<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8495426\x26blogName\x3dPikiran,+Cerita,+dan+Perjalanan+Saya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://latiefs.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://latiefs.blogspot.com/\x26vt\x3d-3212747536842318622', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Saturday, May 28, 2005

Mengembara ke Utara

Bradford UniversityKedai Fish and Chips menyambut kami di peron stasiun Bradford. Pemandangan biasa. Yang tak biasa adalah logo “halal” yang terpasang di gerobak merah itu. Penjaganya, lelaki berwajah Pakistan sibuk melayani pembeli. Rupanya selain menjual ikan dan kentang goreng, ia menjaja kebab dan ayam masala khas Pakistan.


Menuruni tangga, wajah-wajah Asia Tengah semakin banyak. Gadis berjilbab, atau yang mengenakan sari yang dimodifikasi menjadi busana muslimah modern, serta lelaki bergamis lengkap dengan janggut menjuntai berseliweran. Tak salah, Yudi, teman kami yang bersekolah di Bradford selalu mempromosikan Bradford sebagai daerah jajahan Pakistan di Inggris. Sayang, karena ada perbaikan rel, kereta kami telat tiba, sehingga aku gagal salat Jumat.

Di dekat rumah Yudi, jejak “kebesaran” ala negara berkembang itu semakin nyata. Sampah yang tidak masuk tong secara sempurna, jemuran yang malang melintang, serta bekas pijakan ban mobil di rerumputan sebagai jalur baru karena ditengah jalan ada penghalang. Lalu, mobil yang melaju kencang dengan tape berbunyi sama kencang.

Bradford AlhambraBerjalan mengitari Bradford, tak terasa seperti di Inggris. Ditambah lagi, masjid dimana-mana, juga toko bernama islami macam Bismillah, Saif, Al Halal, dan Al Haq. Bau kari yang menerbitkan liur menebar dimana-mana. Tapi Yudi, sudah memasak sop buntut, sambel terasi ala Kuningan, tahu, dan ikan teri. Selepas bersantap, kami akan menonton final sepakbola liga kampus Bradford. Azan Ashar dari mesjid Nurul Iman bergema. Allahu Akbar.

Thursday, May 26, 2005

Ngemong Tak Meraja

Aku terima surat itu dengan sukacita. Bukan. Bukan surat cinta, yang kata Vina Panduwinata, bisa membikin hati berbahagya. Ini surat dari Inland Revenue, kantor pajak Inggris, berisi cheque 823 Pound. Alhamdulillah. Ini adalah pajak dari gajiku yang dipotong 25 persen setiap bulan. Lumayan, kayaknya liburan keliling Eropa, sudah di depan jendela.


Ceritanya, setiap bulan April dan Oktober, yang merupakan bulan pajak, setiap wajib pajak mendapat laporan. Karena aku warga asing, dan memiliki National Insurance Number, maka pajak itu bisa diambil kembali. Awal mei lalu, pergilah aku ke kantor Inland Revenue. Ini adalah kali ketiga, aku berurusan dengan kantor pemerintah di Norwich sini, setelah urusan pajak, dan National Insurance Number, semacam kartu kuning pencari kerja. Hanya sekejap, tidak bertele, dan bebas calo.


ari di balaikota norwich Ketika pertama kali berurusan dengan kantor pemerintah, November lalu, ada perasaan gundah. Khawatir repot, berlarut, dipersulit, dan ujung-ujungnya duit. Betul kata bijak bestari, pola pikir dipengaruhin oleh pengalaman. Saat itu kami mengurus pajak rumah tinggal. Tak tanggung, seorang kena 800 Pound. Berarti berdua, sekitar 27 juta perak. Berhari-hari surat itu kami abaikan. Hingga akhirnya, setelah membaca di situs yang dilampirkan dalam surat pemberitahuan, dan memenuhi semua dokumen, kami pergi juga.


Begitu masuk, tak ada ambtenar yang hilir mudik tanpa kerjaan, maupun calo yang "baik hati" dan suka menolong itu. Hanya resepsionis yang ramah memberi petunjuk ruang mana yang akan dituju. Ternyata disana ada banyak loket. Maklum kantor walikota. Kami mengambil tiket antrian yang dimuntahkan mesin, macam di bank-bank terkemuka di Jakarta. Menunggu sejenak, lalu dilayani oleh pamong praja yang betul-betul ngemong dan tak bersikap meraja. Sesuai petunjuk di situs mereka, pelajar tidak dikenai pajak, kami pun tanpa membayar sepeser. Ohoi.. berurusan di kantor pemerintah, tak mengeluarkan biaya.


Aku lalu ingat kampungku nun jauh di sumatera utara sana. Dulu, dulu sekali sebelum reformasi, berurusan dengan kantor pemerintah, polisi berarti mengeluarkan duit lebih. Kalau tanpa dana batil, jangan harap urusan beres. Tak heran, Sumut, yang sejatinya akronim dari Sumatera Utara menjadi sumut=semua urusan mesti uang tunai. Keluarga kami termasuk beruntung. Salah satu abangku bekerja di kantor bupati, satunya jadi polisi, dan iparku suster di rumah sakit. Makanya, bikin akta kelahiran lancar, bikin SIM mudah, dan kalau sakit tak perlu antri lama. Meskipun tetap membayar, tapi tidak semahal mereka-mereka yang tidak punya koneksi sama sekali. Tapi itu dulu, dan di kampungku.


Dulu aku berpikir, para ambtenar ini berlaku begini karena gajinya kecil, dan pendidikan kenegaraannya kurang. Belakangan, setelah korupsi di KPU terbongkar, aku percaya korupsi itu bisa mengenai siapa saja. Meminjam fatwa Bang Napi: Korupsi terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku. Tapi karena adanya kesempatan. Waspadalah!. Ah, jadi ngelantur. Sudahlah. Kuciumi kembali surat itu, sambil membayangkan manisnya Paris, romantisnya Venezia.

Saturday, May 21, 2005

Tiran Diatas Dipan

Perjuangan melawan kekuasaan adalah pergulatan ingatan melawan lupa
--Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting
--

Soeharto sakitKoran The SUN betul-betul kurang ajar. Edisi Jumat-nya menampilkan gambar Saddam Husein yang hanya memakai (maaf!) pakaian dalam. Dibumbui judul menarik khas SUN, "Tyrant's in His Pants". Sontak gambar itu mengundang kegeraman hingga ke Gedung Putih dan Baghdad sendiri. Pengacara Saddam berniat menuntut, karena menuduh ini bagian dari strategi pembunuhan karakter menjelang pengadilan Saddam.

Jakarta, 21 Mei 2005. Mahasiswa berunjuk rasa mengenang kejatuhan Soeharto. Mereka ke Cendana. Disana Soeharto sedang sakit. Aku yakin, tak akan ada koran atau majalah yang akan menulis judul serupa Sun: "Tiran di Atas Dipan". Meski judul itu menarik secara kaidah penulisan. Sebab menarik perhatian, bersajak, dan tepat sasar. Entahlah, ini membahagiakan atau memilukan. Mungkin ini gambaran kesantunan sebuah bangsa yang berjiwa besar. Tapi tak berarti mahasiswa yang berdemo itu tak santun.

demo anti soehartoSetiap tahun, bak peringatan ulangtahun kelahiran saja, demo itu terus berulang. Sudah tiga Presiden, Gus Dur, Megawati, SBY yang mereka minta untuk membawa Soeharto ke pengadilan. Namun tujuh tahun reformasi yang membentangkan lembaran suram Mei, Kedungombo, Aceh, Papua, Tanjungpriok, G-30-S, Megakorupsi, dan banyak lagi itu, hanya ibarat tonggak sejarah. Bahkan, kini ada ajakan untuk melupakan itu semua. Tak kurang Ketua DPR (Agung Laksono), Ketua MUI (Dien Syamsuddin), Tokoh Petisi 50 (Bang Ali), juga korban penjara Priok (AM Fatwa) yang menyuarakannya.

Di sebuah negeri, dimana sejarah berjalan lambat untuk menguap, ingatan itu akan selalu membentang. Tapi untuk apa. Mari bergulat melawan lupa.

Wednesday, May 11, 2005

Tak Lekang Oleh Senang

Pagi. Dingin. Di atas bus yang nyaman. Cara terenak menikmatinya adalah memejam mata. Jangan harap terlelap. Perjalanan hanya 30 menit. Lalu, biasanya memasuki kawasan kampus, bus sering direm sontak. Biasanya, ada tupai atau kelinci iseng menyeberang sembarang tempat, dan tanpa lihat kiri kanan. Dasar hewan. Mencoba memejam lagi. Ada getar di saku celana. Siapa yang pagi-pagi begini sudah bersilaturrahmi. Padahal tadi istri segera melanjut tidur setelah aku pergi. Dilayar tak ada nomor tercatat. Pasti dari Indonesia. Disana saat ini hampir pukul 1 siang.

"Alloww... Mister Siregar," suara renyah Indah, teman bekas sekantor, memecah pagi. Mungkin ia iseng, karena suntuk mencari tamu untuk program Metro Hari Ini.
"Lagi di tube ya mas,".
"Lagi di bus, disini khan gak ada tube".
"Gak takut dicopet nih ngeluarin hape"

Kami lalu terbahak bersama. Indah pernah tinggal di Australia, dan pastilah ia tau bagaimana amannya bus dibanding di Jakarta. Lagian, siapa juga yang mau dengan Siemens S-45 yang sudah uzur, layar retak, dan sering mendadak mati sendiri itu. Di depanku, ada yang bersayang-sayangan dengan PDA-Phone. Disebelah ada yang mantuk-mantuk mendengarkan musik dari i-Pod. Melihat bebasnya penumpang memamerkan barang elektronik, suatu kali dikepalaku terlintas ide "Operasi Senen". Mencopet. Bagaimana caranya ya. Bukankah kondisi paling oke buat operasi ini, saat berdesakan dan impit-impitan. Batal. Merampok. Bagaimana caranya keluar dari bus. Pintu hanya ada satu, di depan. Menggunakan sistem elektronis dengan kendali di sopir. Memaksa sopir agar membuka dengan menodong. Pasti dia tidak takut, karena posisinya aman, dilingkupi kaca. Dan ini satu lagi, kamera CCTV yang siap menghamburkan gambar. Gak jadi ah.

Kata "gak takut dicopet" itu pun terngiang. Memang salah satu "kesenangan" saat ini adalah rasa bebas dari ketakutan. Tak cuma di bus. Tapi juga di kota, di stasiun, dan di rumah. Nyaris tidak ada rumah yang memakai teralis disini.

Kewaspadaan pun tak terasah. Ada lagi rasa yang hampir hilang: iba. Kapan melihat anak kecil mengamen di terik matahari. Kapan bersua anak kecil yang dijemur oleh seorang ibu, demi mengharap belas orang lalu. Kapan melihat pengemis renta, yang kelelahan hingga terduduk di trotoar bermandikan debu jalanan.

Aku tak ingin rasa waspada dan iba itu lekang hanya karena kesenangan sesaat. Akan tiba saatnya harus kembali ke negara tercinta. Bersua dengan segala realita itu. Setiap malam, aku memelihara dengan membaca koran ini. Setelah berita utama, opini, aku selalu melongok rubrik Metropolitan. Membaca saudara sekandung saling bunuh demi warisan, maling ayam dibakar massa, tukang ojek digorok. Ah, Indonesia-ku.

Thursday, May 05, 2005

Pemilu Lalu, Penuhi Saku

latief, norwich, pemilu Lelaki itu keluar dari pondokannya. Mengenakan topi yang ditarik dalam hingga menutupi sebagian muka, ia menenteng kertas yang digulung menyerupai terompet. Lalu lewat kertas yang dimaksudkan sebagai pengeras suara itu, ia berteriak: "Dumber student vote for Tory". Hanya itu. Ia pun masuk kembali. Mahasiswa yang sedang melintas menuju polling station (TPS), atau asyik bermain bola senyum-senyum saja. Tak ada yang membalas, mengangkat tinju, atau menghunus clurit.

Pemilu di Inggris, jauh berbeda dengan pemilu di tanah air. Wajar kita menggelarinya pesta demokrasi. Sebab suasananya ramai bak pesta. Ada umbul-umbul, ada mudik, ada tenda. Sedang disini, semuanya serba sederhana. Seperti TPS di kampus UEA, hanya mengambil tempat di sebuah ruang pertemuan. Di dekat rumah kami, di bangunan bekas pub. Kotaknya tak mengkilap. Pasti bekas pemilu sebelumnya. Kertas suara hitam putih. Tak ada saksi, tak ada pemantau. Pelaksananya hanya beberapa orang, bertugas mendata dan membagikan surat suara. Garing. Sederhana. Sekaligus hemat.

Latief, Norwich, Depok, PolIing Station Jangan-jangan kita juga bisa seperti ini. Menggunakan kotak suara bekas, komputer dapat sewa, surat suara sederhana. Jangan-jangan panitianya yang ogah ini berlangsung sederhana, agar dikira telah sukses mengerjakan gawe besar. Atau jangan-jangan, sengaja menciptakan banyak peluang untuk mark-up dana, bancakan. Jangan-jangan ada banyak korupsi pada pemilu itu. Jangan-jangan malah sudah ada yang ditangkap.

Pemilu telah lalu. Tony Blair dan Partai Buruh kembali ke bangku kuasa. Besok mereka akan mulai menyusun kabinet. Sedangkan Tory dan Liberal Demokrat akan kembali menyusun agenda perlawanan oposisi. Semua bekerja. Demi Inggris Raya. Kita? Pemerintah yang awalnya diduga bakal diterpa banyak "masalah" di parlemen, karena Partai Demokrat yang mendukung SBY minoritas, kini melenggang nyaris tanpa awasan. Partai Golkar, partai pemenang pemilu, kini digenggaman Yusuf Kalla. Dan yang lebih penting, hampir semua partai "bekerja" keras mendongkel sesama, demi jabatan Ketua Umum. Jangan-jangan demokrasi kita masih ecek-ecek. Entahlah!

Monday, May 02, 2005

Bacalah, atas Nama Kemajuan

Ruangan 8x6 meter itu senyap. Padahal di dalamnya, ada sekitar 16 orang yang sedang beristirahat. Aku banting pintu sedikit keras, lalu menarik kursi dengan sebat, tapi tak cukup memancing untuk membuat mereka menoleh. Semuanya asyik dengan makanan, dan bacaan. Sesekali terdengar suara gemeresek kertas dibalik, ditingkahi kriuk kripik kentang. Selebihnya senyap. Padahal mereka teman sekerja yang sudah saling mengenal. Padahal ini adalah jam istirahat, saat bebas dari belitan rutinitas pekerjaan. Kenapa tidak bercengkerama, mengobrol, tertawa terbahak melepas suntuk.


::Membaca:: adalah pemandangan rutin di banyak tempat. Bus, ruang tunggu, terminal, kedai kopi. Tak heran, di kota Norwich yang lebih kecil dari Depok ini, ada banyak toko buku, perpustakaan umum, serta penjual koran dan majalah. Ditambah lagi, tebaran toko derma (charity shop) yang menjual aneka buku murah.


Sekolah tenda di Aceh


Aku ingat di kotaku Rantau Prapat, Sumatera utara sana, dulu ada dua toko buku. Ketika mau berangkat ke Inggris tahun lalu, aku pulang. Ternyata tinggal satu. Itu pun sudah menjadi separuh. Separuh toko lainnya, dijadikan rumah makan dan kedai kopi. Padahal, sebagai penghasil karet, kota ini tergolong menengah ke atas. Agaknya, ini mencerminkan, budaya makan lebih populer ketimbang membaca.


Sedangkan bagi orang sini, makan juga harus sambil membaca. Jadi, istirahat makan siang itu mereka gunakan untuk membaca. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan memiliki banyak alasan. Aku amati, mereka bisa membaca sambil makan karena menunya adalah setangkup roti, sebungkus keripik kentang, dan buah. Wajar. Coba, kalau makan siangnya ayam bakar, rendang, sambel terasi, dan makan pakai tangan. Alamat, itu buku berminyak dan bau terasi.


Ah, itu hanya alasan bisa-bisanya aku saja. Mari kita galakkan membaca. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga bangsa ini menjadi bangsa terdidik. Salah satunya, dengan banyak membaca.

Pikiran, Ucapan, dan Perjalanan Saya Gambar perjalanan lain, klik disini