Musim Yang Mendua
Malam yang basah. Juga beku. Aku memandangi salju bak buliran ribuan kapas melayang menjejak bumi. Sesekali ada yang hinggap di kaca jendela tempat aku melongok. Mobil mobil dan jalan raya sudah putih bersaput salju. Sepasang anak manusia melintas dibawah. Cekikikannya membuatku menatap lebih lama. Si perempuan melempar pacarnya dengan bola salju. Lalu si lelaki menyauk es di kap mobil. Mereka berkejaran di malam dingin ini. Pasti mereka sedang menyesap cinta yang putih dan selembut salju.


Minggu 10 am Minggu 02 pm Senin 06 am
Aku tersenyum. Tapi hatiku mendua. Senang karena akhirnya bisa melihat salju, yang gagal datang pertengahan januari lalu. Sedih, karenja besok pagi aku harus bekerja keras menjaga atrium --main entrance-- Rumah Sakit tetap bersih. Tak apalah capek sedikit, tokh ini hanya setahun sekali. Lagipula, kapan lagi bisa berjalan di atas es. Maka nikmatilah.
Sebetulnya sekarang sudah musim semi. Ditandai dengan pergantian pakaian yang bergantungan di etalase toko, menjadi spring collection. Aku masih terus menatap. Persis dibawah lampu jalan, berdiri tegak pohon tanpa daun. Ajaib, sudah lebih 2 bulan ia tak berdaun, tapi masih tetap hidup.
Aku harus segera tidur. Sebelum berangkat ke peraduan, nun jauh di lubuk hati, selarik Ayat Suci mengalun: "Maka nikmat Allah yang mana lagi, yang hendak kamu dustakan?
Pulang...
"...jangan sampai episode ini melunturkan keberanian, semangat, dan kegigihan wartawan menjalankan tugas jurnalistik. Wartawan menjadi bagian terpenting penegakan kebenaran, misi kemanusiaan, dan pengembangan demokrasi..."
-Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono-
Jakarta, 24.02.05, Istana Kepresidenan
Baghdad, Irak 3-14 (Liputan)
Ramadi, Irak 15-22 (Disandera)
Meutya, Dari Pidie Sampai Ramadi
Baaaannggggg.....Aku di Baghdad neh, sejak 3 Februari. Sulit cari berita. Banyak isu, tapi dimana-mana gak boleh shooting. Minta ID aja, sambil nodongin senjata. Lelah lihat Baghdad. Bukan takut sih. Dimana-mana orang nenteng senjata. Kemarin mobil kita ditembak, hanya karena tentara AS mau lewat. Sampai mau tidur, masih dengar letusan.
Email Meutya tertanggal 10 Februari itu, aku baca dengan mata berkaca. Pagi ini, pukul 6 tepat, sesaat sebelum berangkat kerja, aku baca detik.com. Di Jakarta pukul 13, saat berita itu muncul: "Dua wartawan Metro TV hilang di Irak.
Meutya berangkat ke Irak bersama juru kamera Budiyanto. Bagi Budi, ini adalah keberangkatan yang ketiga kali. Ia disana, sebelum Amerika menginvasi negara Saddam ini. Lalu, setelah Saddam terguling. Selain piawai membidik gambar, Budi mahir menjalankan videophone, alat pengirim gambar compact dengan wahana telepon satelit. Hal ini yang membuat Budi pergi berulang ke Irak. Selain tentunya, ia mudah diajak kerjasama, tidak neka neko, dan penolong.
Ini klop dengan Meutya. Bagiku, keduanya memiliki arti besar, selain sebagai kolega. Karena rumah kami, yang searah, aku dan Budin kerap pulang bareng. Meutya, pernah bersamaku di Aceh, selama 2 pekan, di awal darurat militer, Juni 2003. Aku field producer, ia presenter dan reporter. Ia penasaran dan memaksa untuk selalu ikut ke daerah rawan. Aku tegas, tak membolehkannya ke Pidie. Sambil bercanda aku bilang, kalau ada apa-apa, bisa mati aku digorok Agus Isrok. Pacarnya ini adalah anggota Kopassus, putra mantan KSAD, Subagyo HS.
Lepas dari Aceh, aku memegang program
Metro Siang, Meutya
main presenternya. Pertemanan kami semakin dekat. Ia cantik khas Sunda, dan keras sesuai titisan darah Makassar. Kami kerap berdebat. "Abang adalah teman sekaligus guru bagiku", katanya di hari keberangkatanku dari Jakarta ke Inggris, 14 September lalu.

Ia seakan tak mau berpisah. Padahal sehari sebelumnya, ia, Agus, dan kawan-kawan Metro lainnya sudah datang ke rumah. Meutya memberiku buku,
"A nation in waiting". Pagi ini kupandangi buku itu. Tulisan Meutya di halaman depan, membuatku semakin merindunya.
Malam ini, aku mendapati panggilan telepon tanpa nomor. Aku terkesiap. Pasti Jakarta. Pasti Meutya dan Budi. Suara berat Muzakkir Husein menyapa berat. "Udah tau belum, udah positif". Aku tercekat, bibirku kelu. "Mereka disandera di Ramadi, tapi selamat". Muzakkir mendekatkan telepon ke layar TV yang sedang menyiarkan berita itu pukul 2 pagi.
Kubaca lagi email Meutya. Pengen banget ke UK, tapi gimana dong..., emang dekat yak. Aku menyesal, tak segera membalasnya dulu. Aku tulis: "Mutmut, semoga kamu tidak kenapa-napa ya. Datanglah ke Norwich, we miss you so much. Pengalaman mendebarkanmu itu akan kita jadikan buku kenangan.
Diambil Koran TRIBUN TIMUR Makassar, 20 Februari 2005