<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://draft.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Saturday, September 30, 2006

Riwayat Negeri Pilu

Terik mentari menyinari pagi bekas hujan. Kurang sempurna apa untuk bepergian. Kuraih sepatu Clark dari dalam kotak. Sejatinya, musim panas begini, enaknya pakai sandal. Setelah berbilang bulan kaki selau tertutup sepatu, apalagi kaos kaki tak lekang kecuali mandi. Tapi tidak. Setelah kubeli akhir tahun lalu saat boxing day –dimana harga dibanting serendah2nya—sepatu itu belum pernah kupakai.

Sejenak aku sudah menunggu bus 25, yang akan membawaku ke city center. Ada 2 halte di pusat kota, aku memilih halte di dekat boots. Lebih asyik jalan kaki dari arah situ, banyak pemandangan. Lagi pula sikat gigiku udah mulai rusak. Tepat, oral b lagi dijual bogof (buy one get one free). Sedikit ragu, ada sabun mandi adidas juga lagi diskon. Tapi kami masih punya persediaan. Ari beli beberapa sabun dari bodyshop. Beli ah, baunya lebih pas dengan body splash harvard keluaran Mark and Spencer ku.

Lanjut lagi. aku mampir di Mark and Spencer. Panas begini kerongkongan cepat kering. Kuraih sebotol minuman. Kalau beruntung, suka ada bogof juga. Kali ini tidak, tapi tak apa. Tokh harganya sama saja dengan merek lain macam volvic dan evian. Aku menyeberang, berhenti sesaat di Debenhams. Di depannya ada pengamen menggunakan bagpipe dan pakaian khas skotlandia.

Ari sms menanyakan aku dimana. Ia bersama teman Indonesia lain sedang berburu diskon di Topshop dan Topman. Aku meluncur, tapi aku tak masuk. Aku malas, sebab modelnya tak lebih bagus dari distro yang bertebaran di bandung sana. Aku memilih duduk di bangku taman, memandangi orang melintas. Di sebelahku duduk beberapa buruh bangunan yang sedang merapikan trotoar. Mereka sedang istirahat makan siang. Ada yang menyesap kopi starbuck, ada pula yang coke. Tak lupa penganan seperti sandwich, fish and chip, dan entah kenapa pisang. Mereka sangat senang makan pisang.

Istriku, Ari sms lagi, mereka lanjut ke Miss Selfridges. Dasar orang Indonesia, beli kalau diskon doang. Maklum pelajar, dengan beasiswa yang untuk ukuran orang inggris masih lebih rendah dengan UMR cleaner. Aku malas gabung, aku berjalan-jalan saja. Mampir sejenak di NEXT, aku beli kaus kaki. Lagi diskon, 3 helai hanya 3 Pound. Harga yang sama dengan buatan Bata. Terus melintas di salon Tony and Guy. Letaknya, jika dibanding salon Johny Andrean yang banyak di mal-mal, jauuhh. Aku tertarik dengan sebuah toko penjual bijo kopi. Ia memajang toples kaca gede, mirip di pasar tradisional. Duhai gusti, harga yang paling mahal goes to kopi mandailing. Kopi nikmat yang pernah aku sesap di pinggir Aek Singolot, Purba Baru. Nun jauh, bangsaku memuja kedai kopi bermerk Barat.

Ari telpon, berjumpa di rumah makan Cina. Jauh-jauh merantau aku tetap Indonesia tulen, my stomach growl if i dont eat rice everyday. (aku bersyukur, bahwa aku bukan Indonesia dalam bentuk lain: makes major decision based on gengsi).

Aku teringat masa di Norwich ini, setelah dua media besar pekan lalu menulis tentang konsumtivisme yang makin menggila di Jakarta. Ditandai dengan serbuan merk Inggris. Tentunya aku tak ingin mengadili bahwa memuja barang bagus itu salah. Hanya mau sampaikan, di negara asalnya sana, barang2 itu bagian dari keseharian belaka.

Pulangnya kami menunggu bus, di depan toko buku WH Smith. Oh ya, kota Norwich yang kecil ini memiliki banyak sekali toko buku. selain WH Smith, ada Ottakar juga Waterstone. Aku ngunandika, kenapa ya para pesohor Indonesia itu tidak ada yang membawa wabah toko buku ini ke Jakarta sini.

Saturday, September 16, 2006

Waktumu Uangku

Angkot itu berhenti lagi. Aku nikmati saja. Aku duduk sendirian di depan. Kebetulan kantorku pun, tidak saklek soal jam kerja. Tapi tidak dengan mbak2 di belakang. Ia menggerutu. Karena angkot tak jalan juga, ia pun turun.

"Ngejar waktu nih, bang", katanya sewot, sambil melemparkan gumpalan uang kertas. Sopir tak kalah gertak. Katanya, "Kalo mau cepat naik taksi, mbak".

Aku senyum di kulum. Ingat kelakuan sohibku, Mas Paijo kondo-kondo. Suatu kali, ia naik angkot, ngejar waktu. Ketika ia desak untuk jalan, sopir menjawab "kalo mau cepat naik taksi". Tapi ia tak marah, apalagi turun. Tabah. Kelak, ketika ia sampai tujuan, barulah "ketabahan" nya terungkap. Ia hanya membayar seceng, dari yang seharusnya noceng. Ketika sopir angkot bilang kurang, dengarlah jawabnya: "Kalo mau dapat ongkos mahal, jadi sopir taksi". Haha...

Begitulah. Aku salut sama si mbak dan mas paijo. Si mbak berani menanyakan sesuatu yang menjadi hak publik. Hak memperoleh layanan, karena telah membayar. Di negeri maju sana, dimana bus dikelola negara, warga yang merasa pembayar pajak, bisa protes. Termasuk jadwal yang harus ditepati.

Jika ini bisa dipenuhi, maka angkutan publik disuka, bukan mimpi belaka. Jadi, tak perlu taksi khan, buat cepat.

Sunday, September 03, 2006

Berakit ke Tepian

”Jembatan bang”, teriak penumpang kepada sopir. Ini udah berulang kali terjadi, setiap melintasi jalan Raya Bogor. Pagi ini akhirnya, aku cari, apa gerangan yang menbuat tempat turun ini bernama “jembatan”. Biasa, bangsa ini sangat kreatif menciptakan nama berdasarkan kondisi, situasi. Sebutlah, Pasar Jumat, Pasar Senen, atau Jembatan Lima.

Kreativitas yang pantas diacungi jempol. Kreativitas yang didorong ketiadaan aturan. Dimana halte hanya pajangan, dan penyebarangan masih jauh dalam harapan. Padahal, halte dan penyeberangan, adalah bukti kecil ketaatan kepada hukum, dan penanda sebuah peradaban kota.

Kembali ke jembatan. Benar, tepat di seberang RS Tugu Ibu, ada jembatan kecil. Hanya terlihat dari balik deretan kios. Jembatan memang banyak disini, karena ada sungai persis di sisi jalan. Di beberapa bagian, terutama kawasan pabrik, seperti YKK, Bayer jembatan itu jelas, karena tidak ada bangunan penghalang.

Memang, nyaris sepanjang jalan dihiasi bangunan. Umumnya semi permanen. Aku berani bertaruh, banyak bangunan yang berdiri bukan di atas tanah pemilik sah. Bayangkan, jarak antara jalan raya dengan tubir sungai hanya sekitar 3 meter. Bagaimana mungkin, tanah itu ada pemiliknya.



Foto di Ely, Norfolk, UK
Sungai Ely di UK
Nah diatas bangunan "liar" itulah berbagai aktivitas berlangsung. Mulai dari jual tiket, warteg, hingga pencucian mobil. Sungguh berbahaya. Aktivitas terus menerus dalam jangka panjang, akan mengurangi kekuatan struktur tanah. Pelan2 akan tergerus, dan suatu masa, akan longsor. Nauzu billahi min zalik.

Ketika masa itu tiba, barulah kita tersedar, betapa sungai itu nikmat Allah yang berbahaya, jika tidak dikelola. Sebaliknya, amat indah, jika dikelola. (Aku pernah lihat iklan, ada buku "power of water"). Nyaris semua kota2 di Eropa sana, memasukkan sungai dalam brosur wisata. Kita? Menganggap sungai adalah pembuangan. Itulah pula, bangunan rumah (nyaris) selalu membuat sungai sebagai bagian belakang.

Di atas angkot yang terus melaju, aku mengkhayal suatu masa, berakit2 di Kali Ciliwung bak Kapten encik Awang. Sambil mengenang kecantikan Siti Maemunah, putri Pangeran Geger dan Nyai Polongan yag kesohor itu. Dayung, bang....!!!!

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini