Mayasari tiada Bhakti
Pagi itu Supini gembira. Bersama suaminya, Yuswanto, dan keponakannya, mereka meninggalkan gubuk di Penjaringan, Jakarta Utara, menuju sebuah rumah mewah di Senen, Jakarta Pusat. Bukan rumah Yuswanto tentu saja. Tapi milik majikan Supini. Dari Kota, mereka naik bus Mayasari Bhakti, jurusan Pulogadung. Di Senen, sopir dan kernet bus yang melihat tumpukan penumpang, "mengusir" penumpang yang sudah sampai tujuan. "Ayo cepat, yang Senen, Senen, habiiiisss...".
Supini pun turun, dengan bus tetap berjalan meski perlahan. Malang tak dapat ditolak. Teriakan awak bus yang meminta mereka bergegas turun itu membuat Supini tergesa-gesa. Kakinya tersenggol ban depan bus yang terus berjalan pelan-pelan sehingga tubuhnya terbanting ke jalan dan kepalanya membentur aspal. Melihat Supini celaka, Yuswanto berusaha menolong, tetapi ia ikut terlindas ban belakang bus. Keduanya pun tewas di tempat.

Kasihan Supini dan Yuswanto. Mungkin itulah yang bisa kita sampaikan, ditengah kepasrahan kita melihat bobroknya sistem angkutan di Jakarta, kota dengan semboyan Bersih, Manusiawi dan Berwibawa itu. Ya, pasrah. Sebab bus telat, lelet, ugal-ugalan, dan segala tingkah tidak manusiawi adalah pemandangan sehari-hari.
Aku pun akan berpikiran serupa, kalau saja saat ini tidak sedang berada di Barat. Disini, Norwich, dan beberapa kota lain di Inggris yang sudah aku datangi, pelayanan bus merupakan penampakan sederhana dan mencolok, yang menunjukkan pelayanan publik berkelas tinggi. Tujuan pokoknya hanya satu: memuliakan manusia.

Bus di-set sedemikian rupa, sehingga tak merepotkan orang tua, orang cacat, dan ibu-ibu yang membawa bayi dalam kereta dorong. Tak ada yang namanya kebut-kebutan, karena sopir digaji per bulan. Tak ada cerita penumpang diturunkan di jalan, dijejalin seperti sarden, atau "diusir" kayak almarhum Supini dan Yuswanto. Bus juga tidak akan telat atau ngetem lama. Sebab sopir bus setia pada janji, yakni waktu (jam dan menit) melintas di halte tertentu, yang dibuat berdasarkan survey panjang dan gradual.
Dan, pemulian martabat manusia lewat pelayanan bus ini terjadi di negara yang oleh sebagian kita dicap negara kafir, karena melegalkan seks "bebas" dan pikiran "liberal", serta abai pada Tuhan.
Sementara, sopir bus Mayasari Bhakti di negeri bersendikan Pancasila itu, dibebani setoran ratusan ribu sehari, yang mendorongnya ngebut secara "bebas" dan "liberal".
30 Hari Mencari Nanda
Sebulan sudah si kembar Sayid Husein Azzaheir dan Sayid Hasan Azzaheir berpisah dari ayah dan ibunya. Balita berumur 2,5 tahun itu, terpisah dari ayahnya, ketika gelombang tsunami menghantam rumahnya, di Perum Polayasa Pratama, Kaju, Darussalam, Aceh Besar, 26 Desember lalu.
Besar kemungkinan, ananda Husein dan Hasan, --yang pagi itu bisa jadi tengah memirsa Dora Emon-- telah menghadap Sang Khalik, bersama hampir 120 ribu anak manusia lainnya. Bencana itu sedemikian hebatnya. 500 ribu warga Aceh kini hidup berbekal belas kasih bantuan, 5.800 km jalan hancur, 490 jembatan runtuh.

Bencana itu, juga membuat 117 ribu anak-anak Aceh kehilangan sekolah. Mereka juga kehilangan guru, teman, dan masa kanak-kanak yang ceria. Tepat sebulan, sekolah pun dimulai lagi. Sebagian bersekolah di bawah tenda, sebagian lagi dialam terbuka. Mereka diberi kurikulum tambahan: mengatasi trauma. Di jalan-jalan Banda Aceh, kini banyak orang yang berjalan linglung. Seolah mencari sesuatu, lalu duduk, kemudian memandang kosong. Banyak pula yang berjalan beriringan, tanpa tujuan, hanya dipandu oleh rasa putus asa dan ingin mencapai sesuatu tempat yang aman.

Sebulan sudah bencana itu. Bantuan demi bantuan mengalir. Tapi banyak pula cerita miring. Bantuan menguap, TNI dan GAM yang tiada henti bertempur, RI-1 dan RI-2 yang tak segendang sepenarian, relawan yang (juga) wisatawan. Ah, belum cukupkah kiamat ini sebagai peringatan, wahai Tuan Pembesar? Anak-anak di Aceh itu tak menuntut banyak. Mereka hanya ingin menyanyikan lagu "Desaku", dengan keceriaan yang sama dengan anak sebayanya dibelahan bumi Indonesia yang lain. Meskipun, desa itu tak lagi permai, handai taulan itu tak lagi lengkap.
//Desaku yang kucinta/ pujaan hatiku/ Tempat ayah dan bunda/ dan handai taulanku/ Tak mudah kulupakan/ tak mudah bercerai/ Selalu kurindukan/ desaku yang per....//
Harapan Tidak Boleh Mati
Ah, aku rindu suara azan mesjid Baiturrahman yang menyayat jiwa. Beberapa jam setelah bencana Minggu Hitam, 26 Desember lalu, aku tak menyangka air akan menyentuh mesjid kebanggaan masyarakat Aceh ini. Lalu, ketika mendengar mall Pante Pirak, yang terpisah sungai Krueng Aceh dengan mesjid rubuh, aku sedikit tercengang. Tapi tidak, aku yakin mesjid ini bakal tetap tegak. Dan, kalau "rumah Allah yang maha Pengasih" ini tak goyah, maka ini penanda warga Aceh akan survive dari bencana besar ini. Mereka adalah bangsa pejuang, bangsa besar yang tersia-sia.
Dan malam ini, Iwan Fals menguatkan keyakinanku. Iwan yang tampil dalam Konser Kemanusiaan bersama 115 penyanyi, melantunkan tembang yang khusus dia buat untuk Aceh, Harapan Tidak Boleh Mati.
.....Oh negeriku sayang
bangkit kembali
jangan berkecil hati
bangkit kembali
Kau yang ditinggalkan
tabahlah sayang
ini rahmat dari Tuhan
kita juga pasti pulang...
Tampil pula Dewa. Meski album Laskar Cinta tak khusus buat Aceh, tapi salah satu lagunya
Hadapi dengan senyuman pas untuk Aceh.
....Hadapi dengan senyuman
semua yang terjadi
hadapi dengan tegar jiwa
semua akan baik saja
sudah ditetapkan tetaplah sudah
tak 'kan ada yang bisa merubah
dan tak 'kan bisa berubah
Relakanlah saja ini
bahwa semua mungkin yang terbaik
terbaik untuk kita semua....
Intelektual Komaruddin Hidayat pernah mengingatkan, berbagai peristiwa alami selalu memperlihatkan adanya sesuatu yang lebih baik setelah kenyerian terjadi. Telur ayam harus mengalami keretakan dan pecah ketika anak ayam di dalamnya hendak menetas. Biji tanaman mengalami perekahan dan pecah ketika muncul kecambah. Maka, bangkitlah wahai Cut Nyak, wahai Tengku. Bangun kembali Serambi Mekkah, hidupkan kembali semangat Teuku Umar.
Selamat Tinggal Kekelaman
Malam ini detak jam menandai pergantian tahun. Tapi jam milik warga Banda Aceh ini tidak. Ia telah berhenti berdetak hari Minggu lalu, 26 Desember pukul 08.17 WIB. Mungkin jantung pemiliknya pun sudah berhenti berdetak, bersama dengan 100 ribu lebih warga Aceh, korban bencana tsunami.
Jam ini kini menjadi bangkai di tengah kota yang mati bak dilanda perang. Ia tak lagi bisa bersaksi menandai pergantian tahun. Mungkin ia juga tak mendengar jeritan warga yang melolong bersipongang membelah pagi yang terik. Saat gempa, yang bertindak sebagai sangkakala pendahulu kiamat air bah, ia telah mati.
Bersama jenazah ratusan ribu warga Aceh, ribuan rumah yang lebur, jam ini teronggok di jalanan berdebu. Jam lain mungkin ada yang terimpit reruntuhan Pasar Aceh, hanyut di Krueng Raya, terambing di Kolam Taman Sari, atau retak di tugu Lambaro.

Pastilah warga Aceh yang masih selamat dan kini tinggal di tenda-tenda darurat, tak membawa jam. Buat apa tau waktu. Karena pergantian masa, ditandai dengan makan. Makan pagi, siang, dan malam. Buat apa tau waktu. Kalau makanan tak ada. Warga Aceh yang kaya raya, dimasa awal kemerdekaan bisa membeli kapal terbang Seulawah, kini untuk makan harus menadah tangan. Berebutan. Duh, Gusti...
Warga Aceh yang seharusnya hidup bergelimang kemewahan, oleh karunia Ilahi minyak, gas, semen dan pelbagai sumber daya alam, hari ini harus berpanas hanya untuk sejerigen minyak. Minyak yang selama ini justru mendatangkan malapetaka, karena ia telah mendorong pemberontakan GAM, kini ditengah duka tetap tak mau bersahabat.

Allah ya Rabb yang maha Rahman dan maha Rahim. Maha Pemberi dan Maha Pengampun. Hanya menangis yang kami bisa. Doa kami, semoga tahun kekelaman ini berakhir.