area pengolahan, sebab sama sekali tak menyangka, akan terjadi darurat sampah macam di Bandung saat ini.

Kini bukit dan gunungan sampah merebak di antero kota Bandung. Bukit sampah itu, seperti mengejek sawargi Bandung, yang memapas bukit jadi griyo, FO, resto. Sampah memang harus dilihat bukan sebagai tumpukan pembuangan belaka. Tetapi sebagai sampah sebagai muara penerapan aturan yang keliru.

Ketika sungai banjir di msuim hujan, kekeringan di masa kemarau, kita alpa bahwa itu disebabkan pinggiran kali tak tertangani dengan baik. Ketika jalanan macet, akibat penempatan mal dan warung di belokan jalan, kita khilaf bahwa itu bukti penerapan IMB tidak sesuai aturan.

Banjir dan macet berlalu seiring waktu. Tapi sampah tidak. Baunya menyengat hingga istana. Presiden yang datang ke Bandung pun, mengaku mencium uapnya. Padahal, ia ada di dalam mobil mewah, dan sepanjang jalan yang dilaluinya pasti sudah "ditertibkan" aparat lokal. Lalu, seperti apa pula bau yang tercium warga Bandung?

Kalau sesuatu yang sudah terduga macam sampah ini, tak bisa diatasi, pegimane pula dengan gempa Sabtu kelam di Bumi Mataram? Subhanallah.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini