<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Monday, June 27, 2005

Berjalan Sampai ke Batas

Matahari menyorot tajam ke kamar tidur. Aku tersentak, bangun tergesa. Melirik jam dinding, hampir pukul 7. Masya Allah, telat deh. Kenapa alarm gak bunyi ya. Apa yang salah. Oho... tak ada yang salah. Memang biasanya, alarm aku switch-off Jumat petang, dan on lagi pada minggu malam. Tapi tadi malam tidak. Sebab, pagi ini aku tak mesti berangkat pagi. Sejak, senin ini, 27 Juni, aku pensiun dari tempat kerja, Norfolk Norwich University Hospital.


Melewati pergulatan panjang renungan, akhirnya aku memutuskan berhenti. Bukan karena kerja yang berat. Sebagai anak petani, aku mahfum dengan adagium kaum pekerja: "tiada mengetam tanpa menanam". Meskipun jujur, bekerja 8 jam sehari, tanpa tantangan, monoton, membuatku bosan. Akibatnya, sebagai pekerja, aku selalu ingin waktu berlalu. Sementara sebagai orang yang sedang berlibur galibnya aku harus bersenandung kidung "kemesraan ini, janganlah cepat berlalu". Kontradiksi inilah yang mendorongku keluar kerja 2,5 bulan sebelum pulang.


Jumat kemarin, aku tinggalkan rumah sakit dengan segenap rasa. Gembira, karena aku tak harus datang pagi-pagi lagi, menyapu dan berbagai aktivitas yang tak pernah terbayang akan pernah aku lakoni. Sekaligus sedih. Banyak kenangan disini. Mulai dari yang getir, mulai bekerja jam 6 pagi dimusim winter, dimana matahari terbit pukul 8. Artinya aku berangkat dari rumah 3 jam sebelum matahari terbit. Terkadang menunggu bus dibawah siraman salju yang melinukan sumsum. Lalu mengepel tiada henti, karena setiap orang masuk menyisakan air yang membasahi lantai.

Musim memiliki kenangan tersendiri buatku. Sebetulnya, summer waktu yang paling indah untuk bekerja. Berangkat ditengah siraman matahari yang berbinar. Bunga mekar dimana-mana, termasuk "mekar-mekar" lain yang tiada sempurna tertutupi oleh minimnya pakaian musim panas. Indah sekali.


Rumah sakit juga memberiku pelajaran berharga, bagaimana bekerja di level paling jelata tanpa dipandang sebelah mata. Pun, ini adalah sebuah puasa bathin, merasakan penderitaan orang lain dengan melakoni "penderitaan" itu secara langsung. Aku berdoa, kelak aku akan lebih bisa menghargai semua orang tanpa melihat strata sosialnya.


Hari ini, semuanya sudah berakhir. Delapan bulan lalu, aku awali menjadi TKI dengan segenap perasaan. Kini, aku akhiri pula dengan segenap perasaan. Perjalanan singkat ini, adalah sesuatu yang enak dikenang, tak enak diulang.

Sunday, June 19, 2005

Aku Mimpi Jadi Walikota

latief multiply

Dering alarm mengagetkanku pagi itu. Sekejap kemudian, aku bangun dan segera shalat subuh. Istriku sudah tak ada. Ia telah pergi ke salon, yang sengaja dipesan buka pagi buta. Sebab hari ini hari istimewa, aku dilantik menjadi walikota Depok. Aku menjadi walikota pertama, yang dipilih secara langsung. Tak heran, pelantikan pun berlangsung meriah. Selepas bersalaman dengan Gubernur Jawa Barat, diluar antrian pegawai balaikota sudah mengular. Sebagian asyik di sawung-sawung makanan, dan sebagian lagi berjoget ditemani penyanyi dangdut.

Tak tega aku mengadakan rapat ditengah kebahagiaan ini. Tapi besok aku bertekad, apapun harus ada rapat perdana. Akibatnya, tetamu yang ingin mengucap selamat terdampar di ruang tamu. Tak apa, semoga mereka mengerti, aku sedang menjalankan amanat rakyat. Target pertamaku, adalah masalah yang ada di depan mata rakyat sehari-hari, yakni kemacetan. Kepala Dinas PU lalu mengusulkan penambahan dan pelebaran jalan. Aku tak setuju. Aku lebih ingin penertiban angkot, penempatan rambu, serta pengaktifan lampu pengatur.

Entah aku kelewat mengejar, Kepala Dinas Perhubungan merasa tercecar soal izin angkot dan penambahan jalur yang terus dibuka. Rapat ini juga menyertakan Kapolres lewat sambungan telepon. Kepada Kapolres, aku meminta pengetatan kualifikasi pemberian SIM, sekaligus mengenakan biaya normal, sesuai buku.

Hari ketiga, aku mendapat slentingan, dimusuhi tiga orang, Kepala Dishub, Kepala PU, dan Kapolres. Mungkin mereka kehilangan “ladang” yang selama ini menjadi lumbung kemewahan. Tak apa. Aku panggil Kepala Dishub dan Kepala Polisi Pamongpraja. Hari ini aku akan menertibkan angkot. Terminal bayangan hubar habir, terminal tak boleh ngetem, angkot yang tak sampai tujuan cabut izin. Sopir, calo, pegawai terminal pun memandang tak sedap ke arahku. Habis soal angkutan, aku mulai merambah pedagang kaki lima yang seenaknya mengambil pedestrian jatah pejalan kaki. Sepekan berdinas, aku dapati aku telah dimusuhi kolega, mitra, dan rakyat.

latief multiplyPekan kedua, aku berangkat kantor dengan beban dipundak. Orang-orang yang berdiri di pinggi jalan, kulihat seperti mencibir ke arahku. Padahal bisa saja mereka tak memperhatikanku, atau sedang menunggu bis. Entah kenapa, aku merasa mereka adalah sopir, pedagang, calo yang mendadak menganggur karena penertiban yang aku lakukan.

Suara azan membangunkanku. Menggeliat, aku menatap langit-langit yang putih. Masya Allah, semua ruangan ini putih. Lamat-lamat aku mendengar suara istriku mendaras doa-doa. Jarum suntik ditanganku menusuk, saat aku mencoba bergerak. Aku mengumpul ingatan, tadi siang aku jatuh saat mengambil wudu’. Kucoba membuka mata, tak kuasa. Aku merasa janjiku akan segera tiba. Seekor makhluk berwajah aneh, dengan seringai tajam, serta tangan berkuku panjang mencekikku. Ingin menjerit, kelu. Ingin berontak, kaku. Aku komat kamit melafaz doa. Sebelum tangan itu mencengkeram lebih erat, dan kuku menghunjam lebih dalam, tiba-tiba kriiiinnnggggg...... Aku terlonjak. Alarm dari henpon membangunkanku. Keringat berbulir membasahi tubuhku. Masih dengan nafas tersengal, kuraih gelas. Seteguk air menormalkan denyut jantungku.

Pagi itu, di bis dalam perjalanan ke rumah sakit, aku tersenyum mengenang mimpi itu. Mungkin ini sasmita, bahwa aku tak layak jadi pejabat. Jadi pejabat hanya untuk orang yang berurat baja, tulang besi, dan otot kawat. Dalam hati aku ngunandika, begini nih, kalau tukang sapu bermimpi jadi walikota. Ya stroke.

ilustrasi: seblat

Wednesday, June 08, 2005

York ya, bukan Yogya

Foto lain klik disiniBelum ke Inggris, kalau belum ke York. Begitu bunyi ujar-ujar bernada promosi. Maka, siang ini pun kami telah “sempurna” berada di Inggris, setelah menjejak jembatan Lendal yang melingkupi sungai Ouse, yang membelah kota York. “Belum ke York, kalau belum melihat Clifford Tower”, kata Bang Jamal, anak Langkat yang sekolah di York. Maka aku pun segera berlari menapaki tangga menuju menara berada, agar sempurna bin komplit berada di Inggris.


Dari atas menara intai jaman baheula ini, kulepas pandang menyapu kota York. Perahu warna warni melarung di sungai Ouse, tembok melingkari sebagian kota, serta menara York Minster yang menjulang menggapai angkasa. Apa hebatnya menara ini? Ingatanku justru melayang ke benteng Port Rotterdam di Makassar. Disana aku pernah berdiri di bekas menara intai yang menghadap ke pantai losari. Dikejauhan perahu berseliweran. Sementara di jalan bersisian dengan pantai, tenda penjaja es kelapa muda menyemarak suasana. Sayang, menara itu kini betul-betul bekas.


Foto lain klik disiniMasuk ke dalam, ada Arupalakka dan Hasanuddin berada dalam kepengapan. Debu menempel di kaca tempat penyimpanan berbagai macam senjata. Tumpahan coca cola di lantai, menambah gulita sejarah karena tempat menyimpan kisah heroik ini semakin tak diminati.


Sementara di city center York, sebuah toko cenderamata menjual kampak seharga ratusan Pound. Pun miniatur prajurit dengan pakaian perang dan senjata masa lalu, yang terbuat dari perak. Tak seindah perak produksi Yogya, tentu. Ah, bicara Yogya, kini kota gudeg itu tak lagi seindah lagu Kla Project. Kata seorang teman, apa bedanya Yogya dengan Tangerang. Sungguh perumpamaan yang kurang ajar. Tapi apa mau dikata. Yogya yang memiliki segalanya, budaya, bangunan tua, makanan khas, keramahan, entah kenapa tetap merasa kurang pede bila tak punya mall.

Kita punya segalanya. Bila terlambat merawat, alamat gawat. Bisa-bisa anak cucu mengira benteng Takeshi-lah bentuk peperangan merebut kemerdekaan bangsa ini.

Gambar asyik, klik aje

Monday, June 06, 2005

Dari Bradford hingga Old Trafford

”Manchester”Keangkuhan menyambutku di Manchester. Lelaki tua di depan balaikota itu mendongak sambil menunjuk. Tak satu. Ada empat patung di halaman balaikota berpolah serupa, cara berdiri yang angkuh. Berjalan lebih jauh, prasangka itu perlahan menipis. Berbeda dengan Bradford dan Leeds, Manchester lebih modern. Tapi jualannya sama: gedung tua, gereja, balaikota, patung, alun-alun, dan tentu: kebersihan. Kebersihan dan keteraturan perlu dimunculkan, sebab kecuali itu, semua elemen ada di Bandung.


Karena sepakbola adalah agama kedua bagi rakyat Inggris, maka Old Trafford pun menjadi kiblat yang wajib disambangi. Trem yang menghela dua gerbong, mengangkut kami ke kota di pinggiran kota Manchester. Kota ini berdiri sendiri. Seharusnya, kesebelasan ini bernama Old Trafford United. Tapi UI Jakarta pun ada di Depok ya. Beberapa spanduk penolakan kepada Malcolm Glazer, saudagar Amerika yang akan membeli MU, masih terpasang di beberapa tempat.


Old TraffordSayang hari itu stadion ditutup, sehingga keinginan untuk duduk di bangku Sir Alex Ferguson batal. Mau beli cenderamata juga ikutan batal. Bukan karena toko tutup, tapi harga yang melambung ke awan. Celana training yang sempat aku pegang-pegang dibandrol 30 Pound (Rp 500 ribu). Begitu mau dicoba, lhadalah, made in Indonesia. Jangan-jangan Rancaekek.


Perlancongan belum sah, bila tak reuni dengan rekan Indonesia. Kebetulan Djati, teman Chevening-nya Ari sedang berhajat, anaknya ulang tahun. Meski tinggal di bilangan curry mile, sebutan untuk menandai kawasan tempat banyak restoran Pakistan yang menguapkan bau kari berada, keluarga Djati menyajikan ayam bakar bumbu kuning rasa Indonesia. Makanan, serta tingkah si marvelous Marva yang menggemaskan, semakin memupus keangkuhan kota Manchester.

Mo liat foto, klik disini

Friday, June 03, 2005

Yorkshire bikin Berdesir

Leeds, UKPagi yang benderang. Kusesap kuah sop buntut nyaris tersedak. Kami tak bergegas, karena Mbak Mariati baru akan tiba di Leeds dari London, jam 1. Berjalan kami ke stasiun selama setengah jam. Mereguk sinar mentari ditengah angin yang berdesir. Leeds dan Bradford, kota bertetangga dibawah atap county West Yorkshire. Yudi, sang guide, mengajukan 3 usul: naik KA 25 menit, coach 30 menit, atau biskota yang 40 menit dan 1 jam. Ongkosnya beragam. Paling murah adalah bis kota, one day ticket 2,8 Pound, bisa naik bis kemana saja di Bradford dan Leeds, sampai muntah. Kita pilih yang 1 jam, sebab melewati daerah pinggiran (countryside) kedua kota ini.


Bis bertingkat keluar dari stasiun yang tak ada calonya dengan perlahan. Melaju ke pinggiran kota, jalan berkelok, ada sungai, lengkap dengan rumah-rumah tertata rapi (tapi seragam). Aku ingat perjalanan dari terminal Depok menuju Cimanggis. Keluar terminal, melewati balaikota, ada sungai dengan jembatan yang selalu macet. Begitu pula kalau ke Sawangan. Jalan berkelok, sawah, kolam, lengkap dengan penjual duren dipinggir jalan. Aih, apa sih yang mereka punya tidak kita punyai. Jawabnya pendek: kebersihan dan keteraturan.


Leeds, UKDulu, aku selalu bangga bila antara satu kota dengan kota lain menyambung. Pemerataan pembangunan, kata Bapak Pembangunan. Ternyata akan sangat indah, jika antara Pasar Minggu dengan Depok terputus, antara Depok dengan Sawangan terpisah, antara Sawangan dengan Parung ada sawah luas, antara Cinere dengan Kukusan terbentang kolam dan kebun rambutan. Terkadang aku bisa mengerti jalan pikiran para penguasa. Menjaga kota sesuai aslinya itu mahal. Sedangkan memberi izin pembangunan, mendatangkan PAD (pendapatan asli daerah). Pemikiran mulya, toh.

Balaikota Leeds, dengan bangunan tua dan jam di puncak menaranya sudah terlihat. Kami harus segera turun, dan berjalan tanpa takut ditabrak motor yang nyelonong ke trotoar. Pusat kota Leeds, yang sebetulnya mirip dengan alun-alun Bandung itu pun kami jejak hingga petang.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini