<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Thursday, July 27, 2006

Hilang Tak Berbilang

Moncong mobil yang kami tumpangi terus memaksa masuk jalan Margonda Raya. Tepat di simpang Kober, angkot menyesak tanpa rasa salah. Akibatnya kami harus menengah, padahal kenderaan yang melaju di jalan Margonda Raya, tak kalah buas siap menyergap. Suara klakson pun menyaru-nyaru kejam, karena jalur terhalang. Apa boleh buat, jika harus menunggu, kapan bisa jalan.

”Kalo nyetir di Inggris, pasti kita udah ketabrak nih”, kataku begitu huru hara itu berlalu. Keponakanku langsung menyambar, “Macam apa rupanya jagonya orang Inggris itu nyupir, Tulang”. Ia wajar “tersinggung”. Sebab jam terbangnya di jalan raya sudah tak diragukan lagi. Sebelum tiba di Depok, ia sudah menyetir dari Palembang, Semarang, Jombang, Surabaya, lalu Bandung. Ia juga sudah berkali menyusuri jalur lintas Sumatera dari Bandung ke Medan.

Justru karena mereka tak jago. Sebab mereka terbiasa dengan aturan yang ketat. Angkutan umum tidak akan berhenti sembarangan, dan menyeberang pada tempatnya saja, sudah cukup membantu menjaga arus pada jalur masing-masing. Belum lagi ketersediaan garis dan kepatuhan terhadapnya. Ini membuat tidak ada gangguan arus, yang memaksa kenderaan lain menyalip. Kalau begini, alamat bengkel klakson tak laku, sebab klakson juga menjadi tak berguna.

Suatu kali di koran lokal Norwich, ada berita tentang penumpang yang menggugat perusahaan bus. Nenek itu terluka akibat bus mengerem mendadak. Sopir bus tak diam, ia menggugat juga pengemudi lain, yang berhenti mendadak bukan pada tempatnya. Bayangkan, betapa tidak piawainya mereka menyetir.

Lalu disini, mana garisnya yang harus kami patuhi, teriak pengguna. Capek ah, dimana-mana rambu kami dirikan hanya jadi penghias jalan, timpal pemerintah pula. Jika untuk urusan keselamatan di jalan raya, yang jelas-jelas terdeteksi dan terduga kita tak makruf, apatah lagi menghadapi bencana yang datang tak menyapa hilang tak berbilang. Ya Allah, sayangi negeriku..!!

Tuesday, July 11, 2006

melenguh dalam peluh

Ciuman hangat itu menghunjam tajam. Bergantian anak-anak azzuri menumpahkan rindu dendam kepada piala lambang supremasi sepak bola dunia. Suasana makin meriah, ketika confetti warna tercurah dari langit. Menyiram anak muda yang sedang tersiram suka ria. Italia 5 Perancis 3.


Tak ada adegan tukar kaos. Padahal biasanya adegan paling menjijikkan dari pertandingan sepakbola, itu menjadi ritual penutup. Menjijikkan, tetapi bisa sekaligus bermakna keakraban. Egaliter.


Bertukar peluh, ih. Aku bertekad, hanya akan bertukar peluh dengan istriku saja. Berpeluh dan melenguh, adalah ciri utama Piala Dunia kali ini. Waktu 90 menit, bahkan 120 menit sekalipun tak membuat kendor semangat para pemain. Aku malah khawatir. tim teknis FIFA mengusulkan menambah jam permainan, atau meminta perluasan lapangan. Tengoklah, bagaimana para pesepakbola itu tetap mengejar bola hingga ke garis.


Tiada keluh, hanya peluh dan lenguh. Bahkan ketika pemain memprotes keputusan pengadil. Pengadil jujur, pemain sopan, maka yang terhidang adalah permainan cantik. Andai saja kehidupan itu teratur dan berkelindan macam itu. LLAJ memasang rambu dan lampu pengatur dengan baik. Polisi menindak setiap pelanggar. Hakim mengadili sesuai aturan. Samsat menggunakan data pelanggaran sebagai pertimbangan perpanjangan. Kas Negara menyimpan uang denda dan mempergunakan untuk rakyat. Aih, indahnya.


Sepakbola tak hanya kerja keras. Ia tak luput dari sifat purba tipu muslihat. Lihat aksi Christiano "Diver" Ronaldo, yang setiap masuk kotak pinalti lawan, hampir selalu terjatuh. Hasilnya, anak-anak Portugis berhasil mengusir Wayne Rooney dan menjungkalkan Inggris. Tapi apa lacur, namanya sebagai nominee Best Young Player pun lenyap. Padahal tanpa diving pun, tarian sambanya adalah dribling paling mumpuni,


Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang mendapati "kesuksesan" hidup dengan cara tidak terpuji. Menerapkan manajemen kodok, menyembah ke atas, menendang kiri kanan, dan menginjak ke bawah. Apakah ini kesuksesan hakiki?


Selamat Lippi, Italia, dan 31 tim lainnya. Trinidad and Tobago yang hanya setitik dalam peta dunia, harum ke seluruh jagad. Jika ada adagium yang bilang: perilaku sebuah bangsa dapat dilihat dari caranya berlalulintas, maka seperti apa kita melihat sebuah bangsa yang jika bermain bola, justru berenergi ketika memburu wasit dan membakar stadion?. Entahlah.

Monday, July 03, 2006

Hamba Wet Bersuka

Angkot melaju melampaui jembatan layang UI. Seperti pagi yang lain, kemacetan menyambut di dekat halte UI. Angkot lalu beringsut menyusuri belokan menanjak, di dekat penjaja kembang. Aku menebak, pasti tidak ada polisi, di pertigaan menuju Srengseng. Jadi, kemacetan ini disebabkan berhenti sembarangan di pertigaan itu, dan bersambung dengan pertigaan yang membelah rek KA di depannya.

Lepas, di depan Universitas Pancasila, angkot sudah melaju normal. "Gangguan" kembali muncul di pertigaan Lenteng Agung, dan nanti di dekat stasiun Tanjung Barat. Penyebabnya serupa: ngetem. Jika di pertigaan jalan Joe lancar, tebaklah pasti ada polisi berjaga. Tebak2an ini akan semakin panjang, karena setiap kawasan punya kasus seperti ini.

Begitulah, di usianya yang ke-60, 1 Juli, polisi masih figur yang ditakuti. Bukan dihormati, apalagi disegani. Tak apa. Terlalu banyak faktor dibaliknya. Sopir-sopir yang rajin memberi recehan, pasti tau belaka polisi itu gampang diajak berselingkuh mengelabui aturan.

Momen milad ini --dimana Polri merayakan tanpa formalitas dan kemegahan, tapi ramah dan akrab di tengah masyarakat--, bisa menjadi titik tolak perubahan citra dan perilaku. Salah satunya menegakkan aturan mengatasi kemacetan.

Dalam rangka ulang tahun, bolehlah polisi menjaga titik macet yang ada, tapi menjauhkan diri dari tindakan batil. Seluruh persimpangan rawan macet, dijaga ketat. Pelanggaran sekecil apapun, ganjar dengan tilang. Lalu, setelah dua atau tiga hari, hasilnya dicek. Jika masyarakat puas, maka traffic management terkini bisa dijalankan. Negara pun puas, mendapat masukan besar dari pembayaran denda yang bukan lewat pat gulipat.

Ke depan, dalam penataan lalu lintas, kehadiran polisi secara fisik di jalanan harus dikurangi. Peranan polisi, digantikan oleh kamera pengintai, dan penegakan aturan diwakilkan oleh ketegasan denda tilang.

Jika ini berhasil, maka semboyan "Polisi mitra masyarakat" menjadi khalwa telinga yang empuk didengar. Dirgahayu, hamba wet!

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini